Marco Sok Keren
Kirim helm gue pakai Ojol
Mika mendecakkan lidah saat membaca pesan dari nomor Marco. Pesan tanpa salam, permisi, basa basi, dan sebagainya. Benar-benar langsung ke inti. Padahal bisa saja Marco berlagak bertanya apakah benar helm-nya ada pada Mika, meskipun pastinya dia telah bertanya pada Dimas lebih dulu sampai akhirnya dia mengirimi Mika chat.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Mika, dengan semangat ia pun mengetikkan balasan.
Mikayla Dinta
Besok gue balikin di sekolah
Mika tersenyum puas, siapa tahu dengan begini Marco akan kembali sekolah. Helm ini pasti penting bagi Marco, karena kalau tidak, dia pasti akan menunggu besok pagi untuk mengechat Mika dan seolah ingin Mika mengirimnya sekarang juga padahal hari hampir tengah malam.
Padahal apa bagusnya helm ini? Warnanya hitam dengan tempelan stiker-stiker entah apa, mungkin logo-logo band atau logo distro, Mika tak tahu.
Marco Sok Keren
Gue nggak sekolah
Kirim ke tempat gue atau kasih alamat lo, biar gue ambil
Mikayla Dinta
Pokoknya gue bawa sekolah besok
Balas Mika keras kepala. Beberapa saat berselang sejak muncul tanda Marco telah membaca pesan itu tapi tak kunjung ada balasan lagi, Mika asumsikan Marco memang akan membalas lagi. Mika menghelan napas dan meletakkan ponselnya untuk bersiap tidur.
Jawaban Mika tadi mungkin terkesan tidak memahami posisi Marco, sama seperti Mika tidak bisa memahami kenapa semudah itu Marco memutuskan tidak mau sekolah. Kalau masalahnya adalah biaya, jika didiskusikan dengan Bu Cempaka, pasti akan ada solusinya. Setahu Mika, setiap tahunnya sekolah mereka punya kuota beasiswa cukup banyak untuk siswa-siswa kurang mampu. Sekolah itu sangat penting, terlebih dengan kondisi Marco yang begitu. Tidak sedikit cerita tentang bagaimana seseorang keluar dari lembah kemiskinan lewat pendidikan. Marco masih sangat muda, dia punya bakat yang sangat bisa diasah. Mika sungguh menyayangkan jika Marco menghabiskan waktunya dengen kegiatan salah dan pada akhirnya akan menjerumuskannya ke pergaulan lebih salah. Bukan maksud Mika mau diskriminasi atau judging, hanya saja kita semua tahu seperti apa kehidupan anak jalanan.
Mika memejamkan mata, mencoba menjemput mimpinya. Pembicaraannya dengan sang ayah beberapa waktu lalu membuat perasaan Mika sangat lega, setidaknya ia tak perlu lagi berpura-pura tidak tahu apa-apa dan sungguh berharap setelah ini mereka bisa memberikan Mika kepercayaan, tidak sedikit-sedikit melarang dan curigaan.
Sebetulnya, masih ada satu hal yang belum Mika sampaikan karena tak ingin orang tuanya sedih. Selain sedih karena merasa jadi beban, saat pertama Mika tahu bahwa dirinya anak hasil hubungan di luar nikah adalah perasaan rendah diri. Terlebih saat itu kedua orangtuanya belum lulus SMA. Bagaimana jika teman-temannya tahu? Masyarakat punya sebutan untuk anak-anak sepertinya, yaitu anak haram.
Namun, Mika mecoba tidak terlalu memikirkannya. Selain keluarganya dan tetangga-tetangga jaman dulu, tidak akan ada yang tahu bahwa Mika adalah anak haram.
Keesokan harinya, Mika bangun begitu alarm membangunkan seperti biasanya. Namun ada yang sedikit beda lagi ini dari pagi-pagi biasa.
Mika tebak, semalam Ayahnya telah menceritakan obrolan mereka di kamar Mika pada sang bunda sebab pagi ini bundanya itu baiknya kelewatan. Saat Mika belum juga turun sementara Sikka sudah teriak-teriak dari bawah, Sadin tidak ikut teriak tetapi mendatangi kamar Mika dengan mengetuk pintu dan mengingatkan untuk segera turun agar sempat sarapan sebelum berangkat. Di meja makan, tersaji menu kesukaan Mika yang pantang sekali dihidangkan sebagai menu sarapan, terlebih di hari-hari sekolah karena konon membuat mudah mengantuk jika memakannya. Makanan apa lagi kalau bukan nasi goreng, dengan potongan ayam dan irisan bakso serta dua telur mata sapi di atasnya. Bahkan meski tidak ada waktu, Mika rela terlambat atau membawa piring ke dalam mobil hanya agar bisa memakannya. Tak hanya itu, bundanya juga telah menyiapkan tiga tingkat berisi bekal makan siang.
Mika tidak berusaha mengungkitnya dan berusaha bersikap seperti biasa, selalu berusaha memahami kondisi bundanya yang tengah berbadan dua itu. Tidak ada yang perlu minta maaf atau memaafkan, kekhawatiran orang tua dan protes seorang anak bukan sesuatu yang harus dimaafkan. Itu bagian dari komunikasi dalam sebuah keluarga.
Usai sarapan, Mika pamit berangkat sekolah sambil membawa helem Marco yang jelek ini. Berharap Marco benar-benar akan sekolah jika ingin helm ini kembali.
"Helm siapa itu, Mik?" tanya Aninda, begitu melihat Mika memasuki kelas sambil memeluk helm Marco yang telah agak kinclong setelah Mika mengelapnya dengan tisu basah.
Mika menjatuhkan bokongnya di atas bangku, sambil melirik ke arah bangku Marco yang masih kosong. Belum sempat bibir Mika terbuka untuk bersuara, suara lain lebih dahulu menyela.
"Kenapa helm Marco ada sama kamu?" tanya suara yang tak lain adalah milik Leo.
"Marco?" pekik Aninda tekejut, menatap Mika butuh konfirmasi. "Kok bisa?"
Tetapi Mika lebih penasaran bagaimana Leo bisa tahu. "Dari mana lo tahu ini punya punya Marco?"
Leo mengerejap pelan. "Itu ... pernah lihat aja pas dia lewat. Tolong jawab, kenapa bisa kamu bawa helm ini? Kamu tahu dia di mana?"
"Tunggu deh, kenapa lo sangat penasaran sama Marco? Kalian bukan teman dan bahkan dia orang yang pernag ganggu lo." Mata Mika menyipit, menatap Leo menyelidik. Siapapun akan merasa sikap Leo ini sangat aneh.
"Karena dia nggak pernah sekolah dan ada yang bilang dia kabur dari rumah, makanya aku penasaran."
"Hmm, gue nggak nyangka, kelihatannya lo bukan orang yang penasaran sama urusan orang lain." Alih-alih terang, tanda tanya di kening Mika malah makin banyak.
"Tapi, Yo, lo dengar dari siapa Marco kabur dari rumag? Kok gue nggak dengar apa-apa, ya?"
Pertanyaan Aninda diangguki setuju oleh Mika, sama-sama ingin dengar jawabannya. Selain putus sekolah karena malas, mereka berdua belum pernah dengar dugaan lain tentang absennya Marco selama berhari-hari.
"Bee." Suara Icha menyela. Pandangan ketiga pasang mata itu sontak tertuju ke arah Icha yang baru datang dan kini berjalan menghampiri mereka.
"Hadeh," gumam Mika, memutar bola mata. Belum Apa-apa Mika sudah jengah duluan. Dibanding ‘Bee’, Mika rasa Leo lebih cocok disebut Rusa diformalin, saking kakunya.
"Hai, Mika. Hai, hmm ... Aninda, kan?" sapa Icha, melambaikan tangan.
"Iya, hai juga," jawab Aninda sepantasnya, sementara Mika hanya mesem seadanya.
Sejurus kemudian Icha berdiri tepat di sebelah Leo dan langsung memeluk lengan cowok itu. Astaga, Mika benar-benar tak habis pikir, apa mereka harus memamerkan kemesraan di sepanjang waktu bahkan di sekolah juga? Kalau Mika menyuarakan keheranan itu, pasti Mika dikatai iri atau cemburu. Jadi lebih baik Mika diam saja.
"Eh, ngapain kamu sekolah bawa helm tukang kebun rumahmu?"
Sebagai satu-satunya yang membawa helm ke dalam kelas, tentu saja Mika merasa 'kamu' yang dimaksud Icha adalah dirinya. "Ya nggak apa-apa, soalnya gue tahu lo nggak mungkin bawa-bawa helm tukang kebun lo ke sekolah. Kan lo paling benci kalau punya barang sama kayak orang lain, padahal lo belanjanya di toko yang nggak produksi satu khusus buat lo," balas Mika sinis. Ia tidak peduli jika itu membuatnya terlihat kekanakan, Mika hanya ingin Icha berhenti berlagak mereka berteman karena kenyataannya, baik di masa lalu atau masa sekarang Icha selalu merasa levelnya dengan Mika tidak sejajar.
"Kok kamu ngomongnya gitu? Kan aku tanyanya baik-baik." Icha menatap Mika dengan tatapan sedih, lalu beralih pada Leo. "Kamu ingat nggak, Bee. Dulu banget aku pernah kembaran sepatu sama Mika, tapi kan aku waktu itu masih anak kecil jadi aku nggak suka sepatu baruku ada yang samain. Nah kayaknya Mika masih sakit hati. Maafin aku ya, Mik. Aku nggak tahu kamu masih dendam sampai sekarang."
Mika membelalakkan mata tak percaya. Lihatlah drama queen satu ini, lidahnya luwes sekali memutar balikkan fakta demi mendapat simpati Leo, Aninda, dan dua orang di bangku depan Mika yang memutar badan bergabung dalam obrolan. Salah satu dari mereka berujar, "Beneran, Mik, masalah bocah TK lo bawa sampai segede sekarang?"
"Lo kira itu masuk akal?" balas Mika nyolot.
"Enggak, makanya gue tanya karena kan Keisha nggak mungkin sampai kepikiran begitu kalau nggak ada dasarnya."
"Ya dasarnya si Icha ngaco aja. Apaan sih bawa-bawa kejadian jaman kecil," decak Mika terganggu.
"Oh, syukur deh, kalau memang bukan, Mik. Aku takut banget kamu benci aku karena masalah itu. Habisnya tadi tanggapan kamu nggak enak banget."
"A—" Ucapan Mika tercekat lantaran Aninda menahan lengannya, sambil memberinya tatapan isyarat agar berhenti. Akhirnya Mika menghela napas panjang dan menjawab dengan jutek, "bukan."
"Ayo," Leo berguman sembari menarik tangan Icha menuju bangku mereka, barulah Mika bisa benar-benar menghela napas lega akhirnya terbebas dari Icha.
***
Aninda bersorak senang saat Mika membongkar bento tiga susunnya yang sangat cukup dimakan untuk dua orang tersebut, Bundanya pasti sengaja menyiapkan banyak agar Mika bisa membaginya dengan Aninda.
"Bunda lo memang yang terbaik, Mik. Mana kalau jalan kalian kayak kakak adik, ibu rumah tangga juga. Nggak kayak nyokap gue, kerja terus. Kalaupun libur mana pernah turun ke dapur. Kayaknya dari gue bayi sampai sekarang dia bahkan nggak pernah bikinin gue s**u, selalu Bibi yang bikinin," keluh Aninda. Bukan sekali ini Aninda membandingkan Ibu mereka. Aninda asalah anak kedua, Kakaknya laki-laki sedang kuliah di luar negeri. Orangtua mereka sudah cerai, papa Aninda sudah menikah lagi dan tinggal dengan keluarga barunya di Kalimantan nun jauh di sana. Sementara itu mamanya yang menjabat posisi penting di sebuah perusahaan multinasional itu sangat sibuk setiap hari, pernah suatu hari Aninda cerita kalau dia belum bertemu mamanya selama tiga hari padahal mereka tidur dan buang air di rumah yang sama. Tak heran jika Aninda sangat suka berkunjung ke rumah Mika karena rumah Mika selalu ramai dan tiap Aninda ke sana, Bunda Mika akan membuatkan cemilan untuk mereka.
Dari mendengar cerita teman-temannya lah Mika menyadari bahwa setiap keluarga punya masalah ya sendiri-sendiri, apa yang kelihatan bagus terkadang hanya bungkus.
"Ah, kadang gue berharap Bunda itu wanita karir biar ada kesibukan lain selain ngomel dan ngawasin anak-anaknya 24 jam. Sudah kayak satpam kompleks aja. Memang dasar manusia, nggak pernah ada puasnya."
"Iya, sih. Tapi nyokap lo beneran keren sih, Mik. Masih muda, diajak curhat dan bercanda masih nyambung."
Mika menghela napas. "Sejujurnya gue berharap Bunda kayak ibu-ibu kebanyakan."
"Kenapa gitu?"
"Biar kalau posting foto bareng nggak ada yang bilang emak sama anak cantikan emaknya," jawab Mika sekenanya yang membuat Aninda tertawa.
Jawaban itu tidak sepenuhnya asal-asalan. Selain alasan tersebut, alasan lain kenapa Mika kapok memosting foto keluarga atau fotonya dengan Bunda karena usai foto itu terunggah pasti ada saja yang tanya umur bundanya berapa karena di foto masih tampak sangat muda. Seperti kata Aninda, hampir semua mengira mereka kakak beradik. Mika bingung harus jawab apa, jika Mika menyebut umur bundanya, mereka pasti akan mulai hitung-hitungan. 'lho lulus SMA langsung nikah, ya? Masuk sekolahnya lebih muda, ya?' dan berbagai 'lho-lho' lainnya. Mika malu.
"Eh, berhubung gue dapat jatah dari Bunda, gue yang beli minuman, ya. Tunggu sebentar, jangan makan dulu. Tungguin gue, nanti lo habisin lagi semuanya," teriak Aninda sambil berlari keluar kelas.
Senyum Mika berangsur-angsur pudar. Terlepas dari masa lalu orangtuanya dan bagaimana Mika dihadirkan ke dunia, Mika patut bersyukur menjadi anak mereka karena mereka.
Sembari menunggu Aninda kembali, Mika kepikiran untuk mengirim chat pada Marco. Mika memotret helm Marco, lalu menyertakan sebaris pesan di bawahnya.
Dirongsokin aja apa ya
Kurang dari lima menit kemudian, Marco membalas.
Marco Sok Keren
Kan gue bilang nggak sekolah
Milayka Dinta
Dan gue juga bilang akan gue bawa sekolah
Yang butuh helmnya balik siapa?
Mika menyeringai puas dapat mengembalikan kalimat Marco kemarin. Lantaran tak kunjung ada balasan lagi kendati telah muncul tanda terbaca, Mika pun mengirimkan serentetan pesan lain.
Mikayla Dinta
Gue rongsokin beneran ya
Bener boleh ya
Eh tapi bakal laku nggak, helm jelek gini nggak yakin ada yang mau beli
Eh, baunya astaga. Lo nggak pernah keramas apa gimana?
Kutu kayaknya betah tinggal di rambut lo
Pesan tidak dibaca. Mika mendecakkan lidah dan akhirnha keluar dari ruang obrolan, dasar Marco membosankan, tidak bisa diajak bercanda.
Sejurus kemudian Aninda datang sambil lari-lari kecil tapi di tangannya tidak ada cup minuman bola-bola sagu yang katanya mau dia beli. "Lah Nin, kok—" Mika tidak jadi bicara lantaran tahu-tahu Aninda memeluknya. Ini sangat aneh, biasanya yang suka gelendotan tiba-tiba adalah Mika.
“Mik, apapun yang nanti lo dengar, lo nggak boleh sedih ya. Lo itu berharga, lo itu berkat buat orang-orang yang sayang sama lo.”
“Eh eh, apaan, sih, Nin? Ada apa memangnya?” Mika mendorong pelan Aninda hingga pelukan Aninda terlepas. “Kapan lo pernah lihat gue sedih? Gue nggak pernah peduli omongan orang, dari kecil gue udah terlatih dikata-katain. Jadi, bilang sama gue, ada apa?”