Persiapan ke Kelab Malam

1623 Words
Mina menatap tampilan Naira dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Naira baru saja didandani oleh Olif—tetangga Mina yang bekerja di kelab malam. Wanita itu berdehem hingga membuat perhatian Naira teralih. Perempuan yang semula masih menatap tampilan dirinya di depan kaca lemari pakaian itu memutar kepala ke samping. Naira meringis. “Aneh, ya, Min?” tanya Naira yang merasa wajahnya seperti badut. Kaku dengan make up tebal di seluruh wajahnya. “Apanya yang aneh? Cantik, kok. Kamu pasti bisa dapat banyak pelanggan nanti.” Olif berjalan menghampiri Naira dan juga Mina yang masih berdiri bersisian di depan lemari pakaiannya. Wanita yang malam itu sudah siap dengan pakaian mini yang menonjolkan bentuk tubuhnya tersebut berdecak pelan. “Sayang, badanmu terlalu krempeng. Coba kalo lebih berisi, kamu pasti bakalan dapat banyak saweran.” Naira meringis menatap pantulan tubuhnya dari kaca lemari pakaian milik olif. Dua tangan wanita itu bergerak menurunkan rok mini yang hanya menutup setengah pahanya. Mina dan Olif secara refleks ikut menurunkan pandangan, lalu melihat kaki Naira yang sudah terbungkus stoking putih. “Jangan lupa bagianku 20 persen,” ucap olif mengingatkan perjanjiannya dengan Naira. Dia sudah meminjamkan kostumnya dan juga mendandani Naira. “Mbak Olif, jangan mahal-mahal tarifnya dong. Na lagi butuh uang banyak. Kasihan kalau potongannya 20 persen. Kayak rentenir aja.” Mina cemberut. Dia yang membawa Naira bertemu dengan Olif saat sang teman kukuh mengatakan ingin mencari uang sepuluh juta di kelab malam. Temannya itu sudah putus asa setelah diteror sms oleh keluarganya. Sungguh … dia kasihan pada nasib sang teman. Seandainya saja dia bisa membantu. Sayang, dia juga sama miskinnya dengan Naira. Mereka senasib. Sama-sama tidak punya siapun untuk mengadu saat mengalami kesulitan keuangan. “Kamu itu.” Olif memberengut. “Ya sudah, 18 persen aja kalo gitu.” “Ya Tuhan Mbak Olif. Jangan 18 persen napa? 10 persen aja. Udah titik.” “Eh, Mina minol … emangnya aku lagi jual cabe?” Olif melotot. “Noh, Mpok Lekah aja jual cabe nggak ada yang berani nawar.” Mina mencebik. “Itu karena Mpok Lekah preman pasar. Mana ada yang berani sama dia, Mbak.” “Semprul.” Olif kembali mendelik. Naira hanya menatap dua orang yang sedang saling bersahutan itu bergantian. Wanita itu kemudian berdehem hingga perdebatan keduanya berhenti, lalu dua orang itu memutar kepala ke arah sumber perdebatan. “Mbak Olif … ada rok yang agak panjang dikit? Dikit aja.” Naira sampai memperlihatkan sedikit yang dimaksud dengan ibu jari dan jari telunjuk yang terbuka selebar kurang lebih satu inci. Wanita itu meringis saat melihat pelototan sang pemilik kamar. Naira menggaruk telinganya masih sambil meringis. “Katanya mau uang sepuluh juta. Mana ada yang suka kalau pahamu ketutup semua.” Olif mencebikkan bibirnya. “p****************g itu yang dilihat nih—” Olif membusungkan dadanya yang berukuran besar. Naira dan Mina meringis ngeri melihat belahan d**a yang memperlihatkan nyaris setengah isinya. “Lah kamu nggak punya ini.” Olif menggoyang bangga d**a besarnya. “Makanya cuma pahamu yang bisa kamu andalkan.” Olih memperhatikan penampilan Naira sekali lagi dari ujung kepala ke ujung kaki. "Oh, sama pantatmu lumayan." Kepala Olif bergerak turun naik. “Sudah … ayo, kita berangkat.” Lalu Olif menoleh ke arah Mina. “Yakin nggak mau ikut sekalian? Dadamu lumayan besar. Bisa itu dapat lima juta.” Lalu Olif tertawa ketika melihat tetangganya itu menutup dua dadanya dengan telapak tangan dan menatapnya horor. “Isshhh.” Olif mengibaskan tangan kanannya. “Ya udah pulang sono kalau nggak mau ikut. Bisa rugi besar aku kalau kamu terus-terusan di sini.” “Ya ampun, Mbak. Aku cuma mau nganterin Naira aja.” “Nggak perlu diantar. Memangnya dia mau berangkat ke medan perang apa?” Olif menoleh ke arah Naira. “Ayo, taksi langgananku sudah siap sedia di depan.” Naira menghembuskan napas panjang. Wanita itu kembali mencoba menarik turun rok mininya. Naira tidak bisa membayangkan akan jadi sependek apa saat dia nanti duduk. Wanita itu berdehem. Melihat sepasang alis Olif terangkat tinggi, kedua kaki Naira terhela pelan. “Na … yakin mau ikut mbak Olif?” Olif yang mendengar suara bisik-bisik Mina menoleh ke belakang. “Min … jangan coba-coba ngerubah pikiran Naira. Aku sudah habis banyak ini. Nanti kamu tak suruh ganti rugi kalau sampai Naira gagal ikut.” “Udah … nggak apa-apa, Min. Aku sudah nggak punya cara lain lagi. Memangnya siapa yang mau ngasih aku uang 10 juta?” Bibir Naira berkerut. Dia ingin marah pada keluarganya, tapi, dengan marah pun tidak akan membuatnya hilang tanggung jawab pada mereka. Oh … apalagi saat mengingat si benalu itu. Ingin sekali Naira tidak peduli. Akan tetapi, siapa yang akan peduli pada hidup ibu dan dua adiknya jika bukan dirinya? Naira benar-benar tidak punya jalan keluar lagi. “Tuh … denger kata Naira. Udah sana ... kamu pulang aja.” Olif kembali mengusir Mina yang masih bertahan menggandeng sebelah lengan Naira. “Kamu kan punya teman yang kamu bilang kaya itu? Masak dia nggak mau bantu kamu, Na? Itu loh yang datang ke minimarket sama calon tunangannya.” Mina tidak menggubris ocehan Olif yang terus menerus mengusirnya. Dia tidak merasa tersinggung karena sudah lama mengenal tetangganya yang satu ini dan sudah paham karakternya. Langkah kaki tiga perempuan itu kini sudah keluar dari rumah berukuran mungil milik Olif. “Aku nggak mungkin cerita sama dia soal masalah keuanganku.” Naira menarik napas dalam lalu menghembuskan perlahan. Mungkin … Felicia akan meminjamkan uang jika dia bicara dengan sahabat selama masa putih abu-abunya itu, tapi, Naira merasa tidak siap mendengar penghinaan yang kemungkinan besar akan keluar dari mulut sang teman. Entahlah … dia merasa Felicia yang sekarang sangat berbeda dengan Felicia yang dikenalnya bertahun silam. Apalagi saat dia mengingat jika wanita itu sudah akan bertunangan dengan Alvin. Naira benar-benar ingin tertawa keras—menertawai nasibnya. Siapa sangka sahabat yang dulu terlihat begitu melindunginya dari pria yang katanya hanya akan mempermainkan perasaannya itu—kini justru bersama pria tersebut. Sungguh kenyataan yang menampar Naira keras-keras. Felicia bahkan tidak memberitahu dirinya jika wanita itu berpacaran dengan Alvin. Oh … memangnya siapa kamu Na, sampai Felicia harus melapor padamu jika dia berkencan dengan Alvin? Alvin hanya mantan cowok yang ‘katanya’ pernah menyukaimu. Ingat itu Na. satu sisi batin Naira berbicara. Naira sekali lagi menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. Wanita itu kemudian memutar tubuh hingga berdiri berhadapan dengan sang teman. “Ayo Na, cepat! Jangan sampai kita ketinggalan kereta eksklusif yang isinya pria berduit!” Naira dan Mina meringis mendengar teriakan olif dari dalam taksi. Wanita itu sudah duduk di sebelah pengemudi taksi dan membuka kaca pintu. “Iya, bentar, Mbak!” Naira menjawab. Wanita itu kemudian meraih jaket miliknya yang berada di tangan Mina. “Aku pergi dulu.” Mina menatap sedih sang teman. Wanita itu menghembuskan napas berulang kali sementara sepasang matanya mengikuti pergerakan sang teman hingga Naira masuk ke dalam taksi. “Semoga saja ada pria baik yang mau nolong kamu, Na. Kasihan sekali nasibmu,” guman Mina. Wanita itu memutar tubuh saat taksi mulai bergerak. Tangan kanannya terangkat lalu melambai. Naira menutupi pahanya dengan jaket. Kepala wanita itu menunduk. “Neng Olif malam ini cantik sekali.” Yang dipuji langsung menyibak rambut panjangnya, lalu menoleh ke samping. “Memangnya kemarin malam nggak cantik?” tanya Olif dengan sepasang alis terangkat. Sang pengendara taksi tertawa. “Ya cantik.” Olif sudah mengulum senyum begitu mendengar jawaban dari pria yang duduk di belakang kemudi, sebelum kemudian kuluman senyum itu hilang ketika mendengar lanjutan kalimat dari si pengemudi taksi. “Kalau dibilang nggak cantik, nanti neng Olif nggak mau lagi langganan taksi Abang.” Naira langsung tersedak ludahnya sendiri. Apalagi ketika melihat respon Olif yang langsung mengangkat tas lalu memukulkan ke tubuh si abang taksi. “Beneran nih, ya. Besok Abang nggak usah datang ke rumah Olif. Olif mau cari Abang taksi yang lain aja.” “Aduh, jangan dong, Neng. Abang kan cuma canda aja, Neng. Jangan ngambek dong … nanti cantiknya hilang.” Lagi, Naira terbatuk mendengar percakapan dua orang di depannya. Wanita itu mengusap pelan dadanya. Oh … Naira takjub dengan Olif tetangga Mina. “Di mata Abang sih Neng Olif setiap malam kelihatan cantik.” “Oh … jadi cuma kalau malam Olif kelihatan cantik? Kalau siang kelihatan butek, gitu? Iya, gitu maksud Abang?” “Aduh … kenapa jadi salah paham terus sih, Neng. Kan Abang lihatnya Neng Olif cuma kalau malam aja. Neng Olif mana mau Abang ajak kencan siang hari.” Olif langsung membuang muka ke samping. “Ih … nggak level dong kalau Olif kencan sama Abang taksi. Olif kencannya sama Abang CEO.” Lalu Olif mengulum senyumnya. Sementara sang pengemudi taksi mencebik. Naira buru-buru meraih tas lalu membukanya ketika terdengar suara panggilan masuk dari ponselnya. Olif secara refleks memutar kepala ke belakang dan si abang taksi melirik penumpangnya dari spion tengah. “Ada apa?” ketus Naira begitu menerima panggilan tersebut dan menempelkannya ke telinga kanan. “Mbak … Bu Yayuk datang lagi marah-marah. Ngancam kita harus keluar dari rumah besok pagi. Gimana ini, Mbak?” Sepasang rahang Naira yang terkatup, saling menekan keras. Napas wanita itu seketika memburu. Kepalanya panas. “Kami mesti kemana? Pokoknya kalau besok kami diusir, kami pergi ke kos an Mbak Na.” Naira menggeram hingga membuat Olif menatap wanita itu dengan kernyit di dahi. Sedikit terkejut saat melihat ternyata wanita yang dilihatnya lembek itu bisa marah juga. Olif membatin. “Suruh saja bapakmu itu cari uang sepuluh juta. Dia yang pake uang kontrakan, kenapa jadi Mbak yang harus tanggung jawab? Kamu juga, Don … cari kerjaan! Kamu sudah besar, jangan terus-terusan ngandelin Mbak. Mbak juga butuh hidup, nggak cuma ngurusin hidup kalian!” Naira langsung memutus sambungan telepon. Napas wanita itu memburu, kulit wajahnya memerah karena marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD