Saudara Tiri

973 Words
Sebulan sebelum ujian akhir nasional dilaksanakan. Esa berjalan tergesa dengan wajah berang, membawa sebuah kotak berbentuk hati yang sudah tidak berbentuk lagi. “Mau ke mana lo, Sa?” teriak Dewa yang baru saja keluar kelas, ia menyapa Esa yang tergesa melewati kelasnya dengan wajah geram. Tatapan Dewa jatuh pada kotak yang berada di tangan Esa. “Bukan urusan lo!” Sahut Esa tanpa melihat Dewa dan hanya terus berjalan lurus menuju kantin. Karena kepo, akhirnya Dewa menyusul di belakang Esa. Tetap menjaga jarak, agar tetap tidak terlihat oleh Esa. Dewa hanya manggut-manggut saat mengetahui langkah Esa teryata menuju kantin. Tapi yang mengejutkan setelahnya yakni, kotak yang berbentuk hati tadi ia lemparkan pada tubuh seorang gadis yang tengah duduk santai menyantap bakso seorang  diri. Kuah bakso yang masih panas karena baru saja dipesan langsung terciprat pada seragam putih abu-abu gadis itu. “ESA!” gadis itu berdiri tergesa menjauhkan tubuhnya dari meja. “Apa-apaan sih!” Esa mendekat, tanpa ragu menarik kerah gadis itu. “Denger ya tuan putri Kiara Larasati, kalau lo gak suka dengan pemberian gue, gak perlu kali harus lo hancurin kayak gitu, ditambah pake hina-hina gue segala!” desis Esa tepat di depan wajah Kiara sambil menunjuk kotak berbentuk hati yang sudah teronggok rusak di bawah meja Ara yang tidak mengerti dengan maksud Esa, hanya memberi tatapan horor. Meneguk ludah yang sangat tercekat di tenggorokan. Tubuh Kiara kinipun sampai harus berjinjit, karena tarikan Esa pada kerah bajunya yang begitu kencang. Mengetahui hal itu Dewa buru-buru menengahi keduanya. Ia tahu kalau Esa bisa sangat kasar kalau sudah harga dirinya di injak-injak, tapi ia belum pernah lihat Esa bersikap kasar kepada seorang gadis. “Sa, udahan! Lo apa-apan, Kiara itu cewek Sa, cewek!” Ujar Dewa berusaha melepas tangan Esa pada kerah baju Kiara. Tapi, kini malah giliran kerah baju Dewa yang ditarik kasar oleh tangan Esa yang satunya. “Berani ikut campur urusan gue, bengeb lo, Wa!” Kini tubuh Dewa sudah terlempar dengan begitu entengnya oleh Esa. Jatuh terduduk, dan mereka bertiga pun menjadi tontonan para murid di kantin. “ESA, lepasin!” mohon Kiara dengan wajah pias. Sedari tadi kedua tangannya sudah berusaha melepaskan telapak tangan Esa yang mencengkram erat kerah seragamnya. “Aku itu—” “Ck, Ra! Lo kalau gak suka sama Esa, gak gitu juga kali caranya. Masa’ cokelat segitu banyak lo buang di tempat sampah, mana pake lo injak-injak juga.” Seorang gadis bermata sipit tiba-tiba datang menengahi Esa dan Kiara. “Udahlah Sa, gua minta maaf kalau sodara TIRI gue ini sudah bikin lo tersinggung, please. Barusan udah ada anak yang ke ruang BK tuh, lo gak mau kan kalau kalian bedua diceramahin panjang lebar sama Bu Jutek.” “Emiko! Aku ga—” Lagi-lagi Emiko menyela ucapan Kiara, namun kali ini dengan suara pelan. Hanya mereka bertiga yang dapat mendengarnya. “Om Bagus emang preman, Ra. Tapi lo gak bisa juga hina Esa kayak tadi. Esa ya Esa, gak ada urusan sama bokapnya dia! Pikiran elo tuh sempit banget.” Telunjuk Emiko sudah mendorong pelipis Kiara dengan begitu kencang. Manik Esa semakin keruh memandang Kiara, kini kedua sisi kerah Kiara sudah terangkat tinggi oleh Esa. “Gue masih bisa terima kalau lo hina gue, Ki. Tapi kalau lo sudah nyinggung bokap gue, gak peduli mau lo cewek juga gu—” “ESA!” Suara cempreng dari seorang wanita tua yang terkenal jutek di sekolah membuat Esa melepaskan dengan kasar tubuh Kiara hingga membentur ujung meja. Emiko berbalik memasang senyum yang paling manis. “Kita lagi bikin drama Bu Vit, buat perpisahan nanti.” Guru BK yang bernama Vita itu menatap tanya pada Kiara. Diantara semua murid yang ada di sana, Vita hanya percaya dengan Kiara karena gadis itu salah satu siswa berprestasi yang tidak pernah membuat masalah sekalipun. “I-ya bu, lagi kita lagi buat drama.” Dengan senyum terpaksa serta menahan sakit pada punggung, Kiara menatap begitu yakin pada Vita. Vita membuang nafas kasar, menggeleng jengah pada prilaku siswa puber yang selalu membuat onar di sekolah. Pada intinya mereka hanya perlu lebih didengar dan butuh perhatian yang lebih. Wanita tua itu berbalik lalu meninggalkan kantin tanpa melontarkan sepatah katapun. Kiara yang tidak terima karena merasa dirinya difitnah, menghampiri Esa. Ia mendongak menatap sengit, telunjuknya menunjuk d**a Esa yang begitu keras. “Denger ya Sa! Besok-besok kalau ada masalah jangan asal ngeba—” “Udah Ra! Lo mending minta maaf!” Emiko kembali menyela dengan menarik tangan Kiara, agar menjauh dari Esa. “Serahin Esa sama gue, lo mending balik kelas.” “Gak bisa!” Kiara menarik lengannya dari Emiko. “Kamu tuh tahu aku gak gitu, Em!” “Pergi, atau nyokap lo bakal dapat masalah dan dilempar ke jalan sama bokap gue.” Desis Emiko tajam ditelinga Kiara. Kiara kembali menelan ludah, lehernya berputar menatap Esa. Ia lalu berdecak kesal, pergi menghentakkan kaki sambil kembali ke kelas. Ini bukan pertama kalinya Emiko mengancam akan melempar Lusi ke jalan, gadis itu bisa melakukan apa saja untuk mewujudkan hal itu, bila Kiara tidak menurutinya. Emiko tersenyum tipis, melihat Ara yang sudah pergi menjauh dari kantin. Kemudian ia berbalik menghampiri Esa. Belum sempat Emiko membuka suara, Esa sudah membalik badan pergi menjauh sesegera mungkin dari kantin untuk meredakan amarahnya. Sebelum pergi untuk menyusul Esa, Dewa berhenti sebentar menoyor kepala Emiko, hingga membuat gadis itu mengumpat. “Lo kan yang fitnah, Kia biar berantem sama Esa.” “Jangan asal nuduh.” Sembur Emiko bersedekap menatap lantang pada Dewa. “Kayak gue gak tahu lo aja! Lo iri sama Kia karena Esa lebih milih dia dari pada elo.” Balas Dewa dengan songong menunjuk bahu Emiko. “Lagian Em, gak usah buat drama juga hubungan mereka emang udah anyep dari dulu, resek lo ah! Sodara tapi gitu.” Emiko menggeplak kepal Dewa dengan keras. “Sodara TIRI!”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD