Bab 3: Waktu Terbelah

1135 Words
Rana berhasil menangkap sang kakak agar tidak lagi pergi lebih jauh dari pelarian mereka. Dia memberikan pelukan untuk menenangkan sehingga yang tersisa kini adalah isak terpendam. Memang pahit. Hanya saja, pengorbanan tidak boleh disia-siakan dengan penyerahan diri. Teriakan tadi tampaknya menjadi sorot perhatian baru bagi para manusia bersenjata untuk menganggap bahwa dua orang wanita jauh di sana berkaitan dengan kematian Shaw—aparat pemerintah yang ketahuan membawa pergi hasil penelitian seorang profesor. Rana sendiri yang melihat kalau senjata mulai diarahkan pada mereka segera menarik sang kakak untuk pergi dari halaman belakang rumah. Meskipun Aura mengizinkan kaki melangkah bersama, tetapi air mata terus mengalir tanpa henti. Entah apa yang terjadi, Aura berharap bahwa suara tembakan tadi tidak melukai suaminya. Padahal, harapan itu tidak lagi bisa dikabulkan karena Shaw telah tiada. Benar-benar telah tiada. Satu peluru yang mengejutkan semua orang akan suaranya tadi telah berhasil menembus tepat di tengah kepala, menumbangkan tubuh kokoh untuk menghalangi kerumunan bersenjata dengan satu pistol yang tidak ada apa-apanya. Sekarang hanya tersisa dua orang wanita yang berusaha untuk menjauh dari kejaran. Mereka mencari-cari tempat persembunyian yang sekiranya dapat membuat keberadaan tidak diketahui. Saat pelarian dilakukan, Aura hampir tidak sanggup lagi untuk kehilangan banyak tenaga. Mungkin setengah dari tenaga sudah dihabiskan untuk menangis. Bahkan, Aura yang seharusnya menghiasi waktu dengan memikirkan keadaan sang suami yang entah bagaimana, tidak lagi dapat merasakan air mata. "Rana ... aku, aku sudah tidak kuat lagi ...." Rana memperhatikan sang kakak yang memang bibirnya sudah pucat. Dalam keadaan hamil begini, Aura yang berjalan cukup jauh bisa dikatakan sangat kuat. Sepertinya mereka memang tidak bisa lagi pergi lebih jauh dari ini. Rana juga harus menepati janjinya. Ibu serta bayi yang masih ada di dalam kandungan sedang berjuang dan harus selamat. Namun, kerumunan bersenjata tidak akan sulit menemukan mereka yang hanya bersembunyi di balik pagar tanaman setinggi pinggul. Rana harus mencari tempat lebih baik. Segera. Terlebih suara orang yang ingin menangkap mereka sudah semakin dekat. "Aura, bisakah kau berjalan sedikit lagi?" Aura mengangkat kepala yang mulai pusing. Jangankan melangkah, berkata-kata saja tidak sanggup. Otaknya tidak dapat berpikir dengan baik di kondisi peliknya. Tidak ada waktu untuk menunggu persetujuan. Suara mengerikan semakin dekat. Rana bergegas menuntun sang kakak, dengan perlahan hingga mereka dapat bersembunyi di balik mobil rongsokan. Di sana Aura yang sudah tidak sanggup harus membiarkan tubuhnya duduk bersandar di sisi dinding karatan itu. "Apa aku," Aura menggeram kala merasakan nyeri di bagian perut, "akan mati?" "Tidak! Kau tidak akan mati!" Kedua tangan Rana gemetar, sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Mereka terdesak dengan suara makhluk bersenjata di ujung sana yang siap menyerang kapan saja ketika seujung rambut terlihat. "Lihat sekarang, apa yang telah aku lakukan? Bertindak sebagai pahlawan, tapi sendirinya tidak tahu harus berbuat apa," ucap Rana, mengepalkan tangan yang berkeringat. Rana menoleh pada sang kakak yang mana kesadarannya kian meredup. Berusaha untuk memikirkan cara agar tidak ditangkap, Rana membuka ritsleting tas yang disandangnya sejak tadi, lalu mencari-cari di sana hingga dapat menemukan sebuah bola yang tidak sengaja diperhatikannya ketika Shaw membuat isi tas penuh dengan pakaian. Rana mengamati bola transparan yang menunjukkan sinar indahnya seperti taburan bintang di langit malam, berwarna-warni seperti ingin menghipnotis siapa saja yang menginginkannya. Namun, benda yang dianggapnya sebagai kesialan itu tidak dapat merayu Rana yang nyawanya sedang di ujung tanduk. Justru Rana memilih untuk menghancurkan benda sial yang telah membuat kehidupan mereka menjadi rumit, dengan begitu bola bekel yang berkali lipat besarnya ini tidak akan dimiliki oleh siapa pun. Entah apa yang membuat Shaw rela mengorbankan diri, pastinya Rana percaya pada kakak iparnya sampai berani mengambil peran penyelamatan ibu dan anak ini. Sekarang dia merasa tidak dapat mengorbankan keselamatan Aura lebih jauh. Dia harus meminta maaf pada Shaw karena harus menyelesaikan misinya sampai di sini. "Keluar dari tempat persembunyian kalian sekarang!" Suara itu hanya ada di seberang tempat persembunyian, di balik mobil yang mereka tumpangi sisinya. "Sial!" umpat Rana. Tanpa pikir panjang lagi, Rana mengangkat batu besar yang diambilnya tidak jauh dari tempat persembunyian mereka, mengerahkan semua kekuatan ke satu tumpuan untuk kemudian dipukulkan tepat pada bola bekel. “Musnahlah, kau!” teriak Rana. Suara lemparan kuat menghentikan waktu beberapa saat. Apa yang terjadi adalah bukan bola itu yang hancur, melainkan batu yang begitu kuat. Tidak ada hal lain lagi yang terjadi kecuali isi dari bola bergerak tidak beraturan seperti terguncang akan sesuatu. Suara entakkan kaki membuat Rana sadar bahwa dia semakin tidak memiliki waktu. Dia segera meraih bola bekel dan menghamburkan diri untuk menarik Aura. Sesuatu yang tidak terduga terjadi pada saat yang bersamaan. Para makhluk bersenjata terkejut melihat seberkas cahaya putih menyebar luas, membuat mata siapa saja harus menutup karena tidak mampu menantang biasnya. Sampai detik itu Rana tidak tahu lagi dengan apa yang terjadi pada mereka. Mungkin seseorang telah melemparkan granat sampai terjadi ledakan besar atau semacam pingsan karena dia belum makan siang? Entahlah. Rana hanya merasa kalau tubuhnya terombang-ambing di atas air. Seluruh jiwa seakan dingin dan sekarat. Dia juga dapat merasakan sesuatu seperti sedang menggelitik kulitnya. Lama-lama Rana sulit bernapas seperti air telah merendam seluruh organ tubuhnya, merasuki hidung, mulut, mata, mau pun telinga. Rana memaksa diri untuk membuka kedua mata, sekaligus dengan napas yang cukup kuat menghirup oksigen, sesudahnya dia terbatuk. Suara air yang turun banyak dari kebangkitan tubuh telah mengusir ikan-ikan kecil yang ternyata biang keladi dari rasa geli pada kulit Rana. Sungguh. Rana tidak lupa ingatan. Sejauh apa pun memandang, tempat yang sekarang sangat berbeda dengan apa yang terjadi sebelum ini. Dia tidak lagi melihat orang yang mengejar mereka. Ada di mana dia sekarang? Dan ke mana perginya rongsokan mobil berkarat? "Aura ...." Sejurus kemudian ingatan mulai terkumpul. Rana mencari keberadaan kakaknya yang beberapa menit sebelumnya masih sekarat. Hanya saja, tidak ditemukan meski bagaimana pun mencari. "Dia kejadian aneh yang kami maksud!" Rana segera menoleh ke kanan, tempat di mana orang-orang berpenampilan aneh mulai datang menghampiri. Setelah pingsan, tidak mungkin sekarang dia berada di surga, bukan? Apalagi, tempat itu sama sekali bukan seperti surga! Sejak kapan surga memiliki kucing yang dapat berdiri tegak dengan kedua kaki layaknya manusia? Sudah begitu, berbicara dan menunjuk padanya dengan tatapan aneh. "Lihatlah penampilannya! Dia benar-benar aneh!" Makhluk lainnya menyahuti. Kali ini manusia dengan memakai sesuatu serupa helm di kepalanya. Rana mengertakkan geraham. "Sejak kapan orang aneh menyebut orang lain aneh? Jelas kalian yang paling aneh di sini!" Seorang pria tiba-tiba saja melangkah maju ke depan, melewati batas kerumunan yang memiliki satu pemikiran bulat bahwa dia adalah orang aneh. "Hai, Nona Manis—" Baru saja berkata, mereka yang lain langsung mengkritik, "River! Bagaimana bisa kau berkata 'manis' pada orang aneh itu?" "Ssstt,"—River tersenyum di balik jari telunjuknya—"aku yakin kalau kalian belum melupakan perihal nenek moyang, bukan?" "Jadi, kau berkata bahwa wanita ini adalah nenek moyang kita?" "N—nenek moyang?" Rana mengerjapkan mata seolah belum tertarik semua kesadarannya. "Sejak kapan aku jadi nenek moyang kalian?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD