17 | Sampai bertemu lagi, Coco

1463 Words
Entah seperti apa kehidupan Marco, ucapan teman Marco bahwa Marco anak pemilik sekolah, yang sempat Mika anggap sebagai lelucon kini menjadi masuk akal. Marco ternyata benar-benar anak orang kaya dan tampaknya punya jabatan penting sampai-sampai anak buahnya tinggal sebut nama dan polisi langsung melepaskan Marco dan Mika. Mika tak habis pikir, mengapa Marco menyembunyikan identitasnya, tinggal di gang kecil, dan bahkan manggung di kafe serta balapan liar untuk mencari uang. Jika sudah begini, makin sulit bagi Mika untuk tidak penasaran dengan Marco. Mereka kini duduk berdenpetan di bangku bus, berhadapan dengan deretan penumpang lain. Mika mengunci mulut, mencegah diri untuk tidak bertanya tentang pertemuan Marco dengan papanya tadi. Sementara Marco sendiri terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa, padahal masih jelas di ingatan Mika, saat hendak menemui papanya tadi, Marco tampak tegang. Entah memang tidak terjadi apa-apa, atau Marco lah yang terlampau lihai menyembunyikan perasaannya. Sekalipun memang ada apa-apa dan Marco sengaja menyembunyikan perasaannya, Mika berharap Marco punya seseorang sebagai tempat dia berani dan nyaman untuk terbuka. Saat bus berhenti di halte pemberhentian, segerombolan penumpang naik. Mika mengerejap lantaran Marco tiba-tiba berdiri, memperilakan seorang wanita paruh baya untuk duduk di kursi yang tadi didudukinya, sementara dia berdiri dengan berpegangan pada ring pegangan yang menggantung di atas. "Oho gentleman," ledek Mika. "Adab," timpal Marco acuh tak acuh. "Oh." Mika menahan senyum mengejek. Orang yang baru sepintas kenal dengan Marco, seperti Mika misalnya, pasti tidak akan percaya orang seperti Marco tahu apa itu adab dan bahkan mempraktekannya. Sejurus kemudian, orang terakhir naik, kebetulan orang itu adalah seorang ibu hamil. Sebagai yang merasa muda dan sehat, Mika memberikan kursinya pada ibu itu. "Adab," ujar Mika pada Marco, padahal di wajah Marco tidak ada reaksi apa-apa atas sikapnya itu. Mika tersentak saat bus tiba-tiba melaju, tubuhnya terdorong lantaran ia belum sempat berpegangan. Ia pasti sudah jatuh tersungkur dengan posisi memalukan jika saja tidak ada tangan Marco yang menahan pinggangnya dan refleks Mika memeluk Marco. Sekejap kemudian Mika buru-buru melepas pelukannya dengan perasaan panik luar biasa. Mika berdeham. "Maaf, kaget." "Tuan Putri baru pertama naik bus, ya?" Marco mengejek sambil melepaskan rangkulannya di pinggang Mika saat jalan bus mulai mulus. "Enak aja, salahin supirnya tuh, jalan nggak pakai aba-aba. Main gas aja." Mika berpegangan di ring depan Marco, tangannya benar-benar lurus agar bisa menjangkau pegangan itu. Di titik inilah Mika menahan diri untuk tidak mengagumi betapa tingginya Marco lantaran dia bisa memegang ring pegangan dengan tanpa upaya. "Oke, artinya beneran baru pertama kali." "Dibilangin enggak! Aku pernah naik bus, ya... emang udah lama banget, sih." Tampik Mika meski sadar itu percuma. Marco membuang muka, menyamarkan senyum kecil di bibirnya, pemandangab seperkian detik itu tertangkap mata Mika dan membuat Mika terpaku takjub. Jarang-jarang dia melihat Marco tersenyum lucu, bukan senyum setan seperti setiap kali dia mengerjai orang di sekolah. Terlalu hanyut dalam tatapannya, Mika sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Termasuk menyadari kening Marco berkerut, menatap Mika dengan aneh. "Nggak ada cabe di gigi gue, kan?" "Eh?" Mika mengerejapkan mata cepat, dibangunkan dari lamunannya. "Lo dari tadi ngelihatin gue." "Ngapain gue ngelihatin elo?!" Mika melotot kaget dan salah tingkah. "Ya itu yang gue tanyain, ngapain lo ngelihatin gue." "Gue nggak ngelihatin lo!" Mika menyelak defensif. "Jelas-jelas lo tadi ngelihatin gue." "Enggak ya!" "Oke, ya udah enggak." Marco menyudahi tapi tidak terlihat percaya, semata-mata lantaran tak ingin perdebatan mereka akan membuat mereka terlihat makin konyol di dalam bus yang penuh penumpang ini. "Nyebelin," Mika mendengkus dan memutar badan memunggungi Marco. Mika sungguh malu, benarkah tadi ia menatap Marco? Itu pasti aneh sekali, seseorang tidak mungkin menatap orang lain begitu lama jika tidak ada yang menarik dari objek tersebut. Sialan. Marco sekarang pasti sedang berpikir yang bukan-bukan, Mika harus cari kesempatan untuk menjelaskan sebelum Marco makin salah paham. *** Keduanya turun di halte di terdekat dari kawasan rumah Mika. Mereka sudah sepakat Marco akan mengantar Mika sampai di sini saja, Marco tidak boleh mengantar Mika sampai depan rumah atau bundanya akan bertanya-tanya mengapa bilangnya belajar dengan Aninda tapi pulangnya bersama Marco. Mika berniat melanjutkan perjalanan ke rumah menggunakan taksi online. Marco ikut turun di halte itu dengan alasan mau mampir ke minimarket yang memang ada tepat berada di belakang halte. Mika duduk di halte menunggu taksi pesanannya datang, sepertinya akan sedikit terlambat karena jalanan lumayan padat. Mika menghela napas berkali-kali, perasaanya sungguh tak tenang karena belum menjelaskan kejadian di bus tadi. Mika bimbang, mau menjelaskan takut dianggap berlebihan, bisa saja Marco tidak berpikir sampai sejauh yang Mika pikirkan. Namun, pura-pura tidak memikirkan malah makin membuat Mika kepikiran. "Ah, bodo," decak Mika menendang-nendangkan kakinya sambil megacak rambut. Mika bingung sekali dengan isi pikiran dan hatinya sendiri. "Nih." Mika mendongak ketika tahu-tahu sebuah kantong plastik disodorkan padanya oleh Marco. "Apa ini?" tanyanya sambil menerima kantong itu dan mengintip isinya. "Es krim?" seru Mika mendapati kantong plastik ukuran sedang itu dipenuhi okeh es krim berbagai jenis dan rasa, Mika tebak Marco mengambil semua varian yang ada di freezer. "Buat gue?" Marco mengangguk sambil menggigit es krimnya sendiri dan duduk di sebelah Mika. "Semua?" tanya Mika tak percaya. Tidak ada angin atau hujan, tiba-tiba Marco memberinya satu plastik penuh es krim. "Gue kan tadi menang, biar lo ikut ngerasain manis dan enaknya uang hasil balapan liar." Mika mendelik dramatis. "Hah? Jadi lo traktir gue pakai uang haram?" "Ck, nggak mau sini—" Marco hendak merebut plastik es krim tapi Mika gesit menjauhkannya. "Eh eh, rejeki nggak boleh ditolak. Yang balapan lo, yang nanggung dosanya lo." Mika tersenyum puas dan langsung sibuk memilih es krim mana yang akan ia makan. "Lo nggak sengaja tutun di sini cuma buat beliin gue ini, kan?" tanya Mika, Menatap Marco sambil membuka pembungkus es krim stik rasa cokelat. "Atas dasar apa lo mikir gue turun di tengah jalan cuma buat beliin lo es krim? Tuh, gue emang niat belanja, tuh." Marco menendang kecil dua plastik belajaan di dekat kakinya yanh luput dari perhatian Mika lantaran terlalu antusias dengan Marco memberinya es krim tanpa terduga. "Kan cuma tanya," cicit Mika malu sendiri. Benar juga, kenapa pula ia merasa spesial hingga Marco rela turun hanya untuk membelikannya es krim. "Lo mau ke mana lagi?" tanya Mika, berpikir Marco duduk di sebelahnya untuk menunggu bus berikutnya. Dari celah atas plastik yang sedikit terbuka, Mika melihat dua kantong plastik itu berisi snack-snack. "Ada lah, nanti lo penasaran dan malah ingin ikut." "Dih, udah enggak. Lama-lama sama lo ternyata ngebosenin." Mika tidak membohongi Marco, ia berbohong pada dirinya sendiri. Kenyataannya Mika memang penasaran ke mana Marco akan pergi membawa banyak sekali makanan ringan itu. Marco tidak terlihat seperti orang suka ngemil, jadi agak meragukan jika berpikir semua itu stok untuk dimakan sendiri. "Gue... gue cuma mau bilang, sebaiknya lo langsung pulang. Bokap lo pasti nungguin." Tidak ada reaksi dari Marco dan tampak asyik menikmati es krimnya seolah-olah sengaja berlagak tidak mendengar Mika. "Co, lo beneran nggak mau sekolah lagi?" tanya Mika sesaat kemudian. "Kenapa memangnya?" Mika menghela napas. "Gue sebenarnya butuh bantuan lo, tepatnya gue butuh lo buat gabung di band sekolah kita, Kak Steven sama Randy tiba-tiba keluar dari band padahal kita lagi persiapan buat ikut festival. Lo kan bisa main gitar, suara lo juga lumayan, jadi gue pengen—" "Enggak," potong Marco. Bahu Mika seketika lemas. "Belum juga selesai ngomong," desahnya tak bertenaga dan wajah memelas. "Udah lah, bubarin aja. Dapat apa sih kalian dari main band yang manggungnya cuma pas classmeeting sama pensi sekolah? Terus kalau ikut festival dan menang, kalian dapat hadiah berapa?" "Banyak." "Berapa duit?" "Enggak berupa duit, pikiran lo duit melulu," gerutu Mika sebal. "Gabung di band, gue dapat teman yang punya hobby sama, gue dapat kesempatan melakukan yang gue suka dan menunjukkan bakat gue ke semua orang. Ya, walau cuma di class meeting dan pensi tahunan kayak yang lo bilang. Pengalaman, kepuasan, waktu-waktu yang menyenangkan bareng teman, menurut gue itu lebih mahal dibanding uang. Terserah lo mau bilang gue naif, munafik, atau tuan putri. Gue nggak perlu menjelaskan gimana rasanya karena lo sendiri pasti sangat tahu gimana rasanya ketika kita tampil dan melihat orang-orang menikmati musik kita." Mobil taksi Mika datang tepat saat Mika menyelesaikan perkataannya. "Terima kasih es krimnya, es krim ini enak bukan karena hasil balapan liar, tapi karena gratisan," ujar Mika, lalu bergegas berdiri. Sebelum ia beranjak ke mobil, Mika berkata lagi. "Co, gue ngomong apa juga nggak akan lo dengar, kan? Sayang sih sebenarnya kalau mau putus sekolah, tapi kalau itu pilihan lo, gue cuma berharap lo bisa tanggung jawab sama pilihan itu. Dan... Besok-besok, kalau kita ketemu di tempatnya Om Dimas, gue harap lo nggak bersikap kayak kita nggak saling kenal. Kita nggak perlu jadi teman, cukup kalau gue sapa, lo balas yang pantas biar gue nggak keki. Oke? Sampai ketemu lagi, Coco." Mika tersenyum cerah saat tangannya melambai-lambai sesaat sebelum dia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Marco sendirian di halte.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD