Beberapa tahun kemudian …
Kiara yang baru saja pulang kerumah bersama keluarga, setelah menghadiri pernikahan Genta dan Hening, tidak diizinkan untuk masuk kamar terlebih dahulu oleh mamanya. Lusi mendudukkan Kiara terlebih dahulu di ruang keluarga, duduk bersebrangan dengan Kiara.
Lusi membuka ponselnya, menggeser slide demi slide di dalam benda persegi itu. Sejurus kemudian ia menyodorkan ponsel itu di atas meja kepada Kiara. “Namanya Astro, umurnya 30 tahun, dia anak pertama dari—”
“Aku gak mau dijodoh-jodohin lagi.” Kiara dengan berani menyela ucapan mamanya. Hal itu memang tidak sopan, tapi Kiara sudah lelah menuruti semua keinginan Lusi sedari kecil. Apalagi ambisi Lusi yang selalu ingin menikahkan Kiara dengan anak orang kaya dan terpandang.
Kiara sudah cukup malu dengan sikapnya terhadap Genta juga Hening kala itu. sempat menjadi perusak hubungan keduanya dan gagal, membuat Kiara lelah dengan semua kehidupan yang di jalani saat ini.
Kiara bahkan pergi dengan modal nekat ke london setelah lulus dari SMA. Kuliah di sana dan hidup seorang diri. Kiara memang mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas kenamaan di sana. Tapi bagi gadis yang masih berusia 18 tahun kala itu, mengambil keputusan pergi meninggalkan Lusi, adalah sebuah hal yang paling berani.
Meskipun pada akhirnya, Kiara terlibat pergaulan bebas saat berada di London, ia tidak menyesalinya sedikitpun. Semua hal itu merupakan perwujudan dari keterkekangan dirinya selama hidup bersama Lusi.
Lusi berdiri dengan berang, menanggapi ucapan anaknya. Ia menghampiri Kiara yang masih duduk bersandar sembari menyilang kaki di sofa. “Mama sudah bikin janji sama dia besok—”
Kiara kembali menyela perkataan Lusi. “Mama yang bikin janji, bukan aku. Jadi silakan mama yang datang ke perjodohan itu.”
“Ara!”
Kiara berdiri, bersedekap santai menatap Lusi. “Aku capek, ma. Dari dulu selalu ngikutin keinginan mama.”
Kiara hendak pergi meninggalkan Lusi, namun baru selangkah tangannya dicekal hingga ia berbalik.
Lusi menengadahkan tangan di depan Kiara. “Karti kredit, atm, kunci mobil, kunci apartemen, serahkan semua sama mama.”
Kiara menatap dingin pada Lusi, dadanya kontan naik turun. Selama ini Kiara selalu hidup dalam kemewahan, bagaimana nasibnya bila semua itu ditarik oleh Lusi.
“Dan kalau kamu masih mau tinggal di sini, temui Astro besok, kalau gak mau, silakan pergi dari sini dan nikmati semua penderitaan menjadi orang miskin yang gak punya uang sepeserpun!” tekan Lusi lagi dengan bertolak pinggang.
Tiba-tiba saja Kiara mengingat kalau dirinya masih punya sebuah butik untuknya berteduh. Kiara bisa tinggal di sana sembari mencari rumah sewaan. Dengan hembusan napas kesal, Kiara mengeluarkan semua barang yang diminta oleh Lusi. Meletakkan semuanya di meja.
Tanpa mengatakan hal apapun, Kiara berbalik. Tapi sekali lagi, Lusi mencekal tangannya. “Kunci mobil sama kunci butik kamu, serahin juga ke mama.”
“Whaaat.” Seru Kiara tidak percaya. “Butik itu punya aku, jerih payah aku, dan—”
“Dan modal butik itu dari mama semua, jadi sebenarnya kamu gak punya apa-apa di sini! Kamu baru boleh keluar dari rumah ini setelah semua perhiasan di tubuh kamu itu kamu lepas. Jadi pikirkan lagi, mau datang besok atau jadi orang miskin seperti ayah kamu.” Lusi kembali menengadahkan tangannya di depan Kiara.
Satu hal yang tidak pernah Lusi sangka, kalau putrinya itu, pada akhirnya menyerahkan kunci mobil serta kunci butiknya pada Lusi. Semua perhiasan yang ada di tubuh Kiara pun dilepasnya dan diletakkan satu persatu di atas meja kaca.
Kiara memang tidak pernah hidup susah. Sepanjang perjalanan hidupnya, ia selalu bergelimang harta dan berselimut barang branded di tubuhnya. Tapi entah keberanian dari mana, saat Lusi menyebut kata ‘ayah’, Kiara baru ingat kalau ia juga masih punya satu orang tua lagi.
Untuk itu, Kiara akan mencari ayahnya setelah keluar dari rumah mewah ini. Ia tidak peduli lagi dengan semuanya. Satu yang Kiara harap, kalau ayahnya akan menerima dan tidak akan mengusir dirinya.
--
Dewa memandang wanita yang ada di depannya dengan teliti, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ck, gak usah dilihatin gitu, kalau gak mau nolongin ya aku pergi!”
“Eeett, iya iya.” Dewa berdiri, dengan cepat mencegah wanita itu agar tidak pergi dari rumahnya dengan menghadang tepat di depannya. “Lo boleh nginap sini. Tapi Ki, lo serius diusir dari rumah?”
Kiara menjawab dengan gumaman.
Dewa pun melanjutkan kalimatnya. “Gue di rumah ini cuma sendirian Ki, terus kalau gue khilaf ngapa-ngapain lo, gimana?” godanya.
“Ya gak gimana-gimana,” Jawab Kiara cuek. “Emang kamu mau ngapain aku?” tantangnya sambil maju satu langkah. Tangan Kiara terangkat dan mengalung pada leher Dewa.
Dewa yang sudah lama tidak bertemu dengan Kiara, sampai heran sendiri dengan perubahan teman sebangkunya saat di sekolah dulu. Sepertinya hidup lama di London, telah merubah seorang Kiara yang pendiam dan jutek menjadi seagresif ini.
Masih segar di ingatan Dewa bagaimana interaksi Kiara dengan anak-anak di sekolah. Bisa dibilang minim interaksi. Kiara tidak punya banyak teman, atau bisa dibilang, Kiara tidak punya teman ataupun sahabat dekat. Berteman dengan Dewa pun terpaksa, entah mengapa selama tiga tahun, mereka selalu saja di dudukkan di meja yang sama.
“Jangan mancing, Ki. Gue duda kesepian yang habis ditinggal kawin sama ceweknya.” Dewa berkata jujur karena dirinya memang telah ditinggal nikah oleh Hening.
Kiara tergelak, melepas tangannya dari tubuh Dewa. “Kok sama.” Ia melangkah menuju sofa dan menghempas tubuh di sana. “Aku juga habis ditinggal nikah, kayaknya kita jodoh deh, Wa.” pancingnya tapi hanya bermaksud untuk menggoda Dewa.
Dewa hendak membalas Kiara sebenarnya, tapi mendadak ia teringat sesuatu. Dengan langkah panjang ia menghampiri Kiara dan duduk di sebelah wanita itu tanpa jarak. “Lo bukannya tadi ada di nikahan si Genta sama Hening?”
Kiara mengangguk, karena ia sempat bersitatap dan melambai dengan Dewa dari jauh.
“Berarti, lo, ketemu terus salaman sama Esa dong?” Tanya Dewa lagi.
Kiara menggulirkan bola matanya jengah, bertemu dengan Esa bukanlah suatu hal yang diinginkannya. Ia masih mengingat, bagaimana Esa tidak mau mendengar penjelasannya sama sekali pada waktu di sekolah dulu. Kiara benci tapi sekaligus merasa bersalah dengan pria itu karena ada ucapannya yang benar-benar menyinggung Esa kala itu.
“Aku tidur di kamar mana?” Tanya Kiara sambil berdiri, ia enggan membahas tentang Esa dengan Dewa. Biarlah masa lalu yang penuh kesalahpahaman itu berlalu dan tutup buku untuk selamanya.
“Tidur di kamar gue, mau?”
“Boleh, kamar kamu yang mana?” Kiara bertanya balik, tanpa ekspresi apapun yang dapat terbaca di wajahnya.
Dewa sampai terhenyak sendiri mendengarnya. Padahal ia hanya memancing sejauh apa dapat mengerjai Kiara. Dan tidak menyangka kalau respon yang di dapat seperti itu.
“Oia, sekalian pinjam baju mu ya, Wa.” Kiara menunduk meraih tangan Dewa kemudian menariknya. “Hayo kamarmu yang mana, aku mau mandi, gerah banget.”
Kini gantian Dewa yang menarik tangan Kiara. Dewa tidak mengajak Kiara ke kamarnya, namun ke kamar tamu. “Kalau gak inget temen aja, lo bakal ‘lembur’ nemenin gue malam ini.”
Kiara yang berjalan di samping Dewa pun tertawa pelan. “Gak usah diinget kalau kita pernah temenan, jadi kamu bisa ngajak aku ‘lembur’ malam ini.”