Hukuman Milidi

1794 Words
Atmosfer tiba-tiba berubah, yang tadinya menyenangkan mendadak menyeramkan. Seolah ada kabut tebal padahal tadi sudah ada pelangi. Deon yang semula tersenyum padahal jarang-jarang bersikap seperti itu jadi murung lagi. Tadi ada dosen yang papasan senang karena disapa oleh dosen ganteng itu, sekarang papasan lagi jadi ngeri karena Deonnya bersikap dingin lagi. “Ih …. Kenapa juga harus jealous ke anak-anak itu.” Deon memalingkan wajahnya dan berekspresi seolah jijik dengan kemesraan lebay ala-ala anak bocil. Alay! “Gak penting.” Dia bersiap untuk masuk ke kelas dan mengenakan kacamata yang biasa dia gunakan untuk bekerja. Deon kadang menggunakan kacamatanya, kadang juga tidak. Mau pakai apapun kalau orang ganteng ya tetap saja ganteng. Pakai barang murah juga kalau melekat di tubuh Deon jadi terlihat mahal. “Lihat saja nanti. Anak kemarin sore bukan saingan yang sepadan.” Anak mahasiswa yang baru masuk modelan Zayn jelas-jelas bukan saingan yang sederajat. Jelas jauh Deon ke mana-mana, mau dilihat dari lubang sedotan atau dari manapun tetap pasti lebih unggul Deon. Saingan tuh harusnya yang sama-sama pengusaha atau sama-sama dosen, barulah Deon takut milia diambil orang, ini sih agak santuy sedikit. Langkah kaki Deon pun membawanya ke kelas A8. Dia akan mengajarkan statistik ekonomi dan bisnis. Deon jelas dosen yang rajin, lima menit kelas belum dimulai saja sudah berdiri di dekat pintu sambil memperhatikan mahasiswa yang masuk. Dia tidak suka pada mahasiswa yang lelet dan datang telat serta penampilannya tidak rapi. Mahasiswa dan mahasiswi baru memperhatikan Deon dari atas hingga bawah, Dosen yang satu ini sungguh menarik dan tiada duanya, yang paling ganteng dan kece maksimal seantero jagat perkampusan. “Omaygat-omaygat. Gak salah mata gue pagi-pagi liat dosen bening bener kayak embun pagi, Bund.” Yayuk menepuk-nepuk pundak Dewi teman barunya. Yayuk memang si heboh, dia tidak bersikap biasa saja melihat makhluk Tuhan seperti Deon ini, pasti reaksinya luar biasa dan bar-bar. Pandangan Yayuk dari sejak mau masuk sampai sudah masuk kelas terus tertuju pada Deon. Kalau pria itu jadi artis, dia akan jadi fans fanatiknya. “Bund band bun. Gak salah kecuali lo liat dia malah burik bukan ganteng.” Dewi tidak suka dengan sebutan ini, biar kata dia sudah jadi mama muda dan baru kuliah setelah cuti melahirkan dulu, dia tak suka dipanggil bunda, panggil saja dia kakak atau adek sekalian biar masih berasa muda. Kalau dipanggil bunda begitu langsung ngegas. Dari tadi Amel anak penggila gadget terus menunduk memperhatikan gawainya, sudah lihat pemandangan indah macam mahasiswi yang lain dia ikut heboh. “Wagelaseehhh …. Malaikat dari mana itu? Surga?” Dia berdiri di samping Yayuk agar bisa melihat Deon jelas dari balik kaca. “Abang ajak hamba ke surga yuk bang yuk!” Yayuk mulai menghalu, dia memang pecinta cowok ganteng. Di kamarnya banyak foto-foto artis selebgram, youtubers atau aktor dari mulai indo sampai cina demi menyegarkan matanya saat bangun tidur. “Halu lu.” Dewi yang sudah bersuami pun merasa jijik dengan sikap Yayuk. “Buat gue aja yang masih jomblo.” Amel pun ingin punya pacar seperti Deon kalau bisa beruntung. Ngayal aja dulu, kan gratis. “Gue juga mau kalo yang bening begini. Semangat banget deh jadi muridnya. Abang dosen yang rajin ngajar kita, ya, Bang.” Yayuk berpikir mungkin jika ada Milia di sampingnya, gadis itu juga akan mengagumi sosok Deon dan akan mengidolakannya juga hingga heboh. Mereka kan sesama pengagum cogan. Milia sering jadi paparazi untuk dapat foto tampan Zayn saat kegiatan sekolah. “Adawww …. Meleleh hati hayati Bang.” Saat Deon sempat melirik ke arah mereka, para gadis pun sangat senang. Tak hanya Yayuk dan Adel, pokoknya semua gadis di kelas ini atau kelas sebelah heboh melihat Deon sampai nempel-nempelin pipi ke kaca.  “Aduhh …. Berasa kesamber petir gue.” Mereka kagum dengan binar indah mata Deon di balik lensa kacamata berbingkai hitam tipis. “Biasa aja, biasa. Pada lebay ya cewek-cewek.” Dewi lagi-lagi ilfil dengan sikap lebay para gadis. Dia sudah sold out jadi biasa saja ada makhluk ganteng, gak ngarep buat dikawinin karena dah kawin. “Apa sih lo, sirik ya karena dosennya ganteng, ya.” Adel dan Yayuk pun menatap Dewi tajam. Mereka dalam beberapa detik saja sudah jadi tim pengagum fanatik Deon. “Modal muka doang, coba kita uji otaknya sekeren mukanya jaga enggak?” Dewi ingin tahu kinerja Deon nanti saat mengajar seperti apa. Akankah bikin mahasiswa kantuk, garing karena suaranya kecil, membosankan karena terlalu monoton dan kurang berinteraksi dan pemalu. “Kalo gue prediksi sih good looking, good brain, good moneynya juga!” Adel benar-benar pemerhati, korban sering jajan olshop online jadi hafal mana barang yang mahal dan mana yang murah. Dari penampilannya saja dia bisa menilai seperti apa Deon ini. Disiplin, pintar, tampan, cerdas, rajin, bersih dan rapi, kalau soal ngajar ya pasti bagus.  “So tau lu.” Yayuk meremehkan Adel sambil menyikut tangannya. “Liat aja apa yang dia pekek cuy. Binar-binar indah kacamata mahal dan jam mewah terpangpang nyata, Dori!” Adel sampai menunjuk dari atas hingga bawah. “Iya juga sih, barang mahal mah beda!” Yayuk juga ikut memperhatikan sambil menyipitkan matanya. Tampaknya semua mahasiswa sudah masuk semua, jam juga sudah menunjukkan pukul sembilan pagi yang berarti kelas Deon akan dimulai. Dosen yang satu ini menghela napasnya lantaran berarti dia tidak mengajar Milia. Gadis itu dia prediksi satu kelas bersama pria tadi yang menemuinya. Saat Deon memperkenalkan diri dan mengabsen mahasiswa, di pukul sembilan lebih lima menit, dua orang mahasiswa membuka pintu. Seorang gadis mungil yang dari tadi menjengkelkan ternyata masuk ke kelas ini disusul dengan seorang pria yang tadi mengobrol dengannya. “Mau apa kalian?” tanya Deon ketus pada Milia dan Zayn yang menunduk malu sambil berjalan hendak mencari bangku kosong. Langkah mereka jadi terhenti karena sikap ketus Deon. “Ku- ku- kuliah, Pak.” Milia mendadak jadi patung. Dia syok siapa dosennya kini. Sungguh mengagetkan. “Jam berapa ini?” tanya Deon sambil menunjuk jam yang ada di dinding dan letaknya ada di tembok yang belakangi para mahasiswa. “Jam sembilan lebih lima menit, Pak.” Milia yang menjawabnya dengan keadaan keringat dingin yang mulai keluar dari pori-porinya. “Kalian telat lima menit di kelas saya.” Buset, disiplin sekali pria yang satu ini. Masa cuma lima menit saja sudah marahnya seperti singa yang lapar. “Ma- ma- maaf, Pak.” Zayn dan Milia jadi malu. Di hadapan semua mahasiswa mereka dimarahi Deon. Ini semua gara-gara Zayn yang mengajak Milia mengobrol dulu tadi, jika tidak lama berbincangnya, mana mungkin telat masuk kelas. “Maaf-maaf. Baru hari pertama saja sudah telat, apalagi nanti.” Deon sama sekali tidak suka pada mahasiswa yang tidak menghargai waktu, waktu itu sangat berharga menurutnya. Dia kan dibayar untuk mengajar, jika mahasiswa telat otomatis mereka yang rugi. Dia juga tak mau buang-buang waktu untuk orang yang tidak menganggap mata kuliahnya penting. Dalam waktu lima menit saja orang bisa dapat ilmu yang bermanfaat, bekal masa depan. “Kami janji tidak akan mengulanginya lagi, Pak.” Zayn yang minta maaf dan bagi Deon so pahlawan. “Saya tidak suka kalau ada mahasiswa saya yang telat, ya.”  Lain kali dia tidak akan memaafkan lagi, meskipun orangnya Milia, calon istrinya. Saat di rumah dan di kampus berbeda, harus profesional dan tahu tempat. “Ma- maaf, Pak.” Zayn yang disembur perkataan seperti itu pun sedikit ketakutan. Dia juga merasa sangat bersalah pada Milia. Di bagian pojok kanan, ada wanita yang memperhatikan Zayn dan Milia, tangannya mengepal dan matanya memerah. “Untuk saat ini saya bisa memaafkan kalian, untuk lain kali dianggap alfa. Jika alfa dua kali, maka kalian gagal di mata kuliah saya.” Sungguh dosen yang killer. “Hah ….” Milia jadi ketakutan. Ternyata ini sosok lain dari calon suaminya. Jika di rumah bisa ketus, bisa ramah dan spontan. Di kampus menyeramkan dan dosen killer. “Berhati-hatilah karena mata kuliah saya sebanyak tiga SKP.” Dia menyombongkan diri karena mata kuliahnya ini sangatlah penting. “Mati dong kita.” Zayn dan Milia pun saling padang. “Silahkan duduk di bangku yang kosong.” Untuk kali ini masih beruntung. Baru saja Milia dan Zayn melangkah lagi, Deon menghentikannya. “Nama kalian siapa?” “Mi- Milia, Pak.” Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa. “Saya Zayn, Pak.”  “Kalian ada di daftar nama mahasiswa yang saya tandai bakal mengulang lagi pelanggaran.” Deon langsung menandai nama mereka berdua, calon-calon telat datang lagi. “Gileee …. Jadi dia dosen?” tanya Milia pelan sambil berjalan ke dekat Yayuk, sahabatnya sudah menyediakan bangku kosong. “Gue mimpi apa bukan, ya?” Dia tepuk pipinya sendiri sambil duduk. “Kenapa lu, Mil?” tanya Yayuk merasa Mili aneh. “Gue gak mimpi, kan?” tanya Milia memandang Yayuk. Duh ini anak malah ngobrol, kalau ketahuan Deon bisa marah lagi. Di kelas Deon dilarang telat, mengobrol dan main handphone. “Mimpi dimarahi dosen ganteng?” tanya Yayuk sambil menunjuk Deon. ‘Mimpi calon imam gue dosen di kelas gue, Yuk. Duh Yayuk. Masa gue bilang!’ gumam Milia dalam hati sambil meratapi nasibnya. Yayuk yang melihat Milia melamun pun mencubit pinggang Milia cukup kencang. “Auu ….” Ini semua agar Mailia sadar tak melamun lagi. Kasihan nanti kena marah lagi kan. “Kalo sakit berarti gak mimpi.” Yayuk berbangga diri karena berhasil membuat Milia kesakitan. Pembawaan Deon sungguh wah, terlihat dewasa dan sosok yang patut untuk disegani. Setiap kata yang terucap berbobot, setiap pertanyaan ia jawab lancar. Bahasa yang digunakan mudah dipahami, ringan, tegas, lugas dan menarik tidak menyebabkan kantuk dan membosankan. Interaksi dengan mahasiswa juga aktif. Dewi langsung kena Mental. Dia kan tadi meremehkan Deon yang good looking saja. Sekarang dia dengar dan lihat sendiri bagusnya cara Deon mengajar. Milia juga langsung kena mental. Seorang Milia menolak lamaran dari dosen ganteng dan pintar. Deon langsung merasa tinggi di atas awan. Dia jelas jauh di atas Zayn dan Milia, Milia bagaikan remahan kecil sedangkan dia sebuah berlian mahal. ‘Alah anak kecil begitu sok nolak gue.’ Deon pun selesai mengajar selama dua jam. “Saya berikan kalian tugas individu.” Perkataan Deon berhasil membuat seisi ruangan ini panik bukan main. “Hah ….. Tugas?” Mereka belum siap diberikan tugas. “Masa baru satu kali pertemuan sudah dapat tugas, sih, Pak?” keluh salah satu pria dari pojok kiri. “Saya tambahkan tugas kelompok juga jika kalian mengeluh.” Ancaman Deon untuk mendisiplinkan mahasiswa bukan main. “Yahh …. Jangan, Pak.” Mereka pun pasrah. “Kalau begitu tugas individu saja. Ini saya lakukan agar semua materi yang saya berikan hari ini tidak mudah kalian lupakan.” Dia ingin yang terbaik untuk muridnya. Deon pun melirik tempat keberadaan Milia dan menunjuknya. “O iya kamu dan dia, tugas kalian lebih banyak dari yang lainnya karena datang telat.” “Yahhh …..” Milia tidak bisa bernapas lega. “Yang sabar, Milidi!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD