Life is just a bowl of cherries. Sometimes it is sweet or filled with worries
Don't be afraid. When things go wrong, just be strong.
Marco menolehkan kepalanya ke samping, hanya agar bisa melihat langsung tampak samping wajah Mika yang tengah bernyanyi santai tanpa peduli ada beberapa nada fales dan kadang suaranya terdengar cempreng. Namun Mika kelihatan tidak peduli, dia menikmati nyanyiannya sendiri seolah-olah semua yang mendengar juga menikmatinya.
Don’t you give up. Keep your chin up and be Happy!
Mika mengakhiri lagunya dengan senyum sangat lebar dan disambut riuh tepuk tangan semua orang, dia sangat menikmati respon baik tersebut. Padahal lima menit lalu, Mika bersikeras tidak mau tampil lantaran malu usai digoda Dimas. Tapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya Mika mau lagi duduk di sebelah Marco. Mika memilih lagu berjudul Happy yang sangat populer meski termasuk sebagai lagu jadul—jaman dulu. Lagu yang sangat cocok untuk pembawaan Mika yang tetap ceria padahal sesaat sebelumnya marah-marah.
Mika menaruh mikrofonnya di setanding mic, lalu melirik Marco dengan ogah-ogahan. “Permainan yang lumayan. Lo beruntung bisa ngiringin gue nyanyi, tahu!” ujar Mika, lalu lari kembali ke mejanya. Dari tempatnya Marco bisa melihat Mika memukul-mukul lengan Dimas dengan gemas, selagi Marco menyelesaikan pekerjaan.
Saat pekerjaannya selesai, Marco sebetulnya ingin langsung pergi. Tetapi Dimas menghampirinya dan menyuruhnya menunggu di meja depan karena ada sesuatu yang ingin dia bahas. Marco langsung tahu kalau itu hanya akal-alakan saja, pasti ini masih ada kaitannya dengan Mika yang tiba-tiba ke sini usai pesan dan teleponnya tidak Marco jawab.
“Ngapain lo di sini?” Mika menyelak galak saat Marco tahu-tahu duduk di salah satu kursi di sekitar meja yang Mika tempati.
Dengan kedua tangan terselip di dalam jaket hoodie, Marco menyandarkan punggung dengan santai. “Mas Dimas yang suruh.”
“Ngapain?”
Marco memutar bola mata. “Gue duduk di sini juga buat cari tahu ngapain dia nyuruh ke sini.”
“Santai aja kali, gue kan nanya baik-baik.”
Marco hanya menghela napas dan geleng-geleng tak habis pikir, padahal Mika yang duluan menyelak di detik pertama kedatangan Marco.
Sesaat keduanya diam, Marco sibuk memandangi suasana sekitar, sementara Mika asyik mencocol kentang goreng ke saos sambal.
“Kenapa lo nggak balas chat gue?” tanya Mika dengan mulut sibuk mengunyah.
“Nggak ada yang penting dari chat lo.”
“Apa?!” pekik Mika tak terima.
Marco menatap Mika malah meningkahi reaksi Mika yang menurutnya agak berlebihan itu. “Lo cuma memperkenalkan diri, kan? Ya udah, gue tahu itu lo. Terus apa?”
“Harusnya balas gue ada perlu apa sampai chat lo segala.”
“Ngapain gue yang tanya, yang ada perlu siapa?”
“Ya itu kan intro.“
“Ck, sekarang gue tanya, yang ada perlu siapa?” ulang Marco.
Mika mengembuskan napas pendek. “Ya gue, sih,” desahnya kalah, tapi tidak mau membuat dirinya tampak buruk. “Tapi tetap aja lo harus jawab, manusia itu perlu basa-basi, Co. Apa susahnya sih ketik tiga huruf aja, A, P, dan A, apa?”
“Apa susahnya juga langsung ke inti?”
“Ah udah lah, capek ngomong sama lo.” Mika melempar punggungnya ke sandaran kursi sambil membuang muka.
Marco mengangkat bahu tak acuh, dan sesaat kemudian Mika berbicara lagi setelah sebelumnya mengeluh capek. “Lo kenapa nggak pernah masuk sekolah?”
“Nggak usah penasaran sama urusan orang lain.”
“Astaga, ya udah hidup aja sendiri sana. Jadi Tarzan sekalian, au au di hutan.”
“Ada apa ini? Ada apa ini?” Dimas akhirnya muncul menangahi. “Ada apa kamu kesal? Kan udah ketemu sama Marco, tadi aja nyariin dia.”
“Om!” Mika berseru kesal.
Dimas terkekeh, tampak begitu senang menjahili keponakannya yang remaja itu. “Oke maaf-maaf, lagian kamu kenapa marah-marah melulu?”
“Tahu, ah, sebel,” Mika merajuk, melipat kedua tangan di d**a lalu beranjak dari tempatnya.
***
Mika sudah putuskan, sekalipun di seluruh muka bumi yang bisa main gitar cuma Marco, Mika tidak akan pernah mengajak Marco untuk gabung ke bandnya. Tidak akan pernah. Camkan itu.
Memulai obrolan sehat dengan Marco adalah hal mustahil. Basa-basi dianggap tidak penting, baru sekali ucap, dibalasnya pakai kalimat dan nada tidak enak didengar. Belum apa-apa sudah membuat Mika darah tinggi saja. Terserah lah, apapun alasan di balik sikapnya, orang seperti Marco memang sebaiknya ditinggal sendiri toh memang itu yang dia inginkan.
Perjalanan Mika pulang ke rumah sungguh tidak tenang karena karena Dimas masih saja menyinggung Marco di tiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Mika sungguh menyesal telah jujur kedatangan ke kafe malam ini untuk bertemu dengan Marco, sekarang Omnya itu jadi salah paham dan mengira Mika naksir Marco. Astaga, yang benar saja!
“Om, bisa udahan nggak, sih? Sok-sok ngecengin aku, nanti kalau aku naksir cowok dan jadian beneran, kayak Om mau kasih izin aja,” cibir Mika agar Dimas berhenti dan membiarkannya menikmati lagu yang sengaja ia putar untuk menemani perjalanan. Di luar sedang gerimis, dan Mika ingin meromantisasi gerimis di malam hari dari balik kaca mobil.
“Wah, kalau sampai jadian ya jangan dulu. Minimal sampai kamu masuk kuliah, baru kamu boleh pacaran.”
Mika memutar bola mata, jawaban Dimas bukan hal baru. Pacaran di keluarganya adalah hal tabu. Memang ini tak terlepas dari trauma masa lalu bundanya yang pacaran kebablasan hingga dirinya lahir, Mika sendiri tidak terlalu mempermasalahkan, mungkin karena hingga saat ini ia belum bertemu dengan cowok yang sangat ingin ia jadikan pacar.
“Tadi Om ngobrol apa sama Marco?” tanya Mika. Tadi ada jarak sekitar 15 menit dari Mika pergi hingga Mika Dimas menyusul Mika ke ruang kerjanya. “Eh tapi ini aku bukan kepo tentang Marco ya, cuma yaa ingin tahu aja.”
Dimas tersenyum geli sambil melirik Mika sekilas. “Nggak ngobrol apa-apa, kan niatnya tadi emang ngasih kalian kesempatan ngobrol. Om kasihan sama kamu karena dicuekin Marco.”
“Ih apaan deh, Om. Kesannya kayak aku ngejar-ngejar Marco beneran.” Ingatkan Mika untuk tidak lagi menyebut nama Marco di depan Dimas. Mika memalingkan kepalanya ke jendela, menatap tetes-tetes gerimis yang meninggalkan jejak di kaca sambil ikut bernyanyi lirih mengikuti lagu yang berputar.
“Eh itu Marco bukan, ya?”
Mika pura-pura tidak dengar, pasti Dimas sedang menggodanya lagi. Kalau Mika langsung noleh penasaran, habis lah Mika.
“Iya, kayaknya dia,” gumam Dimas lagi, sejurus kemudian laju mobil perlahan melambat. Baru lah kemudian Mika menggerakkan otot lehernya untuk melihat ke arah depan. Di mana tampak Marco berdiri berhadapan dengan seorang petugas polisi yang mamakai mantel hujan, sementara Marco sendiri setengah basah kuyup.
“Ketilang mungkin, Om,” cetus Mika yang diangguki sependapat oleh Dimas. Dimas lantas meraih payung lipat yang memang selalu tersedia di dalam mobil, sebelum turun untuk menghampiri Marco.
"Maaf, ada apa ini, Pak?”
Mika lari-lari kecil menyusul Dimas dan berdiri cari perlindungan payung di belakang lelaki itu.
Sejujurnya Mika heran, ditangkap polisi, kenapa wajah Marco tidak ada takut-takutnya sama sekali. Mika yang tadinya kasihan, jadi merasa Dimas tidak seharusnya sampai berhenti. Marco yang harusnya tertunduk, malah memutar kepalanya kesana kemari seperti polisi itu telah membuang-buang waktunya di sini.
"Kami terpaksa berhentikan Adek ini karena suara knalpotnya bising dan motornya tidak sesuai standar. Ternyata Adek ini juga masih di bawah umur dan tidak punya SIM. Kami juga curiga dia mabuk dan menggunakan obat-obatan terlarang." Mika tidak heran, siapapun yang melihat penampilan dan 'keunikan' motor Marco juga akan mencurigai hal sama. "Maaf, tapi apa Anda kenal sama Adek ini?"
Dimas mengiyakan dengan mengaku sebagai paman Marco. Setelah bernegosiasi, akhirnya polisi membebaskan Marco dengan syarat motornya tetap harus dibawa ke polsek terdekat dan hanya boleh diambil oleh orang tua atau wali seminggu kemudian. Polisi itu berpesan agar menjaga dan mengawasi Marco agar tidak berlebihan dalam menuangkan kreativitas dalam memodifikasi motor yang akhirnya akan menganggu kenyamanan pengguna jalan lain dan membahayakan dirinya sendiri tentunya.
"Terima kasih, Mas,” ucap Marco meski tak tampak butuh dibantu.
Dimas menepuk pundak Marco. "Dimana rumah kamu, biar saya antar."
"Tidak perlu, saya bisa naik cari ojek."
"Nggak apa-apa, sekalian aja. Ayo, ini sudah malam. Jangan sampai polisi itu melihat kamu lagi." Dimas sedikit mendorong Marco untuk bergeming dari tempatnya sehingga Marco segan menolak.
Marco duduk di jok belakang, sementara Dimas dan Mika di depan. Melalui kaca spion tengah, Mika mengawasi gerak-gerik Marco. Cowok itu menaruh helm hitam tanpa kaca dan gitar miliknya itu di samping, saat tanpa sengaja mata Marco melirik ke arah spion dan bertemu pandang dengan Mika, Mika buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Orang tuamu nggak pernah negur kamu pakai motor begitu, Co?” tanya Dimas, sesaat setelah mobil melaju.
“Nggak pernah.”
“Kalau sekadar hobi modifikasi nggak apa-apa, tapi kalau buat dibawa ke jalan raya, sebaiknya jangan karena bahaya juga buat kamu. Mana kamu belum punya SIM juga kan. Bukan masalah kena tilang kayak tadi, tapi kalau kecelakaan yang rugi kamu sendiri.”
“Iya.”
Mika menghela napas, kasihan sekali omnya itu, bicara panjang lebar tapi ditanggapi hanya sepatah dua patah kata. Untung saja Mika diam sejak Marco masuk hingga sekarang, dan Mika bertekad tetap mengunci bibir rapat-rapat sampai Marco keluar.
"Disini saja, Mas. Rumah saya masuk gang sana." Saat ditanya, Marco tak mau menjawab alamat lengkapnya. Marco hanya mengatakan daerah tempatnya tinggal, dan kini minta berhenti tiba-tiba di depan sebuah gang kecil, gelap, dan kumuh. "Sampai disini saja, karena mobil nggak bisa masuk."
"Kamu beneran tinggal disini?"
"Iya,” jawab Marco terdengar cukup meyakinkan, sehingga Dimas pun menghentikan mobilnya. "Terima kasih bantuan yang tadi dan tumpangannya." Marco keluar cepat seolah-olah tidak ingin ada percakapan lanjutan.
Marco semula masih berdiri di samping mobil, menunggu Dimas pergi. Tetapi Dimas memberinya isyarat agar pergi lebih dulu. Akhirnya Marco berbalik, masuk ke gang sempit dan gelap itu.
"Serem banget ya, Om." Mika melihat sekelilingnya ngeri. “Ternyata dia beneran orang miskin. Apa orang tuanya bangkrut ya, Om?” Anehnya, mengetahui satu informasi tentang Marco, malah membuat Mika makin ingin tahu lebih banyak tentang cowok itu.
“Entahlah, sebaiknya nggak usah menebak-nebak. Satu yang perlu kamu ingat, kehidupan setiap orang itu beda-beda. Segala sesuatu ada alasannya, jadi jangan gampang men-judge orang cuma dia nggak melakukan apa yang kamu atau kebanyakan orang lakukan.”
“Ih siapa sih yang mikir begitu.” Mika mengerucutkan bibir, tidak bisa membela diri dinasihati. Dalam hati ia mengakui bahwa sebelumnya ia terlalu banyak menilai Marco padahal Mika tidak tahu apa-apa.
Perlahan mobil Dimas melaju menuju rumah Mika. Saat Mika hendak turun, ia dan Dimas baru menyadari bahwa helm Marco ketinggalan di jok belakang. Mika menawarkan diri untuk membawanya, siapa tahu besok Marco sekolah atau Mika bisa menitipkannya ke Vino dan Alvin. Mereka yang paling dengat dengan Marco, mereka pasti masih berhubungan dengan Marco tapi sengaja pura-pura tidak tahu sesuai keinginan Marco.
"Eh eh eh, tunggu."
Langkah Mika yang tengah meniti anak tangga terhenti saat mendengar suara bundanya dari arah belakang. "Hai, Bun. Aku kira udah tidur," ujar Mika. Sejak hamil bundanya jadi sakit-sakitan dan tiap Mika mencarinya, pasti dia sedang tidur.
Sambil memegang segelas s**u, Sadin naik tangga hingga berdiri di undakan anak tangga yang sama dengan Mika. "Dari mana kamu?"
"Kan aku tadi udah bilang mau ke kafenya Om Dimas."
"Bener?"
Kening Mika mengernyit tak mengerti. "Hah? Iya lah, kalau enggak percaya tanya aja Ayah tuh. Dia tadi keluar pas Om nurunin aku di depan."
Kedua mata Sadin masih menyipit, tak lantas mempercayai ucapan Mika. "Terus itu helmnya siapa? Itu helm cowok, kan?"
"Oh, ini punya teman aku. Tadi ketinggalan di mobilnya Om Dimas, besok mau aku bawa ke sekolah buat dibalikin."
"Kamu nggak lagi bohong sama Bunda, kan?"
Bibir Mika menganga, terperangah tak percaya bundanya bersikap menyebalkan begini cuma karena sebuah helm. "Bunda bisa tanya Om Dimas kalau nggak percaya sama aku."
"Percuma, jangan kira Bunda nggak tahu Om kamu itu pasti akan melindungi kamu."
"Astaga, Bun. Segitu nggak percayanya sama aku cuma benda ini. Cek aja CCTV kafe dan rekaman dashbord mobil Om Dimas, atau kalau itu belum juga bikin Bunda percaya, Bunda bisa tanya Tuhan, kan Dia maha tahu dan pastinya nggak akan melindungi pembohong." Usai menyelesaikan kalimatnya, Mika langsung lari ke kamarnya. Biar bundanya mencari tahu sendiri daripada terus-terusan menuduh Mika. Mika sama sekali tidak peduli saat namanya dipanggil-panggil, disuruh berhenti karena bundanya belum selesia bicara. Mana mungkin Mika mau berhenti kalau dari suaranya saja bundanya terdengar sangat emosional.
Mika menjatuhkan tubuh setelah mengunci pintu kamar. Mika capek terus menjadi pelampiasan trauma masa lalu orangtuanya yang takut berlebihan Mika akan mengulangi apa yang Sadin lakukan di masa SMA-nya. Mika bukan Sadin, Mika adalah Mika. Hanya karena mereka ibu dan anak, tak lantas takdir mereka sama—hamil di luar nikah.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar sekitar 15 menit kemudian, di saat Mika belum bisa mengenyahkan kekesalan dalam hatinya. "Mika, boleh Ayah masuk?" sejurus kemudian terdengar suara handle pintu diputar, tapi percuma karena Mika menguncinya dari dalam. "Mika, buka pintunya. Ayah ingin bicara sebentar."
"Besok aja, aku mau mandi terus bikin PR," sahut Mika.
"Sebentar aja, Princess."
Mika menghela napas dan akhirnya bangkit dari kasur untuk membukakan pintu di mana sang ayah telah menunggu. Mika membiarkan ayahnya masuk dan mengambil duduk di tepi tempat tidur Mika.
"Aku nggak bohong, aku tadi beneran cuma di kafenya Om Dimas. Helm itu beneran punya teman aku. Bunda tahu kok siapa dia, dia yang pernah gendong aku ke mobil pas aku nggak bisa jalan habis jatuh," jelas Mika tanpa diminta.
"Iya, Ayah percaya. Sini." Mika pasrah saja saat Duta menarik tangannya hingga teduduk tepat di depan Duta. "Tolong ngerti Bunda ya, dia kan sedang hamil. Moodnya berantakan dan jadi khawatir berlebihan, semua hal dikhawatirkan. Tadi Sikka juga sempat ngambek karena dimarahi Bunda gara-gara dia nggak sengaja mecahin gelas, padahal Bunda khawatir Sikka luka karena kurang hati-hati."
"Iya," balas Mika malas. Mau bagaimana lagi? Ia memang harus mengerti keadaan bundanya bagaimana pun juga.
"Bunda nyebelin, ya?"
"Banget," dengkus Mika dengan suara tercekat, saking kesalnya.
Duta tersenyum kecil. "Dulu pas masih seumuran kamu, Ayah juga merasa orang tua itu menyebalkan. Eh pas jadi orang tua, ternyata di balik sikap menyebalkan itu ada banyak sekali kekhawatiran-kekhawatiran yang jauh lebih menyebalkan. Pada dasarnya, semua orang tua mendidik anaknya sesuai pengalaman mereka. Mereka ingin anak-anak mereka tidak masuk ke lubang yang pernah mereka masuki, dan ingin anak-anak mendapat semua hal baik yang dulu tidak mereka dapat—"
"Aku ngerti, Yah," potong Mika. "Tapi orang tua juga harus percaya sama anak mereka. Ayah dan Bunda sudah ngasih aku banyak ngajarin aku tentang pergaulan sama edikasi seks, tinggal Ayah dan Bunda lihat aku dari jauh dan percaya kalau aku nggak akan mengulangi kesalahan yang pernah Ayah dan Bunda buat."
Sesaat Duta terpaku. "Kamu ...."
"Aku tahu," cicit Mika, menundukkan kepala dalam-dalam.
"Sejak kapan? Siapa yang ngasih tahu?" tanya Duta waspada, sebab dirinya dan sang istri belum pernah cerita pada Mika tentang kejadian di masa lalu.
Mika mendecakkan lidah, ia sebetulnya malas meneruskan topik ini tapi ia agaknya tidak bisa menghindar. "Apa sulitnya? Aku udah besar, Yah. Aku bisa bisa tahu sendiri. Bunda dan Ayah baru nikah saat aku udah umur 6 tahun, sebelum itu Bunda dan aku cuma berdua. Jelas kan kalau aku ini lahir di luar pernikahan, terus kalau dihitung-hitung jarak umurku sama Bunda, Bunda melahirkan aku di umur-umur anak SMA. Malah tadinya aku kira Ayah itu bukan ayah kandung aku, terus nggak lama aku nggak sengaja dengar ada yang bilang kalau Ayah dulu orang nggak baik. Ninggalin Bunda padahal Bunda sedang hamil," ungkap Mika. Ia telah menyimpan itu setidaknya 3 tahun terakhir. Mika tidak yakin kedua orangtuanya akan membukan kenyataan itu dan tetap akan pura-pura bahwa Mika anak kecil selamanya yang tidak tahu apa-apa jika tidak diberi tahu.
Duta menghela napas dan merapatkan duduk dengan Mika. "Terus apa yang kamu rasakan setelah tahu itu? Kamu kecewa sama Ayah dan Bunda?"
"Enggak, nggak kecewa. Cuma dulu sempat merasa, oh berati aku ini beban ya buat Ayah dan Bunda. Terutama Bunda. Walau nggak terlalu jelas, aku masih ingat dulu pas kecil sering diajak Bunda pindah-pindah rumah, gimana aku selalu dititipin ke orang karena Bunda mesti kerja, terus kalau hari raya kita cuma rayain berdua sementara semua orang mudik atau ke rumah nenek masing-masing. Mau kecewa atau marah, aku kasihan jadinya."
"Benar, Bunda menjalani kehidupan sulit saat itu. Tapi kalau ditanya, Bunda pasti akan menjawab kalau bukan kamu yang menyulitkan dia. Bunda sama sekali tidak menganggap kamu sebagai beban. Bunda nggak akan mempertahankan kamu kalau dia merasa kamu membebani. Lalu gimana pendapat kamu tentang Ayah?"
Mika menatap Duta sebentar sebelum menundukkan kembali pandangannya, memandangi jemarinya sendiri yang mencubit-cubit kulit betisnya sendiri. "Jujur ya, Yah, awalnya aku marah karena Ayah nggak tanggung jawab, main kabur gitu aja mentingin diri sendiri. Tapi Ayah selalu baik sama aku dan Bunda sejak Ayah datang, jadi ya kenapa aku harus melihat ke belakang? Kalau Bunda saja bisa menerima Ayah, aku juga sama."
Duta tersenyum, senyum yang menyiratkan rasa syukur mendalam karena pemikiran dewasa Mika. "Terima kasih sudah berusaha mengerti, Princess," tuturnya haru. "Saat Bunda bilang kalau dia hamil, Ayah nggak percaya karena itu momentnya pas banget saat Ayah diterima di kampus impian Ayah di luar negeri. Ayah kira itu hanya akal-akalan Bunda biar Ayah nggak jadi berangkat, Ayah sangat marah dan mutusin Bunda. Butuh 6 tahun buat akhirnya Ayah bisa sadar kalau Bunda saat itu nggak bohong. Sejak saat itu sampai sekarang nggak ada hal yang paling Ayah syukuri selain kesempatan yang Bunda dan kamu beri."
"Semua sudah baik-baik saja sekarang, Yah. Aku senang punya keluarga besar, kalau merayakan apa-apa sekarang sama banyak orang." Mika menyengir.
Duta tertawa kecil sembari mengacak rambut Mika dan sejurus kemudian menarik Mika ke pelukannya. "Anak Ayah sekarang sudah dewasa, dulu Ayah bisa peluk kamu cuma pakai satu tangan. Tapi sekarang harus dua tangan. Kamu jangan cepat-cepat dong, tumbuh besarnya, Kak."
"Ih, Ayah kalau aku nggak tumbuh besar itu yang bahaya."
"Iya juga ya, kayaknya Ayah nih yang nggak siap kalau kamu dewasa dan nemu orang yang lebih kamu favoritkan dibanding Ayah. Jangan pacaran dulu, ya, kamu harus tetap jadi anak Ayah sampai lulus SMA."
Sontak Mika mendorong Duta. "Astaga, Ayah jangan mulai nyebelin kayak Bunda, deh."
Duta tergelak dan memaksa memeluk Mika lagi dengan lebih erat, membuat Mika kesulitan melepaskan diri dan teriak-teriak minta dilepaskan disela-sela tawanya.