Hari mulai gelap saat Marco berhasil memenangkan tantangan balapan hari ini, yang menantang adalah Robert dari geng motor sebelah, makanya jumlah taruhan terbilang banyak dibanding balapan biasanya. Robert memang punya dendam pribadi terhadap Marco, di balapan-balapan terakhir, Marco berhasil mengalahkan Robert 3 kali berturut-turut. Padahal motor Robert jauh lebih mahal daripada motor Marco yang hanya modifikasian bengkel biasa. Dan, setelah ini Robert pasti makin tidak bisa tenang.
“Nih, bagian lo.”
Marco menerima uang hasil taruhan yang telah dibagi dua dengan Topan karena telah meminjaminya motor. Tanpa merasa perlu menghitungnya, Marco langsung melipat amplop berisi uang itu lalu menyelipkannya ke kantong celana samping.
“Cewek lo kayaknya ngambek, tuh.” Topan melemparkan pandangan pada Mika yang menyandar di pohon di belakangnya tapi tatapannya tajam terhungus ke arah Marco.
Marco menghela napas. “Bukan cewek gue.”
Topan menyeringai, seperti memang sengaja menggoda Marco. "Ya udah, pacarin lah." Marco merespon dengan delikan tajam yang membuat Topan terkekeh-kekeh puas berhasil sedikit menggoda Marco. “Santai, Co. Biasanya yang sok ogah-ogahan gini, nanti lama-lama jadi yang paling bucin."
"Nggak masuk akal lo."
"Terserah kalau nggak percaya, lihat aja nanti." Topan menghendikkan bahu tenteng. "Sekarang lo tinggal di mana, sih?” tanya Topan kemudian.
“Kenapa? Ada yang nanya ke lo?” Marco tersenyum miring. Ia tak akan kecolongan dua kali dengan cara sama.
Biarpun Marco telah keluar rumah, Marco tahu papanya masih mengawasinya melalui orang kepercayaannya. Dia selalu bisa menemukan di mana Marco tinggal dan selalu menanyakan Marco pada Topan. Walaupun sudah mengenal Topan cukup lama, orang mata duitan seperti Topan tentu saja lebih memihak siapa yang bisa memberi uang.
“Ck, enggak lah. Ya biar gue gampang aja kalau mau cari,” tampik Topan kentara sekali bohongnya. “Lagian lo ngambek sama bokap sendiri nggak selesai-selesai.”
Marco mengibaskan tangan remeh. “Udah lah, gue balik duluan. Kalau Robert nantangin lagi, kabarin aja.” Tanpa menunggu respon Topan, Marco langsung pergi. Ia menyeberang jalan menuju tempat Mika menunggu dengan wajah tertekuk-tekuk mirip dompet lusuh.
“Gue akan berusaha ngerti kalau lo ikut balap-balapan karena hobby, tapi kalau buat cari duit, serius, Co?” Mika menyambut Marco dengan pertanyaan bagi Marco layak disebut menerobos privasi orang lain.
“Kalau buat duit, memang kenapa? Gue nggak merampas hak orang lain, nggak mencelakai orang lain. Semua orang punya pilihan masing-masing, dan lo nggak harus ngerti pilihan orang. Cukup hormati aja, toh pilihan itu nggak mengganggu hidup lo,” balas Marco, berusaha tidak terlalu ambil hati ucapan Mika. Lebih tepatnya, Marco terbiasa mendengar orang lain menyayangkan pilihan hidupnya, tentunya yang menyangkut keluarnya Marco dari rumah.
“Apa lo akan bilang begitu juga kalau yang ngomong bukan gue tapi nyokap lo?”
Marco menatap Mika sesaat lalu menjawab, “sayangnya, nyokap gue nggak akan pernah menanyakan gitu. Dia tahu gue anaknya aja enggak,” jawab Marco sambil lalu.
Mika terpaku seketika, sungguh selalu ada hal tak terduga dari Marco. Mika bertanya-tanya apa kalimatnya keterlaluan? Dari kata-kata Marco sepertinya Ibu Marco sudah meninggal, atau mungkin karena Marco berpisah dengan ibunya saat Marco masih bayi dan tidak pernah berhubungan lagi hingga saat ini. Entah yang mana yang benar, kedua-duanya bukan hal yang bagus untuk di-mending-mending-kan. Mika berharap kedua tebakannya salah. Namun satu yang sangat Mika yakini, Marco sedang bermasalah dengannya. Dari perihal ibunya tadi, ditambah ucapan tak tuntas Topan bahwa Marco anak orang kaya yang marahan dengan papanya.
“Mau pulang, nggak?”
Mika mengembuskan napas lalu berlari kecil, berusaha menyejajari langkah Marco. “Maaf, gue nggak bermaksud menyinggung,” ujar Mika, merasa harus melakukannya.
Marco melirik Mika sekilas. “Udah biasa, lo kan emang selalu gitu."
Mika mendelik dramatis. "Gue nggak tahu!"
Marco melirik Mika sekilas lalu memutar bola mata berlagak malas. "Iya deh, lo nggak tahu. Tapi jangan diulangi. Kalau lo nggak cukup kenal sama orang itu, sebaiknya diam.”
Langkah Mika melambat lalu tahu-tahu ia menyadari kakinya berhenti saat Marco memutar badan lantaran Mika tak berjalan di sebelahnya. Saat tatapannya bertemu di satu garis dengan tatapan Marco, saat itulah Mika kembali menyadari satu hal, bahwa ia ingin kenal lebih banyak tentang Marco. Namun Mika buru-buru menggelengkan kepala berusaha menepis pikiran itu. Mika mengingatkan diri sendiri bahwa itu tidak normal, tidak wajar. Tidak baik terlalu penasaran dengan kehidupan orang lain.
Mika kembali berlari kecil saat Marco mulai menarik napas panjang, seperti bersiap meneriaki Mika. “Kita akan pulang?” tanyanya, lalu mereka sama-sama mulai berjalan.
“Lo yang akan pulang, gue antar.”
“Tadi katanya lo nggak bisa pulang sebelum jam 9 malam. Ck, kan gue udah telanjur bilang Bunda kalau mau pulang telat.”
“Kan lo tinggal bilang belajarnya selesai lebih cepat, repot amat jadi orang.” Suara Marco makin lama makin menyerupai geraman, tanda bahwa cowok itu sedang berusaha menahan kesabaran.
“Karena gue nggak setiap saat diizinin pulang telat. Gue mau ikut lo lagi.” Ucapan Mika disusul dengan pekikan kaget lantaran keningnya menabrak pundak Marco lantaran cowok itu tiba-tiba berhenti melangkah. “Aduh. Jalan yang bener, dong!”
Marco memutar badan hingga kini berdiri berhadapan dengan Mika. “Apa lo terbiasa main ikut orang asing tanpa nanyain dia mau ke mana?” tanya Marco dengan mata menyipit seolah baru menjumpai orang seperti Mika. “Lo ini cewek, nggak ada takut-takutnya sama orang asing. Kalau gue ternyata orang jahat gimana?"
"Lo emang nyebelin, tapi lo bukan orang jahat."
"Dari mana lo tahu?"
"Feeling." Mika menjawab dengan begitu yakin untuk sebuah jawaban yang dasarnya tidak meyakinkan.
Marco mendecakkan lidah remah. "Terserah, tapi gue tetap nggak mau ngajak lo. Buruan, gue antar pulang."
"Kalau gue nggak boleh ikut, lo nggak perlu antar. Gue bisa pergi sendiri," ucap Mika, saat Marco mulai melangkahkan kakinya lagi.
Marco berkacak pinggang, orang sakti pasti bisa melihat ada kepulan asap tipis di kepalanya saat ini. "Dengar, ya, Mikayla Dinta yang ngaku paling cantik di kelas, gue mau antar lo pulang bukan karena ingin tapi merasa bertanggung jawab. Tempat ini jauh. Tapi lo datang sama gue, meskipun lo yang maksa ikut, tetap aja gue yang harus pulangin lo. Ngerti? Jadi jangan makin ngerepotin gue dengan sikap keras kepala lo ini."
"Gue belum mau pulang! Gue bukan anak kecil, gue tahu jalan pulang!"
"Ya udah sana pergi sendirian!"
"Ya udah!" Mika melotot tapi matanya berkaca-kaca.
"Ya udah sana!"
"Lo yang sana!""
"Lo sana duluan!"
"Ya lo lah yang duluan."
Marco mengacak rambut sambil mengumpat kesal, menyadari betapa konyolnya mereka saat ini. Saling mengusir tapi tidak ada yang pergi. Marco sangat yakin Mika bahkan tidak tahu harus jalan ke arah mana. Tapi masa bodoh, Mika sendiri yang sesumbar bahwa dia tahu jalan pulang, kenapa pula Marco harus peduli.
Akhirnya Marco lah yang beranjak lebih dulu menuju motor Topan yang masih dipinjamnya itu terparkir. Baru beberapa langkah jalan, terdengar suara sirine khas mobil polisi, lalu penonton-penontin balapan yang masih berjejeran di pinggir jalan langsung tancap gas kabur. Sontak Marco membalikkan badan dan melihat Mika memandang sekeliling dengan bingung, sementara mobil polisi makin mendekat.
Mika tak punya waktu untuk kaget saat tangannya ditarik oleh Marco untuk berlari mengimbali Marco, sementara suara sirine polisi kian mendekat dan semua penonton balap liar rusuh saling membubarkan diri, berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Mika dan berlari sekencang mungkin tanpa arah, Mika hanya tahu dirinya tidak boleh sampai tertangkap atau Mika tidak akan pernah mendapat kepercayaan dari orang tuanya bahwa ia bisa menjaga diri.
"Hei, kalian berdua, berhenti!" teriak seorang petugas polisi yang ternyata mengejar mereka memakai motor.
"Sial," maki Marco, bersamaan dengan langkah mereka dihadang oleh si polisi dan mereka tidak bisa ke mana-mana lagi.
"Mau kabur ke mana kalian? Bikin repot petugas saja!"
"Gimana dong, Co?" Mika merengek ketakutan. Marco membalasnya dengan mengeratkan tangannya yang mengenggam telapak tangan Mika, seakan menyiratkan pesan bahwa semua akan baik-baik saja.
Suasana di belakang mereka begitu kacau, polisi menangkap siapapun yang bisa ditangkap. Inilah yang Mika takutkan sejak awal walau kelihatannya kecil kemungkinan terjadi, benar-benar seperti mimpi. Otak Mika kosong menyadari situasi yang dihadapinya saat ini. Baru saja semalam Mika minta agar ayahnya percaya padanya, tapi dengan ditangkap polisi begini menunjukkan bahwa Mika tidak bisa dipercaya. Yang langsung terbayang di kepala Mika adalah wajah marah bundanya dan setelah itu mereka akan makin protektif dan selalu mencurigai Mika.
"Ayo sini, kalian." Petugas polisi itu menunjuk mobil angkut beberapa meter di belakang mereka.
"Pak, Pak, tunggu dulu, dia cuma orang lewat. Saya yang balapan," ujar Marco, berusaha mengeluarkan Mika dari masalah.
"Halah, sok romantis kamu, Bocah. Kalau cuma orang lewat, ngapain kamu gandeng dan ajak kabur? Kalau mau bohong, lepasin dulu itu gandengan tangan kalian."
Sontak Marco langsung melepaskan tangan Mika meski itu tidak mengubah apa-apa. "Biarin dia pergi, dia beneran nggak tahu apa-apa."
"Nggak, nggak ada. Kalian berdua ikut ke kantor, biar orangtua kalian tahu ulah kalian di luar. Kecil-kecil udah berani pacaran sama balapan liar. Kalau besar mau jadi apa kalian?"
"Mungkin akan jadi polisi teladan sepati Bapak, makanya biarin dia pergi biar namanya nggak punya catatan jelek di kepolisian."
Sesaat Mika tertegun menatap Marco yang berusaha membelanya, Mika hampir tertawa lantaran Marco terlihat jelas berusaha keras bersikap manis padahal itu sangat bukan karakternya. Demi mendukung Marco, Mika menggut-manggut sambil memasang tampang sendu. Hingga kemudian dibuat panik saat anggota polisi lain berseru agar menyeret mereka karena kelamaaan, takut kabur. Lalu sejurus kemudian badan Mika didorong-dorong agar jalan oleh petugas polisi itu.
"Woy, nggak usah kasar, dong!" protes Marco, menarik Mika ke belakang tubuhnya. Pergelagan tangan Mika dicengkeram kuat oleh Marco.
"Hadeh, bocah ini. Siapa yang kasar? Ini kita cuma melakukan tugas, ngerti nggak?"
"Ya itu tadi dorong-dorong. Nggak lihat apa dia cewek?!" Marco kembali menjadi dirinya sendiri.
"Makanya buruan jalan selagi diminta sopan!"
"Sopan dari mananya kalau kalian nggak mau dengar? Sudah gue bilang, cewek ini cuma ada di waktu yang salah. Jangan bawa dia."
"Kami akan dengar kalian di kantor, bicara saja sepuasnya kalian di sana."
"Halah, ngapain lo ladenin bocah. Buru bawa ceweknya." Seorang polisi lain berbadan lebih besar tahu-tahu muncul dari arah belakang dan langsung meringkus Marco. Benar-benar memperlakukannya seperti penjahat. Kedua tangan Marco dipiting ke balakang, lalu dia dorong hingga Marco kesulitan berontak. Mika yang semula hanya bisa mematung takut, berlari berusaha membantu Marco melawan agar dilepaskan. Dengan brutal Mika memukul-mukul polisi itu sambil teriak-teriak 'lepas' dan segala makian lain yang sukses membuat Marco takjub atas keganasan dan keberanian gadis ini.
Melihat temannya diserang dua remaja nakal, polisi lain membantu temannya. Mika dan Marco kalah, keduanya diseret paksa menuju mobil polisi modal bak terbuka dengan dua kursi panjang di atasnya. Di saat Mika sudah ada di titik pasrah, saat ia akan naik ke atas mobil itu, sebuah sedan hitam mengkilat menepi tepat di depan mobil polisi. Seorang pria tinggi tegap kisaran umur 30-an memakai setelan jas sangat rapi keluar dari mobil itu dan menghampiri mereka. Lantaran sosoknya begitu mencolok, perharian polisi teralihkan padanya.
Dia mengajak seorang petugas polisi menyingkir untuk bicara. Mika awalnya tidak ambil pusing siapa sebenarnya pria itu, tetapi setelah dia melempar pandang pada ke arah Marco dan petugas polisi itu juga melihat ke arah Marco dengan wajah terkejut, pelan-pelan Mika akhirnya ikut menatap Marco dan mendapati raut kaku di wajah cowok itu.
"Lo kenal dia, Co?" tanya Mika hati-hati.
Marco sama sekali tidak merespon hingga pria berjas hitam dan petugas polisi itu kembali, dia memberi isyarat pada rekannya untuk melepaskan Mika.
"Terima kasih," ujar pria itu pada polisi.
Si polisi hanya mengangguk disertai senyum masam demi tuntutan sopan santun, lalu berkata pada Marco. "Maaf tadi saya kasar, permisi."
Mika melongo, bibirnya membuka tapi tak keluar suara. Mika sungguh tidak mengerti apa yang terjadi, mengapa semudah ini mereka dilepaskan dan polisi minta maaf di saat seharusnya Mika dan Marco lah yang harusnya bersujud terima kasih karena telah dilepaskan.
Pria itu menghela napas panjang saat di sana akhirnya hanya tinggal mereka bertiga. "Jadi di sini kamu ternyata. Ayo," ajaknya, merangkul pundak Marco bersahabat.
"Papa di mobil?" Marco memaku kakinya dan menepis pelan rangkulan itu.
"Iya."
Mika masih belum mengerti apa-apa, ketika Marco memutar badan menghadapnya. "Tunggu di sini sebentar."
"Co," panggil Mika menahan Marco. "Lo... bisa pergi sama Omnya, gue bisa pulang sendiri naik taksi kok." Mika tersenyum gamang. Walau bingung, satu hal yang Mika mengerti, Papa Marco sedang menunggu di mobil dan Mika tidak boleh menganggu karena Marco harus menyelesaikan konflikbya dengan papanya sesegera mungkin.
Marco menggeleng dan menatap Mika tegas. "Lo pulang sama gue, gue udah janji."
Seolah tak ingin lagi mendengar bantahan Mika, Marco langsung beranjak pergi dari hadapan Mika.