Bab 1: Perkenalan Dunia

1313 Words
“Rana, bangunlah!” Suara itu sangat menyakitkan ketika mencapai telinga, mengusik mimpi indahnya di alam sana. Rana sudah seperti diguyur hujan ketika selimut hangatnya disingkirkan tanpa kenal iba. Bukannya mengindahkan perkataan sang kakak yang bisa dinilai sedang marah, justru dia lebih memilih untuk keras kepala. “Sarapanmu akan dingin jika tidak segera dimakan. Tolonglah! Aku tidak punya banyak waktu untuk terus membangunkanmu. Ini sudah lewat dari satu jam.” Suara itu kian lama kian sayup, menandakan bahwa pemilik suara sudah beranjak menjauh dari kamar. Di dalam tubuh yang kesadarannya setengah terbangun, Rana menarik diri untuk bangkit sebelum Aura berubah menjadi badai yang dapat memorak-porandakan isi kamarnya. Salah satu kemampuan Rana ketika bangun adalah dapat sampai ke kamar mandi dengan aman sambil menutup mata. Mungkin sudah menjadi kebiasaan, asalkan tidak ada yang berubah dari tata letak perabotan di kamar. Sayangnya, hari ini Rana harus menemui nasib yang malang. Hanya dalam beberapa langkah, kakinya harus tersandung kursi kayu yang tadi malam sengaja diubah posisinya agar kamar menjadi lebih luas. “Duh! Seharusnya aku tidak meletakkanmu di sini, Brad!” tunjuk Rana pada kursi kesayangannya. Dia menamai kursinya Brad Pitt, karena berpikir bahwa aktor tampan itu akan selalu membuat duduknya menjadi sangat nyaman jika berlama-lama. Namun, Rana harus berterima kasih pada kursi kesukaannya karena kincir di kepalanya mulai berputar akibat rangsangan dari kaki yang terbentur. Dia akhirnya sadar kalau dirinya sudah terlambat! Entah sudah mendapatkan berapa kali peringatan. Setiap pagi hanya harapan yang dapat digantungkan agar pemilik kafe kecil yang terletak di pinggiran kota itu mengalami sakit atau semacamnya sehingga tidak lagi hadir terus-menerus hanya untuk memastikan dia tidak terlambat. Memang sulit bekerja dengan orang yang super taat peraturan, sedangkan Rana menyukai kebebasan. Jika mendapatkan pekerjaan di masa sekarang tidak payah, mungkin dia sudah sejak lama berhenti. Hanya saja, dia harus mempertahankan pekerjaan karena tidak ingin hanya hidup menumpang. Rana mengenakan baju kaus putih dan celana jeans biru. Satu hal yang disukai dari pekerjaannya, tidak ada yang namanya seragam, menunjukkan arti kebebasan lain. Sungguh tidak perlu memikirkan seragam yang harus dicuci untuk dikenakan keesokan harinya. Ada banyak pakaian di dalam lemari dan Rana lebih banyak menghabiskan waktu di kafe. Lalu, selama itu kehidupannya harus dihiasi dengan seragam serupa dengan pekerja lainnya? Jangan bercanda! Hei! Bahkan, kita tidak pernah tahu apa mereka mencuci pakaian kerjanya atau tidak. Di sanalah keunggulan parfum bekerja. Tetapi Rana tidak menyukai sesuatu yang menyengat untuk ditempeli pada tubuh, terlebih harus membawanya ke mana-mana.. Maka dari itu, dia tidak suka seragam yang selalu sama dan juga parfum. Kini Rana telah duduk di kursi makannya, bergabung dengan dua anggota keluarga yang lain. Di sana ada Aura—kakak kandungnya yang tengah hamil tujuh bulan, Shaw—suami kakaknya, dan juga patty. Apa dia pernah mengatakan kalau patty sangat lezat sebelumnya? Tentu tidak, karena ini baru lembaran awal. Makanan penunda lapar itu dikombinasikan dengan daging giling, sayur-mayur, roti lapis, dan keju yang dihangatkan sehingga tampilannya meleleh seperti kedua mata Rana yang tidak sabar melahap seonggok sarapan paginya itu. Oh, ya, Tuhan! Rana mendeskripsikan patty-nya seperti kain yang belum dicuci selama satu minggu. Menumpuk. Satu gigitan pertama, Rana mengernyitkan alis. “Ini sudah dingin,” keluhnya. “Jangan salahkan aku, karena aku sudah berulang kali membangunkanmu,” ucap Aura. Rana mengembuskan napas panjang, ekspresinya kesal bercampur bingung. “Aku tidak suka patty yang sudah dingin, Aura.” “Dan sekarang kau harus menghangatkannya lagi,” ucap Shaw, tahu akan kebiasaan adik iparnya. Rana beranjak ke sisi dapur. Bukan menghangatkan di dalam oven, justru Rana membungkus sarapan pagi yang baru sekali digigit itu untuk disimpan ke dalam tas. “Aku sudah terlambat,” ucap Rana, lalu pergi dengan raut wajah kesalnya. Tersisa dua pasangan suami istri saja, Shaw menaikkan kedua bahu sambil melanjutkan sarapan, sedangkan Aura menggelengkan kepala melihat tingkah laku adiknya yang kesal hanya karena patty. “Aku juga harus berangkat. Sarapanku sudah habis. Kau, lihat?” Shaw berkata sambil memperlihatkan piringnya yang tandas. “Sangat licin dan mengilap, bahkan tidak perlu dicuci.” Aura tersenyum. “Kau meringankan pekerjaanku.” Shaw menghampiri istrinya dan bersimpuh di samping kursi untuk menganalisis perut yang besar. Momen yang terjadi sekarang sangat spesial, di mana seorang suami akan mendengar detak jantung bayi yang belum lahir dan sang istri akan mengusap kepala suaminya dengan penuh kasih sayang. “Aku tidak sabar melihat bayi kita lahir ke dunia.” Shaw bangkit sebelum mengecup kening istrinya dengan lembut. “Jangan terlalu memikirkan kekesalan Rana. Dia selalu seperti itu. Pulang nanti, apa yang terjadi pagi ini akan dilupakan olehnya.” “Aku tahu.” Shaw memandangi istrinya untuk sejenak. Belum lama berada di rumah membuat kerinduannya tidak terobati juga. Betapa Shaw ingin berlama-lama menghabiskan waktu bersama sang istri. Namun, ada kewajiban yang harus dipenuhi dan hal itu mematahkan keinginan. “Aku benar-benar harus pergi sekarang.” Aura yang memandangi suaminya dengan tulus pun menganggukkan kepala, merelakan mereka untuk berjarak hari ini. “Berhati-hatilah. Jangan lupa untuk memperhatikan dirimu.” Shaw pergi ke tempat tujuannya dengan mengendarai mobil. Kebetulan mendapatkan tugas menjaga salah satu laboratorium di tempat tinggalnya, Shaw dapat menikmati waktu bersama keluarga, terlebih dalam keadaan sang istri yang sedang hamil besar membuat kariernya sebagai tentara mendapatkan keringanan. “Shaw!” Dari jauh, tampak seorang pria berseragam sama menghampiri. Shaw baru saja turun dari mobil, melihat sang teman datang dengan tampang bahagia membuat senyuman juga terbit di wajahnya. Setelah penurunan tugas, mereka mendapatkan kesempatan untuk pulang ke tempat masing-masing dan hari ini adalah pertemuan mereka sejak beberapa waktu tidak saling melihat. “Seth! Aku dengar kita mendapatkan tempat tugas yang sama.” “Kau mendengarnya juga?” “Apa tidak masalah?” Seth tertawa kecil. “Ayolah! Aku sudah dewasa sekarang. Pahlawan dari seorang putri kecil. Jas laboratorium yang selalu bersih bukan lagi hal yang menakutkan untukku.” Seth memiliki kelainan hipertensi jas putih, keadaan di mana seseorang mengalami tekanan darah tinggi kala bertemu dengan tenaga medis. Sementara mereka harus sering berhadapan dengan penampilan bak dokter jikalau ingin berjaga di laboratorium. “Aku harap kau benar.” Beberapa orang wanita remaja berjalan ke arah mereka, satu di antaranya mengenakan jas laboratorium. Seth mengambil kesempatan untuk membuktikan bahwa apa yang dialaminya selama ini sudah sembuh. “Kau benar-benar ditunjuk menjadi asisten Profesor Pollack? Aku tidak dapat mempercayainya! Semua orang tahu kalau pria beruban itu sakit jiwa!” Percakapan yang tujuannya bergosip mau tidak mau harus didengar. Sadar akan keberadaan orang lain sepertinya membuat wanita remaja tersebut bersikap sopan seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin juga berharap bahwa gosip melengking tadi lenyap di pendengaran. Shaw tidak berpendapat apa-apa. Hanya memperhatikan bagaimana tiga orang wanita itu berlalu pergi tanpa sepatah kata, kontras dengan keadaan tadi yang begitu heboh. “Aku tidak tahu kalau bergosip juga menjadi kebiasaan anak remaja. Sepertinya aku terlalu lama berada di dalam tugas sehingga melupakan warna asli dunia." Seth menggelengkan kepala tidak percaya. Sesaat setelah itu, menggunakan punggung tangannya untuk memukul perut Shaw. "Hei! Apa kau melihatnya tadi? Aku tidak takut melihat wanita dengan jas labnya!” Shaw sedikit tertawa, mengalihkan suasana pada pembicaraan mereka yang sempat terusik. “Aku bangga dengan itu.” “Dan siapa itu Profesor Pollack yang dinyatakan sakit jiwa oleh anak remaja?” Seth tanpa sadar ikut terhanyut dalam pusaran gosip. “Profesor Pollack seorang ilmuwan yang sering kali menciptakan penemuan-penemuan baru dengan ide anehnya. Meskipun begitu, hingga sekarang tidak ada yang mengakui penemuannya karena dinilai memiliki banyak kecacatan. Aku tidak begitu tahu pasti, tapi sepertinya masyarakat memiliki cara pandang tersendiri mengenai hal itu.” “Mereka berkata bahwa orang gila dan orang genius hanya beda tipis. Isaac Newton seorang fisikawan, Vincent van Gogh seorang pelukis The Starry Night yang mendunia, Beethoven sebagai komposer andal, mereka adalah genius yang memiliki gangguan kejiwaan." Seth tersenyum miring sambil melipatkan tangan. “Apa Profesor Pollack akan menjadi genius selanjutnya?” Shaw menggeleng tidak berdaya mengetahui pemikiran yang menggelikan baginya. “Imajinasimu terlalu kental. Ayo, kita harus bertugas!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD