Sepuluh Juta Dalam Semalam

1504 Words
“Itu … taruh di sebelah sana. Awas … hati-hati, jangan dibanting.” Naira mengarahkan dua orang laki-laki yang baru saja menurunkan kardus-kardus kiriman dari gudang untuk dijual di minimarket tempatnya bekerja. “Ih ... dibilangin jangan dibanting. Nanti rusak isinya.” “Kalau rusak kan tinggal disingkirin, Na. Gitu aja kok repot. Lo pikir nggak capek ngangkat kardus sebanyak itu?” “Astaga … la lo la lo. Emang itu kerjaan lo, Bambang. Lupa? kalo lo dibayar buat ngangkutin kardus? Kalau nggak mau capek ya nggak usah kerja. Gitu aja kok repot,” balas Naira sambil melotot. Pria yang baru saja didebat oleh Naira menoleh, lalu membalas pelototan Naira. “Sudah sana … masih banyak yang belum turun dari box.” Naira mendorong tubuh pria itu menjauh. Sebentar lagi minimarket akan mulai ramai. “Cewek kok ngeselin. Pantesan jomblo terus.” Naira mencebik, sebelum kemudian mendengkus cukup keras. Dia jomblo bukan karena tidak laku, Cuy. Dia tidak punya waktu untuk pacaran. Waktu 24 jam yang bagi orang lain terasa lama, bagi Naira terasa seperti sekejap mata. Pagi sampai sore dia bekerja di rumah makan. Lalu malam hari dia bekerja di minimarket. Mana ada waktu untuk pacaran. Sisa waktu yang ada Naira pakai untuk tidur. “Na … bantuin, dong!” Naira menoleh ke arah datangnya suara, lalu dengan cepat berderap menghampiri teman jaga malam setianya. Mina. Cewek seusianya yang memiliki nasib sama dengannya. Menjadi tulang punggung keluarga. Bedanya, Mina menjadi tulang punggung keluarga karena bapaknya sudah meninggal, dan ibunya sakit-sakitan—sementara dia masih memiliki seorang adik. Sedangkan dirinya, dia dijadikan s**u perah oleh keluarganya yang masih sehat-sehat. Itu yang Naira rasakan. Naira berjalan ke balik meja kasir. Wanita itu kemudian berkutat dengan mesin kasir di depannya. “Macet. Kertasnya nggak mau keluar,” kata Mina memberitahu sang teman. Naira hanya menggumam sambil berusaha membuka mesin tersebut. Mina memperhatikan hingga beberapa saat kemudian Naira menutup kembali mesin itu, lalu mencobanya. “Wah … kamu memang ahlinya.” Mina tersenyum sambil menunjukkan dua ibu jarinya. “Terima kasih, Senior,” canda wanita itu setelah Naira menggeser posisi berdirinya. “Habis ini aku traktir, deh,” janji Mina. Naira yang sudah akan berjalan menjauh, memutar kepalanya. “Tumben. Dapat rezeki nomplok dari mana?” tanya Naia dengan alis terangkat. “Dari mana?” tanya ulang Naira ketika melihat sang teman memperlihatkan gelagat aneh. “Tenang aja. Halal, kok. Mie rebus di ujung jalan, ya? Sekalian kita lihat orang-orang kaya yang makan di restoran seberang jalan.” Lalu Mina terkekeh. “Kita tinggal bayangin lagi makan bareng mereka.” “Iya, siapa tahu ada orang kaya yang ngelihat kita, trus kasihan. Habis itu kita diajak masuk ke restoran, lalu ditraktir makanan enak. Itu kan, yang kamu pikirin?” “Trus tiba-tiba dilamar.” Mina tertawa keras setelah mengucapkan kalimatnya. Sementara Naira menggelengkan kepala. “Kamu kebanyakan baca n****+ yang nggak jelas. CEO kaya raya jatuh cinta sama cewek miskin macam kita. Itu hanya ada di n****+. Jangan banyak ngehayal terlalu tinggi. Sakit pas jatuhnya, Min,” oceh panjang lebar Naira mengingatkan sang teman. Ya … kenyataan memang tidak seindah cerita n****+. Mana ada orang kaya yang memilih menikahi wanita miskin, jika mereka bisa memilih wanita yang mana saja. Yang cantik, berpendidikan, anak dari orang terkemuka. Naira berjalan menjauh sambil geleng kepala. Dia sudah membuang jauh angan-angan menjadi cinderela. “Yey … ucapan itu doa, Na. Siapa tahu doa kita diijabah. Dapat deh itu CEO kaya.” Naira hanya mengangkat tangan kanan, lalu mengibasnya. Dia tidak ingin mematahkan semangat dan impian-impian sahabatnya, tapi, dia juga ingin Mina realistis. Mereka hidup di dunia nyata, bukan di dalam buku n****+. *** Tama melangkah masuk ke dalam sebuah restoran. Sebenarnya dia tidak ingin datang, tapi, wanita tua itu mengancamnya. Sepasang mata pria itu mengedar mencari keberadaan keluarganya. Suasana sudah ramai. Nyaris semua meja sudah penuh terisi. Tama menghembuskan napas pelan. Sepasang kaki pria itu berbelok, lalu kembali terayun ketika netranya sudah menemukan keberadaan keluarganya. Pesta ulang tahun keponakan sang permaisuri. Si paling hebat yang sudah menjadi seorang pemimpin di sebuah hotel. Kenapa pestanya tidak diadakan di hotel sekalian saja? batin pria itu bertanya. “Tam! Sini ….” Tama melanjutkan ayunan langkah kakinya. Tiba di meja yang dituju, pria itu kemudian menarik punggung kursi, lalu mendudukinya. “Tumben muncul.” “Jangan mulai, Din. Aku yang minta Tama datang.” Seorang wanita dengan rambut pendek yang hampir semuanya sudah berubah warna menyahut cepat. “Oh … supaya Tama bisa melihat keberhasilan Rendra, ya?” Wanita yang bernama Dina itu menggerakkan kepala turun naik. Wanita itu menatap pria yang duduk terpisah meja dengannya. “Rendra sudah dilantik jadi Direktur. Bagaimana denganmu, Tam?” Tama meraih gelas di depannya, lalu meneguk beberapa kali cairan di dalamnya. Tama tidak berniat untuk menjawab. Dia bisa mendengar desahan pria yang duduk di sebelah wanita itu. Si ular yang berhasil menggigit ayahnya dan membuat pria bodoh itu melepas ibunya. Tama benci wanita itu. “Tam … usiamu sudah hampir kepala tiga. Kapan kamu mau mulai bekerja dengan benar?” Tama meletakkan gelas yang sudah nyaris kosong kembali ke atas meja. Pria itu menatap beberapa orang yang duduk melingkari meja yang sama dengannya. “Aku sudah dewasa. Kalian tidak perlu mencemaskanku.” “Bagaimana Papa tidak cemas? Adikmu saja sudah mulai bekerja di hotel. Dia jadi sekertaris Rendra. Kamu, kakaknya—” “Dia bukan adikku.” Tama menyahut cepat. Sepasang mata pria itu dengan berani membalas tatapan tajam sang ayah yang sudah mulai naik pitam. “Ini yang membuatku malas bertemu kalian. Anggap saja aku sudah mati.” Lalu Tama mendorong kursi ke belakang. Tubuh pria itu sudah setengah terangkat ketika satu tangan menahan lengannya. Tama menoleh ke samping. Pria itu menghembuskan napas. “Aku tidak mau kalian berdua membahas apapun tentang Tama, apalagi membandingkannya dengan Rendra. Sudah cukup. Aku hanya ingin menikmati waktuku bersama cucuku. Apa itu saja sulit untuk kalian?” Dina mengatupkan sepasang rahangnya. Kesal, wanita berusia 45 tahun tersebut melengos. Sementara pria yang tidak lain adalah ayah Tama terdiam. Tidak berani melawan sang ibu, pria itu kemudian meraih gelas di depannya. Rahma menoleh ke arah Tama. Wanita itu menarik tangan Tama hingga sang cucu kembali duduk di kursinya. Wanita itu menghembuskan napas. “Setelah ini, pulang ke rumah. Kamu juga punya hak di rumah itu. Jangan membiarkan orang tua ini sibuk mencarimu,” keluhnya. Tama menahan decakan. Kalau sudah neneknya yang bicara, dia sulit untuk membantah. "Kamu dengar yang nenek katakan?" "Akan kupikirkan, Nek." Tama menjawab sekenanya. Ingin hati menjawab, 'Maaf, aku tidak mau kembali ke rumah dan hidup satu atap dengan perempuan itu.' "Jangan lama-lama mikirnya. Papamu sudah tua. Dia juga sedang sakit." Mendengar ucapan sang nenek, refleks Tama menggulir bola mata ke arah pria yang sebagian rambutnya sudah memutih. Tama menarik napas samar, lalu menghembuskan perlahan. Dia sudah mendengarnya dari Alvin. Suasana di tempat itu sudah semakin meriah dengan penampilan beberapa artis ibu kota yang sengaja dibayar untuk menghibur para tamu undangan. Mengalihkan tatapan mata dari sosok pria yang mengalirkan darah di dalam tubuhnya, Tama memperhatikan seorang pria yang selalu menjadi pujaan di keluarga besar mereka. Narendra Surya Aksara. Pria yang sudah menjadi direktur hotel berbintang di usianya yang masih muda--30 tahun. "Itu calonnya Rendra. Anak direktur BUMN." *** Naira dan Mina berakhir duduk di satu meja bundar dengan 4 kursi plastik yang mengelilingi. Mina menepati janjinya. Wanita itu mentraktir bakmi rebus pinggir jalan, dengan pemandangan restoran yang hanya orang-orang berduit bisa menikmati makanannya. “Kayaknya lagi ada acara,” ujar Mina sambil mengalirkan teh hangat ke dalam mulut dengan menggunakan sedotan plastik. Mereka sudah selesai makan. “Menurutmu, berapa banyak uang yang harus orang kaya itu keluarin buat sewa restoran sebagus dan semewah itu?” tanya Mina tanpa memutar kepala dari pemandangan di depannya. Dia bisa melihat beberapa karangan bunga di depan restoran. “Sepuluh juta, atau dua puluh juta?” Sepasang bibir Mina mengerut. "Pasti enak jadi orang kaya." Naira yang juga sedang menatap ke arah beberapa mobil mewah yang terparkir di halaman restoran itu, menoleh. Sepasang matanya mengerjap. “Dimana kita bisa dapat uang 10 juta dalam semalam?” Bukannya menjawab pertanyaan sang teman, Naira justru bertanya balik. Mina mengingatkan dirinya tentang uang sewa rumah keluarganya. Adiknya sudah meneror dengan beberapa SMS yang mengatakan jika mereka akan diusir apabila tidak segera membayar tunggakan uang sewa. Naira menghembuskan napas panjang. Tubuhnya begitu lelah, tapi, tidak ada uang sebanyak itu di kantongnya. Jangankan 10 juta, 100 ribu pun tidak ada saat ini. Kemana dia harus mencari uang sebanyak itu? Mina yang sudah menatap sang teman mengernyit. “Sepuluh juta dalam satu malam?” tanya balik wanita itu. Melihat anggukan kepala Naira, bibir Mina berkerut. “Aku dengar … kita bisa dapat uang banyak di kelab malam. Para p****************g di tempat itu senang membuang uang.” “Kelab malam?” Mina menganggukkan kepala sambil menggumam. “Tetanggaku ada yang kerja di kelab malam. Dia yang cerita.” Naira terdiam menatap sang teman. “Menurutmu, apa ada yang mau bayar wanita lusuh sepertiku ... sepuluh juta dalam semalam?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD