Keputusan Naira Untuk Bekerja di Kelab Malam

1385 Words
Mina langsung meninggalkan tempat jaganya begitu melihat siapa yang baru saja mendorong pintu kaca minimarket. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat. “Ada apa?” tanya Naira bingung ketika sang teman langsung menarik sebelah tangannya. Mina tidak langsung menjawab. Wanita yang sudah memakai seragam minimarket itu mengedarkan mata, lalu menarik sang teman ke tempat yang sepi. Mina melepas cekalan tangannya lalu berbalik. Wanita itu menghembus keras napasnya. “Apa maksud pesanmu itu?” tanya Mina sambil menatap menyipit sang teman. “Pesan yang mana?” tanya Naira yang detik berikutnya harus mengaduh. Sang teman memukul lengannya. “Pesan yang mana? Ya pesan kamu yang bilang mau kerja di—” Mina nyaris lupa jika mungkin saja ada telinga yang bisa mendengar percakapan mereka. Wanita itu kemudian memajukan tubuh supaya bisa berbisik di telinga sang teman. “Kelab malam.” Lalu Mina menegakkan kembali posisi berdirinya. “Apa kamu sudah gila?” Mina kembali membuka sepasang bibirnya. “Katamu aku bisa dapat uang banyak di sana.” bisik pelan Naira. “Ya iya, memang. Tapi itu kelab malam, Na. Tempat orang-orang nggak bener.” Naira mengerutkan bibirnya. “Jangan berprasangka buruk. Bukannya tetanggamu juga ada yang kerja di sana? Apa dia orang nggak benar?” Mina langsung berdecak. “Jangan pura-pura bodoh,” kata Mina dengan nada kesal. Wanita itu kemudian melirik ke sekitar untuk memastikan tidak ada orang di dekat mereka. “Kamu pasti tahu apa yang orang-orang lakukan di tempat itu.” “Aku belum pernah ke sana, Min.” Naira menggelengkan kepala. Mina menatap kesal sang teman. “Nggak perlu ke sana buat tahu apa yang ada di tempat itu. kamu bukan orang bodoh.” Naira menghembuskan napas perlahan. Wanita itu mengalihkan tatapan dari sepasang mata sang teman. “Aku nggak punya cara lain lagi, Min. Kecuali kamu mau minjamin aku uang 10 juta malam ini.” “Gila kamu." Mina nyaris memekik begitu mendengar nominal angka yang disebut oleh sang teman. Wanita itu menatap tak percaya sang teman. "Mana ada aku uang segitu. Kalau ada, sudah meledak itu dompet. Ada juga nggak lebih dari seratus ribu.” Mina menggaruk kepalanya. “Lagian, buat apa sih uang sebanyak itu?” Naira kembali memutar kepala ke arah sang teman. Beberapa detik wanita itu menatap sang teman. “Bayar kontrakan rumah.” “Loh, bukannya—” Mina tidak melanjutkan kalimatnya ketika isi dalam kepalanya sudah bisa menebak kemungkinan yang terjadi. “Jangan bilang bapakmu ngabisin duit itu. Atau … adik nggak tahu dirimu itu?” tebak Mina yang kemudian menggelengkan kepala ketika melihat Naira hanya terdiam. Mina tidak habis pikir. Bagaimana bisa keluarga itu membuat hidup Naira sesulit ini? “Jadi benar begitu?” Naira kembali mengalihkan wajahnya. “Mereka akan diusir kalau aku nggak cepet bayar. Mau ke mana mereka? Aku nggak bisa biarin ibu dan Malika jadi gelandangan, Min.” Naira menarik napas panjang. Dua matanya sudah langsung terasa panas membayangkan dua perempuan itu tidur di emperan toko. Ibunya yang seumur hidup tidak pernah merasakan hidup enak, dan Malika yang lahir tuli hingga berakhir tidak bisa bicara dengan jelas. Mina terdiam. Sepasang mata wanita itu menatap sang teman dari samping, “Apa kamu yakin … nggak akan nyesel?” Mina berat mengatakannya, tapi, melihat sang teman putus asa sementara dirinya tidak bisa membantu—akhirnya wanita itu tidak punya pilihan lain. Naira mengangguk tanpa mengeluarkan kata. Hela napas berat keluar dari sela bibir Mina. “Aku akan coba telepon Mbak Olif yang kerja di tempat itu.” Mina langsung melangkah setelah mengatakan kalimat tersebut. Sementara Naira akhirnya memutar kepala, lalu beberapa saat kemudian berjalan mengikuti Mina. Dia harus bekerja. *** Felicia mengedarkan mata begitu langkah kakinya memasuki sebuah minimarket. Wanita itu menoleh ke belakang. Alvin sedang berjalan setelah pria itu mengunci pintu mobil. Felicia kemudian mengembalikan tatapan ke depan sambil mengedarkan pandangan. Alamatnya benar. Seharusnya dia bisa menemukan sahabat lamanya di tempat ini. “Selamat datang.” Naira yang baru keluar dari lorong rak makanan ringan, mengucap salam ketika mendengar suara lonceng yang akan terdengar setiap kali pintu minimarket terbuka. Dengan senyum lebar, kepala wanita itu menoleh ke arah pintu masuk. “Na!” Bola mata Naira bergerak, sementara senyum lebar wanita itu perlahan pudar saat mendapati tak hanya Felicia, tapi juga Alvin berada di dalam minimarket. Rupanya Alvin yang baru saja mendorong pintu kaca. Satu tangan pria itu masih berada pada handel besi. “Benar kan, aku nggak salah tempat. Naira kerja di minimarket ini.” Felicia sudah memutar kepala ke belakang. Wanita itu bicara dengan calon tunangannya. Alvin melangkah menghampiri Felicia dan Naira. Sepasang mata pria itu memperhatikan penampilan Naira yang mengenakan kaos seragam minimarket dan celana panjang denim yang warna hitamnya sudah pudar. “Kalian mau cari apa?” tanya Naira mengalihkan fokus mata dua teman lamanya. “Aku bisa bantu cariin. Aku hafal tempat semua barang yang dijual di sini.” Naira kembali menarik dua sudut bibirnya. Sepasang mata Naira menatap Felicia dan juga Alvin bergantian. “Bukan, kami ke sini bukan buat belanja. Kami belanjanya di mall. Barang-barang di sana lebih lengkap dan kualitasnya juga lebih bagus.” Penjelasan Felicia membuat Naira menyesali pertanyaannya. “Oh, ya pasti lah. Harganya juga pasti lebih mahal.” Naira menganggukkan kepala. “Ada perlu apa?” “Apa kita nggak bisa ngobrol sambil duduk?” Felicia melongok ke sekitar mencari tempat duduk. Wanita itu berdecak pelan ketika tidak menemukan apa yang dicari. “Kalian bisa ngobrol di depan.” Alvin mengeluarkan suara setelah beberapa saat hanya mendengar dua sahabat itu berbincang. “Maaf, aku disini lagi kerja. Aku nggak bisa terima tamu lama-lama,” tolak halus Naira. Wanita itu memutar kepala dan mendapati beberapa teman yang berjaga bersamanya sudah mengalihkan perhatian mereka ke arahnya. Naira mendesah. Wanita itu kemudian mengembalikan fokus pada teman masa SMA nya. “Ada apa? Ngomong saja nggak apa-apa.” Felicia menganggukkan kepala. Wanita itu kemudian meraih tas dengan tanda huruf ‘H’ besar, lalu membukanya. Tak lama, satu kartu nama terulur ke hadapan Naira. “Ini, besok siang kamu datang ke tempat ini, ya. Buat fitting baju.” “Fitting baju? Buat apa?” tanya cepat Naira. “Kamu gimana, sih? Aku kan sudah bilang kami mau tunangan dan kamu harus datang. Nggak boleh enggak.” “Iya, aku akan datang. Jangan khawatir.” Naira sudah berjanji akan datang ke pesta pertunangan Felicia dan Alvin. Tapi dia tidak tahu kenapa harus ke butik. Naira membaca kartu nama yang sudah berpindah ke tangannya. Bayangan harga baju di butik yang pastinya jutaan itu, sudah membuat Naira pening. “Makanya aku mau kamu datang ke butik. Itu butik punya tante Alvin. Entar kamu bisa pilih satu dres yang cocok buat datang ke acara kami.” Naira mengangkat kepala, lalu sepasang mata wanita itu menatap sang sahabat lama. Tangan kanan Naira terulur ke depan. “Nggak perlu, Fel. Aku masih ada dres yang bisa kupakai.” “Aku nggak mau orang-orang nanti menatapmu rendah. Aku mau kamu kelihatan cantik dengan dres yang bagus. Kamu sahabatku, dan tamu spesial kami.” Felicia menggenggam tangan Naira. “Datang saja. Nggak usah khawatir apapun. Kamu nggak perlu bayar. Alvin yang akan bayar. Iya kan, Bey?” Naira refleks mengikuti arah pandang Felicia yang sudah memutar kepala ke belakang. Sepasang mata wanita itu bertemu tatap dengan manik mata yang masih membuat dadanya bergetar. Buru-buru Naira menggulir bola mata setelah melihat Alvin menggerakkan kepala turun naik. “Tuh, kan. Pokoknya besok kamu datang saja. Bilang kalau kamu teman aku dan Alvin.” Felicia tersenyum sambil menatap Naira. Kedua alis wanita itu terangkat seolah meminta Naira untuk segera mengiyakan permintaannya. “Baiklah,” kata Naira setelah menelan salivanya. Terserah apa yang Felicia inginkan, yang penting dia tidak harus membayar, batin Naira. “Nah, gitu dong. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu, Na. Aku sudah dapat Alvin, aku juga mau kamu bahagia kayak aku,” kata Felicia panjang lebar. Wanita itu kemudian meraih tubuh sang teman, lalu memeluknya. Naira sempat terkejut ketika mendapat pelukan tiba-tiba dari Felicia. “Aku senang bisa kembali lagi dan ketemu sama kamu. Kita masih sahabat, kan?” “Tentu saja,” sahut Naira yang kemudian membalas pelukan Felicia. Felicia melerai pelukan mereka. “Besok bantu aku pilih gaun pengantin juga, ya?” Wanita itu tersenyum. “Aku mau kamu jadi pengiringku bareng teman Alvin. Kurasa kalian berdua bisa cocok.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD