Kedatangan Dua Adik Naira

1546 Words
Naira membuang sisa-sisa makanan di tiap piring, ke dalam kantong plastik. Dua tangan wanita itu bergerak cepat. Empat tumpukan piring kotor ada di sampingnya. Dengan memakai celemek, wanita berusia 26 tahun itu kemudian mengucurkan air dari kran, lalu mulai berkutat dengan sabun dan piring-piring kotor, gelas, serta berbagai peralatan memasak. Dua telinga wanita itu tersumpal headset. Itu cara Naira menikmati pekerjaannya. Terkadang, kedua belah bibirnya bergerak ikut menyanyikan lagu yang terdengar oleh telinganya. “Na … Naira!” Yang dipanggil masih asyik berdendang sambil menyabuni piring-piring. Ditambah suara kucuran air dari kran, membuat suara sang pemanggil tenggelam. Seorang wanita dengan rambut keriting sepanjang bahu, berdecak sambil menggelengkan kepala. Wanita itu akhirnya keluar dari balik etalase makanan, lalu melangkah masuk ke dalam rumah makan. Dan wanita itu harus kembali menggeleng begitu melihat Naira sedang bergoyang di depan wastafel. Dua kaki wanita paruh baya pemilik rumah makan padang tersebut terhela lebar. Tangan gempalnya menepuk mantap pundak Naira hingga membuat orang yang sedang berdendang tersebut langsung memutar kepala. Sepasang mata Naira mengerjap, lalu buru-memutar kepala kembali. Naira meletakkan piring, lalu mematikan kran. Wanita itu memutar tubuhnya. “Ya, Bos.” Yang dipanggil bos kembali berdecak. “Kalau lagi kerja, telinga jangan disumpal semua—sampai nggak dengar dipanggil ribuan kali.” Tangan kiri wanita itu terangkat lalu dengan cepat mencabut satu headset dari telinga pegawainya. Naira memperlihatkan cengirannya. “Biar nggak gabut, Bos.” Sang Bos berdecak. “Pakai headset satu saja biar bisa dengar kalau dipanggil. Itu … adikmu datang.” Naira mengedip dua kali begitu mendengar dua kata terakhir yang sang bos ucapkan. “Doni?” tanya Naira dengan was-was. Jika benar Doni yang datang, mungkin dia akan bersembunyi saja di dalam toilet. Dia belum punya uang sepuluh juta yang terus diminta oleh sang adik untuk membayar kontrakan rumah. Saking kesalnya, Naira bahkan sampai memblokir nomor sang adik. Kepalanya pusing. Naira membuka lebar sepasang mata ketika tidak mendapatkan jawaban dari mulut sang bos, melainkan gerakan tangan wanita paruh baya yang sudah berbaik hati mempekerjakan dirinya tersebut. “Malika?” tanya Naira memastikan. Melihat anggukan kepala wanita bernama Mira tersebut, Naira cepat-cepat melepas sarung tangan plastik yang masih membungkus dua telapak tangannya. Wanita itu kemudian melepas celemek. “Sebentar ya, Bos.” Lalu Naira berlari meninggalkan sang pemilik rumah makan. Naira menghembuskan napas ketika melihat sosok sang adik. Wanita itu menghampiri sang adik yang sedang mengedarkan mata ke halaman rumah makan. Anak berusia 13 tahun tersebut masih memakai seragam sekolah, hingga membuat Naira ingat jika dia harus segera membayar seragam sang adik. Malika berdiri samping pintu rumah makan. Naira menarik dalam napasnya, lalu menghembuskan perlahan. Langkah kakinya sudah berhenti. Sang adik ternyata sedang fokus menatap ke depan hingga tidak menyadari kedatangannya. Naira menepuk pelan bahu adiknya, hingga anak gadis itu memutar tubuh. Naira tersenyum ketika melihat wajah sang adik yang langsung melengkungkan bibir begitu melihatnya. “Ayo, masuk.” Naira menggerakkan bibir pelan sambil menggerakkan dua tangannya. Sang adik mengangguk. Naira kemudian menggangdeng sebelah tangan Malika. Keduanya masuk ke dalam rumah. Naira membawa Malika ke meja paling dekat dengan etalase makanan. Naira kembali menggerakkan dua tangan dan mulutnya bersamaan. “Tunggu di sini. Kakak ambilkan makanan.” Lalu Naira memutar tubuh setelah sang adik mengangguk. Wanita itu melangkah ke balik etalase makanan lalu berbicara dengan bu Mira yang sudah kembali ke tempatnya. “Na ambil jatah makan siang, ya, Bos.” “Ambil saja. Kamu juga. Jangan sampai kamu kelaparan lalu pingsan karena jatah makan kamu berikan pada adik kamu.” Wanita itu kemudian kembali menghitung uang di tangannya. Naira mengulum senyum. Meskipun nada suara sang bos terdengar sedikit sinis, tapi Naira tahu wanita itu tidak bermaksud apa-apa. Bu Mira memang seperti itu cara bicaranya. Naira sudah paham. Wanita itu kemudian mengisi dua piring dengan nasi dan sayur. Untuk lauk, Naira tahu diri. Dia hanya mengambil telur dadar. “Kasih adikmu itu daging. Dia butuh asupan gizi. Kalau kamu, telur sudah cukup.” Naira terkejut saat menoleh dan mendapati sang bos sudah berdiri si sebelahnya. Tidak hanya berdiri, tangan kanan bu Mira juga sudah bergerak memindahkan dua potong daging rendang ke salah satu piring. “Sudah sana … kasihan adikmu sudah lapar.” Lalu wanita itu kembali mengayun langkah ke balik meja kasir tak jauh dari etalase makanan. Naira menatap punggung lebar bu Mira dengan perasaan menghangat. Menarik napasnya, Naira kemudian membawa dua piring yang sudah terisi penuh tersebut ke meja yang ditempati oleh sang adik. Sepasang mata Malika berbinar saat melihat satu piring nasi dengan lauk daging serta telur dadar terhidang di depannya. Anak itu mengangkat wajah—menatap sang kakak yang sudah duduk di depannya. Malika menggerakkan tangannya, mengucap terima kasih pada sang kakak. Anak 13 tahun tersebut kemudian menurunkan pandangan, lalu mengerjap. Piring kakaknya hanya terisi lauk telur dadar, tanpa daging. Tersenyum, anak yang terlahir tuli hingga berakhir tidak bisa berbicara dengan jelas tersebut, memindahkan satu potong daging ke piring sang kakak. “Nggak usah … Mbak nggak suka daging.” Naira menahan tangan sang adik yang sudah menggantung di atas piringnya. Kepala wanita itu menggeleng. “Mbak suka telur, itu sebabnya Mbak nggak ambil daging. Daging itu buat Malika. Habiskan, supaya kamu sehat.” Naira mendorong pelan tangan sang adik. Melihat sang adik kembali mengucap terima kasih, Naira mengusap pelan kepala dengan rambut terikat ekor kuda itu. Kedua kakak beradik itu kemudian mulai menyantap makanan mereka. Naira melirik sang adik yang terlihat begitu menikmati makananya. Wanita itu menarik napas pelan. Dia juga masih belum memiliki uang untuk membayar seragam sekolah adiknya. Tanpa sadar, Naira meremas ujung sendok dan garpu yang masih dipegangnya. Naira mengerjap ketika sang adik mengangkat kepala. Wanita itu buru-buru menarik kedua sudut bibirnya. “Enak?” tanya Naira yang mendapat anggukan kepala dari Malika. Malika mungkin tidak bisa berbicara dengan jelas karena dia terlahir tuli. Namun, anak itu bisa membaca gerak bibir orang yang berbicara dengannya. Bukan perjuangan yang mudah untuk bisa membuat Malika seperti saat ini. Ibunya dan dirinya berusaha keras melatih Malika hingga akhirnya anak itu bisa berkomunikasi seperti sekarang. “Boleh Malika tinggal sama Mbak, kalau besok kami harus pergi dari rumah?” Malika sudah melepas sendok dan garpu, lalu menggerakkan tangannya. Dia tahu dari kakak laki-lakinya, jika mereka harus segera pergi dari rumah karena menunggak uang kontrakan. “Mas Doni yang cerita.” Malika kembali menggerakkan tangannya. Naira menelan ludah. Wanita itu mengumpat Doni yang menceritakan masalah itu pada sang adik. Bukannya berusaha mencari uang itu, kesal Naira dalam hati. Naira sudah akan membuka mulut dan menggerakkan tangan saat mendengar suara lain. “Mbak.” Naira memutar kepala dengan sepasang mata membesar. “Apa yang kamu lakukan di sini, Don?” tanya Naira saat melihat Doni sudah menarik kursi di sebelah Malika. “Don ….” Naira menggeram. Tangannya sudah bergerak menahan piring di depan Malika yang sudah akan berpindah tempat. Menekan sepasang rahangnya, Naira kemudian menggeser piring di depannya yang masih tersisa setengah. “Jangan ambil punya Malika. Ini … makan saja punya Mbak.” Malika mendorong piringnya ke seberang, tapi Naira dengan cepat menahan. Wanita itu menggelengkan kepala. “Mbak kerja di sini. Mbak bisa makan kapan saja,” bohong Naira. Di tempatnya duduk, bu Mira yang masih bisa mendengar percakapan tiga bersaudara itu mendesah sambil geleng kepala. Sepasang mata yang sudah plus itu menatap punggung kecil karyawannya. Wanita itu mengalihkan pandangan ketika merasakan sepasang matanya mulai berair. Naira meraih air putih di depannya, lalu meneguknya hingga tandas. Dia hanya perlu mengisi perut, sekalipun itu hanya dengan air putih. Wanita itu kemudian menunggu dua adiknya menghabiskan isi dalam piring. “Pemilik rumah itu datang lagi. Besok kami harus angkat kaki kalau uang itu masih belum ada,” kata Doni sambil meraih gelas di depan Malika. Sang adik hanya melirik sementara Naira menggelengkan kepala. “Pokoknya kami mau ikut tinggal di kontrakan Mbak Na.” “Kos an, Don. Bukan kontrakan. Kamu tahu bedanya, nggak? Kos an itu cuma satu kamar. Itu pun aku barengan sama teman. Gimana bisa kalian ikut tinggal denganku? Aku cuma bisa nampung Malika.” “Trus kami harus tinggal di mana?” “Makanya kerja, Don. Jangan malas seperti bapak. Cari kerja. Apa saja yang penting halal.” Naira melirik Malika yang terdiam. Wanita itu menghembuskan napas pelan saat melihat wajah sedih Malika. Malika meraih sebelah tangan sang kakak sebelum kemudian menggerakkan sambil mengucap, “Aku sama mereka saja, Mbak. Kasihan mereka.” Adiknya yang baik hati dan selalu memikirkan keluarganya—batin Naira. Wanita itu menatap lekat sang adik. “Nggak apa-apa. Jangan khawatir,” tambah Malika menenangkan sang kakak. Bagaimana dia bisa tenang sekarang? Dia memang tidak peduli dengan dua pria di rumahnya sebanyak dia peduli pada ibu dan adik perempuannya. Dan kenyataan Malika lebih memilih bersama mereka—menggelandang setelah diusir dari rumah kontrakan, membuat Naira tidak tega. “Mbak akan cari uangnya. Doakan Mbak, ya?” Dua sudut bibir Naira tertarik sekalipun hatinya merintih. Apa benar dia harus ke kelab malam agar bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam? Apa mungkin akan ada pria yang bersedia memberikan uang itu untuk perempuan seperti dirinya? Naira menurunkan tangan dari atas meja. Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menggulirnya. Beberapa saat jari-jari wanita itu menekan-nekan layar ponsel. Mengetik satu pesan yang akan merubah jalan hidupnya. {Mina, aku mau kerja di kelab malam. Tolong bantu aku. Malam ini}
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD