Aura mengeluarkan kukis buatannya dari pemanggang. Senyuman merekah di bibir ketika melihat hasil yang begitu memuaskan. Tidak sia-sia ternyata usaha keras berulang kalinya untuk mendapatkan tampilan yang tidak gosong.
"Wangi sekali!"
Melihat sang adik sudah bangun dengan sendirinya membuat senyum Aura berubah miring. "Sangat aneh. Kau terlambat di hari kerja, tapi tidak terlambat di hari libur."
"Karena aku tidak malas di hari libur."
Rana menyergap kukis dengan cepat, tetapi langsung dijatuhkan ke lantai begitu saja. Sepertinya kesadaran diri belum pulih semua. Padahal, sudah tahu kalau kue kering yang aromanya wangi itu baru saja keluar dari pemanggang.
"Kau begitu ceroboh! Kukis ini masih sangat panas. Apa kulitmu melepuh? Biarkan aku melihatnya.”
Rana yang memadamkan rasa perih jemarinya di dalam mulut hanya menggelengkan kepala. Tidak lama kemudian beranjak menuju wastafel untuk mencuci tangan dengan perlahan. Tadi cukup sakit untuk ditenangkan, sekarang tidak lagi dirasakan.
"Aku tidak tahu kalau perutku selapar itu sampai-sampai meraih kue kering yang nyatanya sudah pasti masih panas," ejek Rana pada diri sendiri.
Aura tertawa. "Hukuman untukmu karena tidak meminta izin pada yang punya terlebih dahulu."
Rana melihat punggung sang kakak, lalu memutar kedua bola matanya ke atas. Tidak memperpanjang soal insiden kecil itu lagi, Rana beralih untuk memperhatikan Aura yang sibuk dengan urusan kukis kembali.
"Shaw tidak pulang semalam?"
"Ya. Dia akan pulang pagi ini untuk beristirahat."
"Sangat disayangkan karena Shaw tidak mendapatkan jatah libur sepertiku."
"Justru aku tidak paham dengan bosmu, karena masih berbaik hati memberikan hari libur pada pegawai sepertimu."
Rana mengangkat kedua bahu. "Sepertinya dia sangat menyayangi pegawai terlambatnya ini."
"Apa kau bisa membantuku menata mereka semua ke dalam wadah kue? Aku harus mandi sebelum mengunjungi tetangga baru kita."
Rana menganggukkan kepala. Tetangga baru bukan hal yang penting untuk ditanyakan karena sesungguhnya Rana tidak begitu peduli dengan lingkungan sekitar. Aura saja yang begitu bahagia ketika menyambut tetangga baru mereka.
Seorang diri di dapur menarik Rana untuk mencicipi kukis itu lagi. Kali ini menggunakan tisu. Tidak begitu panas seperti tadi. Hanya perlu beberapa embusan napas agar kukis dapat dinikmati dengan aman, nyaman, tenteram, dan juga damai.
"Aura! Ini sangat lezat!"
Pujian lantang tidak dapat didengar karena Aura sibuk bersenandung ditemani pancuran air. Berbeda dengan Rana yang harus menahan diri untuk tidak mengambil kukis satu demi satu yang hanya akan membuat wadah kue tidak lagi penuh.
“Aku harus menghentikannya sebelum Aura berubah menjadi badai,” gumamnya.
***
Waktu berlalu cukup lama setelah Aura menghabiskan detiknya untuk berbincang dengan tetangga baru mereka. Rana sendiri masih fokus dengan televisi sejak ditinggalkan tadi. Namun, perhatian bukan sepenuhnya ada pada Rana, melainkan jam yang berdetak hampir menunjukkan waktu untuk makan siang.
"Shaw masih belum kembali?"
Rana menggelengkan kepala tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar selebar dua setengah inci itu. "Belum. Mungkin dia mendapatkan tugas tambahan."
Aura memperhatikan meja makan. Sarapan untuk suaminya telah disusun rapi, berharap tadinya Shaw akan pulang dan menyantapnya, tetapi sampai siang hari pun masih belum tersentuh sama sekali.
Tidak adanya respons dari sang kakak membuat Rana akhirnya menolehkan kepala. Ada raut kecemasan yang didapatinya. "Kau sedang hamil saat ini. Shaw selalu mengingatkan agar tidak membuat dirimu tertekan. Tenang saja. Dia pasti akan kembali setelah menyelesaikan urusannya."
Rana mematikan televisi, lalu beranjak menghampiri sang kakak. "Sekarang, ayo, kita tata makan siang! Sejak tadi aku sudah sekarat karena menunggumu."
Aura menyingkirkan kekhawatiran. Seperti perkataan adiknya, tidak perlu membuat diri menjadi cemas karena Shaw pasti akan pulang. Jadi, Aura tetap menyediakan tempat untuk tiga orang dengan harapan bahwa suaminya kali ini benar-benar akan pulang.
"Hari ini lauk kita adalah seafood," ucap Rana dengan nada riangnya.
Brak!
Suara dobrakkan pintu yang begitu tiba-tiba membuat mereka sangat terkejut. Aura kian berbinar matanya ketika melihat sang suami yang sangat dirindukan akhirnya pulang juga. Langsung saja Aura memeluk suaminya dengan erat.
Rana yang berdiri seorang diri di belakang mereka terlihat malu-malu. Sungguh tidak ingin mengusik momen kebersamaan pasangan suami istri yang saling merindukan itu.
Orang yang menyadari kejanggalan pertama kali akan kepulangan Shaw adalah Rana. Ada benda aneh serupa bola bekel berukuran super besar yang dipertahankan saat dua insan saling memeluk. Terutama baru disadari kalau Shaw sekarang sedang terluka di bagian lengan membuat kejanggalan lebih terasa.
Apa yang terjadi? Kenapa Shaw terlihat begitu sekarat, lebih daripada Rana yang menantikan makan siang mereka?
Shaw melepaskan pelukan dengan cepat. "Aura," desisnya dengan ekspresi kepahitan yang begitu pekat. "Kita tidak punya banyak waktu. Kemasi seluruh barang-barang. Kita akan pergi dari kota ini sekarang juga."
"Apa maksudmu, Shaw? Kenapa kita harus pergi?"
Shaw mengertakkan geraham ketika mendengar riuh yang perlahan jelas. Rana sendiri bergegas menghampiri jendela untuk melihat hal apa yang terjadi di luar sana. Dari jauh tampak banyak orang dengan senjata lengkap sedang menuju ke rumah mereka dan itu membuat Rana bergidik.
"A-apa yang terjadi?" Rana bertanya tanpa mengubah ekspresi ketakutan di wajah.
Shaw menundukkan kepala selagi kedua tangan menekan kedua bahu istrinya. "Maafkan aku." Suaranya bergetar.
Aura terkejut ketika mendapati suaminya menangis. "Kau kenapa?! Apa sesuatu yang buruk sedang terjadi?"
"Kalian harus pergi dari kota ini sekarang."
Shaw mengambil tas yang telah dipersiapkan untuk menyimpan kebutuhan bayi mereka, lalu memasukkan pakaian dari dalam lemari secara sembarangan. Baru kemudian berlabuh pada Aura kembali untuk memberikan tas tersebut.
"Shaw, apa yang terjadi?! Setidaknya jelaskan padaku mengenai sikapmu ini."
Rana segera mengambil alih tas yang dipegang sang kakak tadinya. Bukan hanya berdiam diri saja seperti orang tidak berguna ketika sendirinya mengerti akan situasi, Rana memegang tangan kakaknya dengan kuat.
"Serahkan semuanya pada kami."
Aura memiring kepala, tampak lebih bingung lagi. "Ra—na?"
Siapa pun, tolong bantu Aura untuk memahami situasi!
Shaw menganggukkan kepala. "Aku percayakan Aura padamu dan juga,"—tatapan nanarnya dibawa turun ke arah perut sang istri—"Kalian harus selamat."
Segera setelah itu, Shaw membalikkan badan sambil menahan kepahitan isak tangisnya. "Pergilah, Rana! Bawa istriku pergi sejauh mungkin!”
"Shaw ...."
Rana menarik kakaknya yang bersikeras untuk tetap tinggal. Tetapi Aura tidak berhasil membujuk sang adik yang keras kepala sehingga mau tidak mau kedua kaki terbawa pergi juga. Mereka keluar dari rumah melewati pintu belakang.
"Lepaskan aku, Rana!"
"Tidak, Aura! Kita harus pergi sejauh mungkin seperti apa yang Shaw katakan!"
Rana tidak tahu, apakah keputusannya pada saat itu sudah tepat. Hanya ketegaran yang dapat dibawa untuk menyelamatkan hidup Aura. Meskipun pada akhirnya pikiran positifnya dikalahkan, Rana sudah siap untuk itu karena Shaw sudah memilih jalan hidupnya.
Suara tembakan yang menjulang sampai ke langit membuat langkah dua orang itu berhenti. Rana menelan ludah dengan kasar akibat pikiran negatif yang sulit untuk ditepis, sedangkan Aura seperti kehilangan separuh jiwanya ketika menoleh ke sumber suara, rumah mereka yang begitu jauh dari jangkauan.
"Shaw ..." lirih Aura. “Tidak! Shaw!” Dia berteriak, berlari susah payah untuk mencapai keberadaan suaminya.