11 | Marco Bukan Jovan

1812 Words
Dengan terampil, tangan Marco menyisir serumpun rambut yang sebagian warnanya telah memutih itu dalam satu kepalan tangan lalu mengikatnya dengan karet berpita. Marco sangat mahir mengikat rambut meski seumur hidup belum pernah punya rambut panjang ataupun belajar dari bermain boneka, Marco bisa melakukan itu karena terbiasa mengikat rambut mamanya. “Cantik,” gumam Mama, senyum-senyum sendiri memandangi pantulan wajahnya dari cermin di tangannya. “Iya, cantik,” timpal Marco turut tersenyum. Mama tidak akan mendapat pujian itu kalau bukan dari Marco. Di mata semua orang, mamanya pasti hanyalah seorang wanita tua jelek yang bahkan tidak bisa menyisir rambut dan membersihkan kotorannya sendiri, namun bagi Marco, hingga detik ini belum ada yang mampu menggeser posisinya sebagai wanita tercantik di dunia di mata Marco. “Aku berangkat ke sekolah, minta ongkos angkot.” Mama menengadahkan tangan kanan. Marco tersenyum kecil dan pura-pura mengeluarkan sesuatu dari kantong celana lalu meletakkannya di atas tangan Mama, Mama lantas bersorak seperti remaja lalu beranjak pergi dengan langkah riang. Bergabung dengan orang-orang berperilaku ‘tak normal’ seperti Mama di area taman sebuah panti, tempat tinggal Mama setidaknya sejak 10 tahun terakhir. “Jovan, setiap hari kamu ke sini, memangnya kamu nggak sekolah?” Marco mengalihkan pandangannya pada Bu Tessa, seorang perawat sepuh di panti tuna grahita. Saking seringnya Marco ke sini, semua staff panti yang memang tak seberapa besar ini sampai hafal dengan wajah Marco. Mereka masih memanggil Marco dengan nama ‘Jovan’ seperti saat Marco memperkenalkan diri 10 tahun silam, Marco berhenti memperkenalkan diri dengan nama itu sejak ia mulai masuk SMP. Tepatnya, sejak kebencian Marco terhadap orang yang telah memberinya nama itu makin menjadi-jadi. “Malas,” jawab Marco enteng. “Hush, nggak boleh malas-malas,” tegur Bu Tessa, duduk di spot yang ditinggalkan Mama. “Kamu ini masih muda, masih anak-anak malah. Kalau sedari sekarang sudah malas-malasan, kalau besar nanti mau jadi apa?” “Jadi tukang potong rumput di sini juga nggak apa-apa kok, Bu. Malah bagus, jadi bisa ketemu Mama setiap hari.” “Astaga, kamu ini ada-ada saja. Cita-cita kok mau jadi tukang potong rumput.” Bu Tessa geleng-geleng kepala, menganggap ucapan Marco barusan adalah candaan tanpa makna. Padahal Marco benar-benar mempertimbangkan rencana masa depan tersebut. Marco benar-benar ingin memutus segala hubungan dengan papanya. Sudah sejak 6 bulan terakhir Marco memutuskan keluar dari rumah dan tinggal sendirian dengan menyewa sebuah kamar kost, tepatnya sejak papanya memberitahu bahwa anak tirinya akan tinggal di rumah mereka. Papa sama sekali tidak mendengarkan ketidaksetujuan Marco, sehingga Marco merasa tidak punya alasan lagi untuk tetap tinggal di tempat di mana suaranya tidak didengar. Saat pergi, Marco meninggalkan kartu debit pemberian papanya dan selama 6 bulan ini Marco bisa bertahan hidup dengan menjadi penyanyi kafe atau terkadang ikut balapan liar. Hasilnya lumayan, setidaknya Marco bisa membuktikan bahwa dia tidak butuh papanya. Sementara masalah sekolah, Marco terpaksa bertahan di sana karena sebelumnya masih berpikir mungkin kedepannya ia akan butuh ijazah SMA dan untuk pindah sekolah pasti akan repot karena butuh persetujuan wali yang mana itu adalah papanya. Tapi sekarang Marco merasa bisa hidup meski tanpa ijazah SMA. Jika teman-teman sebayanya berlomba-lomba menyetak prestasi demi membanggakan orang tua, lain dengan Marco, tidak ada orang yang ingin ia banggakan karena satu-satunya. Toh Papa tidak akan butuh anak seperti Marco untuk dibanggakan, sebab sudah ada Leo yang akan melakukan tugas itu. Marco tidak punya tujuan mau ke mana, melakukan sesuatu untuk apa dan siapa. Dengan kondisi mamanya sekarang, mama hanya butuh ditemani, dia tidak akan mengerti apa itu prestasi. Bahkan, Mama saja tidak mengenali Marco sebagai anaknya. “Ada masalah lagi sama papamu?” tanya Bu Tessa penuh perhatian. “Memang selalu ada kan, Bu.” “Baiklah, kalau begitu kali ini apa masalah barunya?” Sesaat Marco terdiam, hatinya masih sakit mengingat kejadian itu. “Dia mukul saya di depan anak tirinya.” “Ah … jadi dia jadi tinggal di rumah kalian?” Marco mengangukkan kepala pelan. “Iya,” jawab Marco pendek, tak berniat cerita lebih. Ia tidak pernah berusaha membuat orang lain memahami posisinya, karena sampai kapanpun mereka tidak akan bisa. Orang-orang pasti hanya akan menganggap Marco sebagai remaja labil yang sedang dalam fase memberontak untuk mencari jati diri dan mendapat pengakuan dari sekitar. Mereka tidak akan benar-benar mendengarkan Marco dan paling-paling menyuruh Marco sabar atau mengalah karena dia adalah anak. Lebih dari itu, alasan terbesar mengapa Marco lebih nyaman menyimpan masalahnya sendiri adalah karena ia malu. Marco malu mengakui betapa b****k keluarganya. Marco tersenyum pada Bu Tessa. “Saya pulang dulu ya, Bu. Titip Mama.” “Jovan,” panggil Bu Tessa, menghentikan gerak Marco yang hendak bangun dari duduknya. “Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan sekolahmu. Masa depanmu masih panjang, kamu masih muda. Pasti ada hal baik yang menunggu kamu di depan sana.” Lagi-lagi Marco hanya membalasnya dengan seutas senyum bermakna skeptis. Masa depannya sudah hancur ketika mamanya tidak bisa mengenali Marco itu siapa. Marco baru akan naik ke atas motornya ketika ia menerima sebuah pesan masuk ke ponselnya dari nomor asing. Hi, Marco. Gue Mika Marco hanya membaca sekilas pesan itu tanpa berniat membalasnya. Pesan tidak penting, pikirnya. Ia lebih menghargai orang-orang tang mengirim pesan langsung ke inti daripada digantung sapaan. Kalau dia Mika, memangnya kenapa? Tidak ada hal urgent untuk dibalas. Sesaat kemudian pesan baru masuk lagi, membuat Marco urung menyalakan mesin motornya. Pesan baru dari nomor yang sama. Oh, maksudnya Mikayla Dinta, teman sekelas lo. Di kelas itu cuma ada satu yang namanya Mikayla Dinta, yang paling cantik dan lo jangan pura-pura nggak kenal yang mana dia Marco memutar bola mata malas, lagi-lagi tak penting. Marco lantas mengatur ponselnya mode senyap sebelum mengantonginya. *** Saat tengah memikirkan siapa yang kira-kira bisa mengisi posisi gitaris di bandnya, Mika tidak berbisa berhenti memikirkan nama Marco. Pasti akan sangat sempurna kalau Marco bisa gabung, selain kemampuannya memainkan gitar, Marco juga bisa jadi penyanyi pengiring Alvin. Malahan Mika kepikiran untuk menjadikan Marco vokalis utama karena kalau boleh jujur, suara Marco lebih bagus daripada suara Alvin. Bukan berarti suara Alvin jelek, hanya saja warna suara Marco lebih khas. Agaknya Mika tidak akan bisa tenang sebelum benar-benar membicarakannya dengan Marco, pasalnya Marco sungguh menyebalkan karena tak kunjung sekolah. Di chat pun tidak dibalas, ditelepon tidak diangkat ataupun menelepon balik padahal Mika menelepon lebih dari 10 kali. Orang normal pastinya penasaran mengapa seseorang menelepon sebanyak itu, pasti ada hal genting terjadi. Namun ini Marco, dia mungkin tidak peduli apapun kecuali dirinya sendiri. Sok misterius sekali anak itu. Untungnya Mika tahu harus mencari Marco ke mana. “Om, Marco malam ini manggung, kan?” tanya Mika pada sang paman, Dimas, begitu tiba di kafe dan nyelonong ke ruang pribadi omnya itu di lantai tiga. "Kamu kan temannya, kenapa nggak tanya sendiri?" Mika mengerucutkan bibir sebal. "Sekelas bukan berarti teman ya, Om. Aku aja nggak nyimpan nomor kontaknya." Kalau sekelas otomatis berteman, artinya Mika berteman juga sama Icha. Makanya Mika tidak setuju sekelas diartikan berteman. "Memangnya kalian nggak pernah ngobrol sama sekali?" "Enggak lah, ngapain aku ngobrol sama anak bermasalah kayak Marco? Aku tuh sebel karena dia di sekolah petentang petenteng sok keren," aku Mika. "Terus nih Om sudah 4 hari sejak jari senin sampai hari ini dia bolos sekolah dan nggak bisa dihubungi. Kalau dia bisa manggung berati kan nggak sakit, memang dasarnya anak badung dia tuh, Om sih nggak percaya aku bilang apa. Hati-hati aja, Om, jangan sampai dia bikin ulah di sini terus Om kena imbasnya." Dimas tertawa meningkahi celotehan Mika. "Nggak mungkin, Marco mungkin lagi ada masalah, kamu nggak boleh main judging orang begitu kalau nggak tahu apa-apa. Dia pasti punya alasan." "Alasan apa, dong?" Mika tak bisa mengendalikan diri untuk tidak penasaran. "Kalau dia anak orang miskin kayaknya nggak mungkin deh, Om, biarpun sekolahku nggak internasional-internasional banget standarnya, tapi masih termasuk sekolah swasta elit. Tuition tahunan aja katanya termasuk mahal. Tapi aku herannya, dia juga kelihatan kayak bukan anak orang berkecukupan. Ya bukan mau judging lagi yaa, Om, cuma kan dari penampilan kesannya begitu. Mana dia pake kerja manggung-manggung gini, kan. Nggak salah dong aku mikir gimana-gimana." Dimas menghela napas lalu merangkul akrab sang keponakan. "Iya nggak salah, tapi cukup mikir gimana-gimananya itu buat diri sendiri aja. Nggak usah diomongin ke orang lain, salah-salah nanti jadi fitnah. Lihat, Om tiap hari kerja pake sandal jepit dan sering pakai celana pendek, apa Om kelihatan miskin karena kerjanya nggak necis pake kemeja tiap hari kayak ayahmu? Kan enggak, orang nggak tahu aja kerjaan Om apa." Mika mengerucutkan bibir, mendadak merasa bersalah karena ucapan omnya ada benarnya juga. Mika tidak tahu kehidupan apa yang Marco jalani, Mika teringat kembali ucapan terakhir Marco minggu lalu di sini. Marco tampak marah karena merasa Mika mengatur-aturnya dan Mika tidak tahu apa-apa selain apa yang ada di hadapan Mika. Baiklah, saat itu Mika akui salah, makanya ia tidak bisa berhenti penasaran tentang Marco. Marco manggung di jam semestinya, dan seperti biasa, dia cuek seolah-olah tidak mengenal Mika. Bahkan saat Mika berusaha mendekatinya saat Marco sedang siap-siap, Marco tidak menggubris Miks. Mika menunggu Marco menyelesaikan pekerjaannya sambil bertopang dagu, menikmati musik yang Marco suguhkan. Di penghujung penampilannya, Marco menawarkan apakah ada penonton yang mau ikut nyanyi bersamanya. Mika seketika langsung mengangkat tangan, tapi Marco saka sekali tidak melirik ke arahnya dan terus bicara siapa yang mau. Marco mengangkat tangannya makin tinggi, kali ini disertai lambai-lambaian tangan segala hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Ya hampir semua orang menyadari, kecuali Marco. Di sebelah Mika, Dimas tertawa-tawa menertawakan usaha Mika cari perhatian Marco. Gemas sendiri, Mika akhirnya maju ke depan. "Aku, aku mau," ujar Mika dengan tangan kanan masih teracung, berdiri tepat di depan spot band. Bibir Marco menipis, tampak jelas tengah kesal dari caranya menatap Mika. Mika menyengir lebar, ketika akhirnya Marco mengedipkan mata sekali, isyarat agar Mika bergabung dengannya. "Hai," sapa Mika, mengatasi kecanggungannya. Mika sungguh nekat, ia sebetulnya cukup percaya diri dengan suaranya tapi orang-orang berkata sebaiknya Mika tidak usah nyanyi. Entahlah, Mika hanya merasa ingin tahu rasanya bermusik bareng Marco. Marco sendiri hanya mesem tipis, tapi berusaha profesional dengan membantu mengambilkan Mika microfon dan mengatur kursi berjajar dengan kursinya. "Oh, makasih," ujar Mika, menerima microfon yang diberikan Marco. "Cek cek." Mika tersenyum puas saat microfon berfungsi dengan baik. "Namanya siapa?" tanya Marco, memulai obrolan kecil. "Oh, Mika. Mikayla," jawab Mika, mengikuti permainan Marco. "Ada lagu yang ingin dinyanyiin?" Bibir Mika baru terbuka hendak menjawab ketika suara seruan Dimas dari kejauhan menimpali. "Co, kaku amat kayak lagi wawancana. Ngobrol-ngobrol sedikit lah, Mika kayaknya suka sama kamu." Seketika Mika melotot lebar, itu adalah fitnah paling keji yang pernah ia dengar selama 17 tahun hidupnya. "Enggak-enggak, bohong. Gue nggak suka sama lo, lo bukan tipe gue. Sumpah, nggak bohong." Mika meluruskan dengan panik, tidak sadar bahwa microfon masih ada tepat di depan mulutnya sehingga kontan saja ucapannya memicu tawa semua orang. “Nggak bohong kalau kamu suka sama Marco?” “Iya—eh enggak, OM!” jerit Mika, tak tahan dipermalukan oleh sang paman sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD