15 | Tunggu Disini

1197 Words
Mika menoleh-noleh ke sekitar dengan ngeri dan mulai agak menyesal karena tidak bertanya Marco akan ke mana dan main ikut saja. Mereka berada di pinggir jalan raya sepi di pinggiran kota. Saat mereka tiba, di sana telah ada belasan motor yang parkir di pinggir jalan. Bukan mau menghakimi, namun jika dilihat dari penampilannya, mereka seperti anak-anak 'gaul' pinggiran kota. Banyak di antara mereka memakai barang-barang dengan logo brand tertentu yang sepintas saja terlihat palsu. "Co, lo mainan begini juga?" tanya Mika. "Bukannya ini ilegal, ya?" "Memang," jawab Marco enteng, sambil melepas pengait helm di kepala Mika lalu memakai helm itu ke kepalanya sendiri. "Pulang sana kalau nyesel." "Nggak nyesel, penasaran malah. Tapi... nanti nggak bakal ada polisi tiba-tiba datang kayak di film-film, kan?" Mika berjengit ngeri membayangkan. "Ya tinggal kabur." "Ck, gue serius, Co!" Marco menghela napas lalu menatap Mika, baru juga sampai tapi kesabarannnya sudah diuji lagi. "Pulang aja lah kalau ribet." Mika mengerucutkan bibir sebal. "Baru juga sampai." Mika berdecak, ia telah telanjur minta Pak Mulyo pulang padahal dia sudah tiba di sekolah dan telah minta Aninda kerja sama pura-pura belajar bersama sehingga Mika bisa izin pulang terlambat pada bundanya. Setelah mengatur kerepotan ini dan itu, tentu saja Mika tidak mau langsung pulang begitu saja. Terlebih Mika sangat penasaran dengan apa yang akan Marco lakukan, sebab ini pertama kalinya Mika berada di tempat balapan liar. "Kalau gitu, ingat syarat yang gue bilang tadi?" "Nggak boleh gangguin kerjaan lo," sahut Mika terpaksa. Marco mengangguk sekali, mirip pelatih yang puas peliharannya berhasil melakukan apa yang dia ajarkan. "Kalau masih mau di sini, jangan sok ilegal-ilegal, nggak ada yang peduli. Cukup lihat aja dan nggak usah komentar apa-apa." "Iya iya, gue ngerti." Marco pasti menganggap Mika sangat bodoh karena mengingatkan Mika hal sama berkali-kali. "Tapi, Co, ini kita mau nonton aja atau lo ikut balapan?" tanya Mika. Jika ditilik dari bagaimana Marco bersikukuh mengambil helmnya dari Mika dan kini telah memakai helm itu di kepala, Marco mungkin membutuhkan helm itu untuk balapan ini. "Menurut lo?" jawab Marco asal-asalan lalu melepas jaketnya jins hitam miliknya, dan menyodorkannya pada Mika. "Pakai ini, kalau ada apa-apa sekolah nggak langsung kena." "Emang kemungkinan terjadi apa-apa besar, ya?" Saat Marco menatap Mika malas dan menghela napas, buru-buru Mika mengambil jaket itu dan memakainya, sebelum Marco marah dan mengusirnya lagi. Jaket itu tentu saja kebesaran di badan Mika, kira-kira ukurannya tiga kali lebih besar dari ukuran badan Mika. "Oke, gue diam." Mika membuat gerakan menutup resleting di depan bibirnya. Sejurus kemudian tiga buah motor berhenti di depan mereka, Mika langsung mundur dan agak bersembunyi di belakanb tubuh Marco. "Eits, udah bawa cewek aja lo, Co," goda salah seorang berambut keriting gondorong. "Pantesan diajak pacaran sama Dera lo sok nggak mau pacaran, ternyata udah punya cewek toh. Lumayan, pinter juga lo cari cewek cakep." "Gue bukan ceweknya," sambar Mika sebelum terjadi kesalahpahaman dan yang lainnya ikut menggoda. "Buset galak amat. Biasanya yang galak-galak begini ngarep tapi ditembak-tembak. Tunggu apaan lagi, sih, Co." Si Gondrong tertawa-tawa sambil menunju kasual lengan Marco. "Jangan sembarangan ngomong, ya. Nggak kenal tapi sok tahu. Marco bukan tipe gue!" Penyangkalan Mika mendapat sorakan dari teman-teman Marco yang kini mengelilingi mereka, kebanyakan cowok tapi ada juga ceweknya. Kalau teman-teman Marco modelannya begini, tidak heran kenapa dia kepikiran untuk berhenti sekolah. Sungguh disayangkan padahal Marco punya potensi lain yang bisa dikembangkan selain melakukan ini. "Marco cakep begini dibilang bukan tipenya. Tipenya kayak siapa, sih, Neng? Sama Abang Topan aja, mau nggak," goda si Gondrong mendekati Mika, tapi langsung dihalangi oleh Marco. "Nggak usah peduliin dia," ujar Marco seolah-olah keberadaan Mika di sini memang tak penting. "Gimana jadinya?" Pertanyaan Marco langsung mengalihkan duniaTopan, si cowok gondrong ketiring itu dari penasaran siapa sosok Mika. "Sesuai yang kemarin, Robert nggak mau kalau bukan sama lo." "Duitnya gimana?" "10 Juta." "Oke." Mika melotot. Bukan, bukan karena kaget mendengar nominal 10 juta adalah nominal banyak, tetapi karena Marco semudah itu bilang 'oke', menyanggupi tawaran yang Mika yakini apa lagi jika bukan balap motor itu. Bagi Mika, 10 juta adalah nominal kecil jika dibandingkan dengan nyawa yang harus Marco pertaruhkan. Ini mereka membicarakan tentang balap liar, kegiatan ilegal yang keselamatan diri dan mungkin saja pengguna jalan lain jadi taruhan. "50 50, ya?" ujar Topan yang kali ini tidak Mika mengergi konteksnya. Marco mendecakkan lidah malas. "Kemarin lo bilang 70 30." Topan menepuk-nepuk punggung Marco. "Hei, lo milihnya motor ini, sih. Ini motor baru jadi, belum pernah gue pakai, masih perawan jadi udah pasti mantap lah." Mika geleng-geleng kepala, dalam hati mencibir analogi Topan yang sangat buruk. Jadi, berhubung motor Marco masih ditahan polisi, Marco terpaksa meminjam motor Topan untuk balapan. Marco menghela napas, lalu menganggukkan kepala. "Ya udah." Kedua mata Mika kembali terbebalak. "Heh, lo gila?" Kali ini Mika gagal bersikap tidak peduli. "Lo mau balapan cuma demi uang 5 juta?" pekikan tertahan yang sarat akan keherana itu membuat teman-teman Marco kembali berisik, saling berbisik. "Co, lo bawa anak Sultan mana, sih? Songong amat 5 juta dikata 'cuma'?" Topan tertawa keras. "Cantik, 5 juta itu banyak. Biasanya sekali balapan paling 500 ribu." "Co!" Mika menghentakkan kaki lantaran Marco diam saja. Mika sungguh tidak tahan. Dibanding dengan bahayanya, berapapun nominal uangnya, bagi Mika kecil. Kecuali balapannya itu balapan legal, dilakukan di tempat khusus, dengan tim yang memastikan kelayakan kendaraan dan atribut keselamatan yang si pembalap gunakan. Apalagi untuk uang ratusan ribu saja. Mika tak menyangka Marco menjalani kehidupan seperti ini. Marco menatap Mika sebal. "Gue tadi udah bilang apa sebelum lo ikut—" "Tahu, gue masih ingat," sambar Mika cepat. "Tapi ini bahaya, Marco! Uang segitu nggak ada artinya kalau sampai lo kenapa-kenapa. Nggak cukup buat bayar rumah sakitnya." "Mika, dengar, lo nggak harus mengkhawatirkan gue atau biaya rumah sakit gue kalau gue kecelakaan. Gue nggak butuh. Kalau lo nggak bisa diam, mending sana pulang," ucap Marco kejam. "Hu..., " sorak Topan dan beberapa yang lain, mereka pasti dapat melihat jelas raut kecewa campur terluka di wajah Mika. Bibir Mika seketika mengatup, kata-kata yang ada di kepalanya menguap bersama kalimat pedas Marco barusan. Tidak ada yang mengherankan sebetulnya, salah Mika sendiri kenapa harus peduli. Sejujurnya, kekhawatiran Mika memang tidak beralasan, murni semata-mata karena kemanusiaan. Meski orangnya bukan Marco, bahkan itu orang tak dikenal sekalipun, seandainya memungkinkan Mika pasti akan mencegahnya ikut balapan liar. "Gimana, Co? Cewek lo kayaknya nggak ngasih izin, tuh. Mau lanjut apa enggak?" desak Topan. "Lo udah baikan sama bokap lo yang tajir itu apa gimana? Udah nggak butuh duit kayaknya." "Marco bokapnya tajir?" "Lah? Lo belum tahu, ya? Bokapnya Marco ini kan—" "Gue ambil." Suara Marco memotong ucapan Topan, membuat Mika mengerutkan kening karena seolah-olah Marco tidak ingin Topan memberi tahu semua orang siapa 'Bokap Tajir' yang akan dia katakan itu. Sejurus kemudian konvoi sebuah rombongan datang sambil menggeber-geber motor mereka dan semua orang mulai bersorak. Motor paling depan pada rombongan itu mengacungkan jari tengah ke arah Marco, sepertinya mereka adalah musuh bebuyutan atau semacamnya. Mika tahu, dirinya tidak bisa menahan Marco. Mika tadinya berniat langsung pergi setelah ini, ia tak mau terlibat dalam kehiatan ilegal yang sangat bodoh ini. Tapi mendadak ia ingin tetap tinggal setelah Marco membalikkan badan menghadapnya dan mengucapkan dua patah kata sambil menatap Mika. "Tunggu disini," ucap Marco.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD