Pertemuan Setelah Enam Tahun
“Na, bisa ngobrol sebentar?”
Naira yang sedang membaca, mendongak. “Ada apa, Kak?”
“Jangan di sini. Nggak enak banyak orang.”
Menatap cowok yang berdiri di sebelah mejanya dengan kening mengernyit, Naira akhirnya menutup buku, lalu beranjak.
“Yuk.”
Naira mengikuti ayunan langkah kaki cowok di depannya. Gadis itu memutar langkah setelah keluar dari ambang pintu kelasnya. Jam istirahat belum berakhir. Seperti biasa, Naira hanya berada di dalam kelas dan membaca. Dia tidak punya uang untuk sekedar membeli minuman dingin di kantin ketika cuaca panas.
“Ada apa sih, Kak? Udah di sini aja, nggak ada orang, kok.” Naira menghentikan langkah kaki cowok di depannya, ketika langkah kaki mereka tiba di samping bangunan kelas. Naira mendongak menatap pria yang kini sudah memutar tubuh.
Alviano Nugraha, cowok yang sebentar lagi akan lulus SMA itu menatap gadis di depannya.
Naira mengedip. “Ada apa?” tanya Naira bingung melihat Alvin masih terus menatapnya. Naira bahkan sampai menurunkan pandangan mata memperhatikan penampilannya.
“Na.”
Yang dipanggil kembali mendongak, lalu mengerjap.
“Kita kenal udah berapa lama?”
Dengan lipatan di kening, gadis yang mengikat ekor kuda rambut sebahunya tersebut menjawab. “Lebih dari satu semester.” Naira mengingat pertama kali mengenal Alvin adalah saat awal masa orientasi sekolah.
Alvin menganggukkan kepala. “Um … menurutmu, aku gimana?” pancing Alvin.
Naira menatap Alvin. “Baik.”
“Itu aja?” tanya Alvin lagi. “Aku ganteng, nggak?”
Naira buru-buru mengalihkan tatapan matanya. Jantungnya mendadak berdegup kencang. “Ke-kenapa nanya gitu?” tanya gugup Naira.
“Aku pengin tahu pendapatmu, karena menurutku … kamu cantik.”
Naira pasti sedang bermimpi. Gadis itu menepuk kedua pipi lalu meringis. Apa mungkin dia bisa merasakan sakit di dalam mimpi? Atau mungkin telinganya yang baru saja salah mendengar? Tidak mungkin kan, cowok yang diidolakan oleh banyak teman perempuannya ini memujinya cantik. Naira membatin.
“Aku suka sama kamu, Na. Kamu mau nggak, jadi pacarku?”
Karena terlalu terkejut, kedua kaki Naira terhela ke belakang. Naas ketika batu yang cukup besar membuat langkahnya goyah. Naira nyaris terjatuh jika saja Alvin tidak segera meraih sebelah tangannya. Naira mengangkat kepalanya.
“Gimana, mau nggak?”
Naira membuka mulutnya. Detak jantungnya semakin menggila. Apa ini mungkin? Apa si miskin ini akan menjadi cinderela setelah menemukan pangerannya?
"Aku beneran suka sama kamu, Na." Alvin mengulang kalimatnya. Cowok itu kemudian tersenyum.
Naira menelan saliva susah payah. Naira sudah akan menjawab ajakan pacaran Alvin, saat suara sahabatnya terdengar.
“Naira! Kak Alvin? Kalian ngapain di situ?”
Naira buru-buru memutar tubuh ke arah Felicia, sahabat baiknya.
"Ada apa?" tanya Felicia sambil menatap dua orang di depannya bergantian.
"Nggak apa-apa kok. Kami nggak sengaja ketemu." Lalu Naira menoleh ke arah Alvin. "Ini juga Kak Alvin barusan ngomong mau balik ke kelas. Iya, kan, Kak?"
Alvin menghembuskan napas. Tidak punya pilihan, cowok idola banyak teman sekolahnya itu akhirnya benar-benar berpamitan lalu berjalan meninggalkan Naira dan Felicia.
"Apa kak Alvin barusan nembak kamu?" tebak Felicia yang membuat Naira terkejut. Felis tidak percaya keduanya bertemu secara tidak sengaja di tempat sepi tersebut. Kelas Alvin jauh dari kelas mereka. Melihat Naira hanya mengerjap, Felicia berdecih. "Kenapa mesti bohong?"
Felicia menatap Naira dengan sepasang mata mengecil. "Kamu mau jawab apa sama dia?" tanya Felicia penasaran.
Naira menelan salivanya. Sepasang mata wanita itu bergulir. "I-iya."
“Apa kamu gila mau nerima kak Alvin?”
“Memang kenapa? Dia bilang suka sama aku.” tanya Naira bingung saat Felicia terlihat tidak menyukai kedekatannya dengan kakak kelas mereka. Alviano Nugraha.
“Kamu tanya kenapa? Dengar aku baik-baik, Naira sayang. Kak Alvin itu nggak cuma ganteng, dia terkenal. Ketua osis. Pinter, dan yang paling penting kamu tahu siapa keluarganya. Mana mungkin kak Alvin bakal serius sama kamu, Na? Yang ada dia cuma mau mainin kamu aja. Aku nggak akan rela sahabatku dimainin cowok itu.” Felicia menghembuskan napasnya.
“Percaya atau enggak, cinta dan kasta itu nggak bisa dipisahkan. Kak Alvin nggak mungkin beneran punya perasaan sama kamu, Na. Aku nggak mau ngerendahin kamu, tapi, kamu harus bisa melihat kenyataan. Kasta kalian berbeda. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Kamu bakalan sakit nantinya.”
***
10 TAHUN KEMUDIAN
Naira begitu senang saat mengetahui jika sahabat yang selama 6 tahun berpisah dengannya, sudah kembali dari luar negeri. Felicia adalah sahabat terbaik bagi seorang Naira selama di SMA.
Mengangkat lengan kiri sambil berlari, Naira mengerang dalam hati. Dia sudah terlambat selama tiga puluh menit dari waktu janji temu mereka. Napas Naira memburu saat kedua langkah cepat kakinya berhenti di depan gedung pencakar langit.
Wanita yang mengikat rambutnya ekor kuda dan membiarkan poninya berantakan tersebut, mendongak. Naira menatap gedung tinggi berlapis kaca di hadapannya. ‘Seandainya saja dia bisa bekerja di tempat ini, mungkin gajinya akan banyak,’ batin wanita itu. Naira mengatur napas yang masih belum kembali ke ritme normalnya. Sepasang kakinya kembali terayun memasuki gedung megah tersebut.
Naira segera mempercepat langkah. Lantai 5. Wanita itu mengedarkan mata, lalu setengah berlari saat melihat pintu lift mulai bergerak tertutup. “Tunggu!”
Naira buru-buru membawa masuk tubuhnya. Wanita itu menganggukkan kepala pada orang-orang yang sudah terlebih dahulu berada di dalam kotak besi tersebut. “Terima kasih.” Naira kemudian memutar tubuh. Bola mata wanita itu melirik kanan kiri. Naira menghembuskan napas lega. Lantai nomor 5 sudah berwarna merah. Menandakan jika sudah ada penumpang lift yang akan turun di lantai tersebut.
Naira buru-buru melangkah keluar setelah lift terbuka di lantai 5. Wanita itu kembali mengedarkan mata. Membulatkan mulut, Naira menghembus perlan karbondioksida keluar. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki ke dalam sebuah hotel berbintang lima.
“Permisi. Um … restoran di sebelah mana, ya?” Akhirnya Naira bertanya pada seorang wanita dengan penampilan rapi. Rambut tersanggul, dan setelan seragam pegawai hotel yang pas di tubuhnya.
“Lurus saja ke sana, nanti belok kanan. Restoran ada di sebelah kiri.” Wanita itu menunjukan arah sambil tersenyum ramah.
“Oh … terima kasih.” Naira mengangguk sembari membalas senyum sang pegawai hotel. Wanita itu kemudian memutar tubuh, lalu berjalan dengan langkah cepat. Dua sudut bibir wanita itu mulai terangkat. Dia merindukan sahabatnya. Naira bisa membayangkan wajah masam Felicia karena harus menunggunya begitu lama.
Langkah kaki Naira berhenti terayun. Senyum di bibir wanita itu perlahan pudar saat melihat Pria dengan tubuh berbalut setelan jas warna dongker yang sedang berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Dia kembali, batin Naira.
Sepasang mata wanita itu mengikuti pergerakan sosok pria yang terlihat semakin tampan seiring bertambahnya usia. Dia terlihat begitu matang dengan penampilannya saat ini, Naira kembali membatin. Naira mengangkat tangan kanan. Mulutnya terbuka. “Ka—” Mengerjap, Naira urung memanggil pria itu.
Naira menurunkan pandangan matanya. Seketika rasa percaya dirinya menghilang. Penampilannya amat sangat tidak layak. Kedua kaki wanita itu dengan sendirinya bergerak ke belakang.
“Aduh, maaf.” Naira langsung menoleh ke samping kanan. Tanpa sengaja, dia baru saja menginjak kaki seseorang.
Seseorang itu berdecak. “Jalan itu pakai mata.”
Naira membungkukkan tubuh. “Maaf … maaf.” Lalu wanita itu menghembuskan napas. Sepasang bibir Naira berkerut sebelum kemudian terbuka. “Jalan yang benar ya pakai kaki. Mana bisa pakai mata.” Namun, wanita itu hanya mengucapkan pelan kalimat tersebut. Dia tidak ingin membuat masalah.
Naira kembali mutar kepala—mengedarkan sepasang matanya untuk mencari sosok yang baru saja dilihatnya. Apa pria itu masih mengingat dirinya? Seketika jantung Naira berdetak kencang. Naira menarik pelan napasnya, lalu menghembuskan perlahan.
“Na!”
“Naira! Danaira!”
Sepasang mata Naira mengerjap, lalu kepala wanita itu berputar kembali ke depan. Jantungnya berdetak semakin kencang. Dua tangannya bergerak meraih tali tas yang menggantung di pundak kiri, lalu meremasnya. Bola mata wanita itu bergerak.
“Na! Naira!”
“Ayo, sini.” Felicia beranjak dari tempat duduk sambil berdecak ketika Naira masih terlihat kebingungan. Wanita itu sampai melambaikan tangan. Mendesah, wanita itu akhirnya keluar dari balik meja lalu berderap menghampiri sang teman.
“Ada apa dengan ponselmu? Kenapa nggak bisa dihubungi?”
Naira menoleh. Wanita itu menatap sang teman yang sedang tersenyum sumringah ke arahnya. Senyum seketika terbit di wajah lelah Naira. “Fel … ini beneran kamu? Ya, ampun. Kamu cantik banget sih, sekarang.” Naira menatap sang teman beberapa saat, sebelum kemudian meraih lalu memeluk tubuh sang teman.
“Sudah … ayo … ada Alvin, loh. Kamu nggak mau say hello sama dia? Kalian kan dulu dekat.”
Naira melepas pelukannya. Wanita itu menatap sang teman yang sudah kembali tersenyum. “A-Alvin?” Sepasang mata Naira mengecil. “Kamu—"
Naira merasakan tarikan di lengan kirinya. Wanita itu mengerjap, kemudian bola matanya bergerak ke kiri. Felicia menariknya. Dua kaki Naira bergerak seiring dengan tarikan tangan sang sahabat. Pertanyaan yang sudah ada di ujung lidah tertelan kembali.
“Ayo, duduk sini. Ih, aku kangen banget loh sama kamu. Sudah enam tahun kita nggak ketemu.” Felicia menarik punggung kursi di seberang tempat duduknya. Wanita itu mendorong tubuh sang teman hingga terduduk di kursi, sebelum melanjutkan langkah ke tempatnya sendiri.
“Hai, Naira … apa kabar?”
Naira linglung. Wanita itu menatap sahabatnya yang masih tersenyum lebar, lalu menggerakkan kepala ke kanan. Sepasang matanya mengikuti pergerakan seorang pria yang beberapa saat lalu sempat dilihatnya. Naira menelan susah payah salivanya. “Oh … ba-baik.” Lalu wanita itu buru-buru mengalihkan pandangan ke depan. “Kok … bisa ada … Kak Alvin?” tanya Naira dengan wajah bingung. Pertanyaan yang sempat tertelan itu akhirnya keluar. Bola mata wanita itu bergeser pelan ke samping. Naira bisa merasakan alat pemompa darahnya bergerak tak beraturan.
Alvin yang baru saja kembali ke tempat duduknya, menoleh ke samping dengan dahi berlipat. Felicia berdehem hingga fokus mata Naira beralih kembali pada wanita itu.
“Kamu lupa, um … waktu aku cerita punya pacar?”
Naira kembali mengedip. Wanita itu terlihat begitu kebingungan menatap sang sahabat dan pria di samping Felicia secara bergantian.
“Kami mau tunangan. Kamu datang, ya? Pokoknya harus datang. Kamu tamu spesial kami.”
Sepasang mata Naira membesar. Telinganya berdengung seketika. Bertunangan? Felicia dan Alvin? Bagaimana bisa? Kenyataan apa ini? Pertanyaan-pertanyaan itu langsung mengisi kepala Naira.
Naira ingin tertawa saat menyadari kebodohannya. Ya, tentu saja mereka berdua bisa bertunangan. Karena mereka memiliki kasta yang sama. Alvin tentu akan cocok bersanding dengan seorang Felicia. Berbeda dengan dirinya yang sekedar untuk bisa makan saja harus banting tulang dari pagi hingga pagi.
Naira masih mengingat kejadian bertahun silam. Saat mereka bertiga masih mengenakan seragam putih abu-abu.
“Kamu kenapa, sih? Aku sudah nunggu kamu setengah jam, loh. Nih … aku sama Alvin sudah makan duluan. Aku sudah kelaparan soalnya.” Felicia menunjuk piring di atas meja. Sang teman terlambat dan tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati.
Naira yang baru saja kembali dari masa lalu, mengerjap pelan. Naira memaksa kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, saat menyadari tidak hanya tatapan Felicia yang sedang terarah padanya, tapi juga tatapan pria yang duduk di sebelah sahabatnya itu. Kedua tangan yang berada di atas pangkuan, teremas pelan. Tidak mungkin dia mengatakan pada Felicia—di depan Alvin, jika kuotanya habis, dan dia belum punya uang untuk mengisinya.
“Kenapa? Apa kuotamu habis lagi?” tebak Felicia yang membuat Naira kesusahan menelan salivanya. “Kenapa nggak bilang? Kalau bilang kan aku bisa isiin. Kayak biasanya.”
“Kuotanya habis, gimana caranya dia kasih tahu elo?”
Naira sontak menoleh ke samping. Mata wanita itu terbuka lebar. Dia tidak sadar jika ada sosok lain yang duduk satu meja bersama mereka.
“Apa gue salah?” tanya sosok yang duduk di samping Naira.
Naira tidak menjawab. Wanita itu hanya mengalihkan tatapan ke depan. Naira mengatur napas. Sudah terlanjur basah. Sejak dulu, memang dia yang paling mengenaskan diantara teman-temannya. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Oh … hanya rasa malu yang perlu dia injak-injak agar tidak berani muncul.
“Iya … kuotaku habis. Bus yang kutumpangi mogok di tengah jalan. Aku nggak punya uang buat naik taxi. Itu sebabnya aku terlambat. Maaf, Fel.”