Mereka Berbeda
Kelopak mata Kiara menutup dengan spontan saat buku rapor yang dipegang oleh Mamanya, beberapa detik yang lalu kini melayang dengan bebas pada wajahnya
Sakit! Bukan hanya di hati namun juga di dahi yang terkena ujung buku tersebut. Ia bahkan belum sempat mengganti seragam putih abu-abunya. Karena sang mama sudah mengomel tanpa henti.
“Ini tahun kedua kamu kalah dari anak preman itu, Ra!” Mama Lusi berdiri menghampiri Kiara dengan berkacak pinggang. Tidak ada keramahan di dalam nada bicara maupun air mukanya.
Kiara berdiri kaku dengan wajah menunduk menatap ubin yang berwarna kelabu di bawah kakinya.
Mama Lusi mendorong kepala Kiara berulang kali mengunakan telunjuknya. “Kurang apa sih Ra? Mama sudah ikutkan kamu les ke sana ke mari, keluar uang segitu banyak tapi cuma berakhir jadi juara 2!”
Juara 2 umum, Ma. Ara membatin lelah, ia sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tidak pernah dianggap bila tidak menjadi juara 1 oleh Mamanya.
“Ma—”
“Kamu bahkan sudah gak punya hak buat ngomong di sini! Diam, dengar dan turutin semua perkataan Mama!” Sela Mama Lusi yang tidak pernah mau mendengar apapun pendapat dari anaknya itu. Semua hidup Kiara akan selalu berporos pada Mamanya.
Tangan Mama Lusi meraih dagu Kiara. “Jangan pernah tundukkan kepalamu di depan orang lain. Jangan pernah tunjukkan kalau kamu itu lemah! You’re the Queen, Ra! Ingat setiap permainan catur, ratulah yang memegang semua kendali dan berkuasa!”
Kiara menarik nafas dalam-dalam, menatap sang mama.
“Sabtu depan, Mama sudah atur jadwal kursus table manner buat kamu. Dan mulai senin, kamu ikut kursus kepribadian, kamu ikut program khususnya, jadi belajar yang benar!”
Mama Lusi menatap putrinya sejenak sebelum berbalik dan meninggalkan Kiara. Sesaat sebelum tubuhnya keluar dengan sempurna dari kamar sang anak, wanita paruh baya itu berbalik. “Mulai senin nanti juga, ada guru les private yang datang ke sini tiap hari, manfaatin itu semua baik-baik! Mama lakuin ini semua buat masa depan kamu Ra, supaya nantinya kamu gak akan kekurangan apapun dan jadi perempuan terpandang juga terhormat!”
--
Esa tidak bisa membendung senyum yang ada di wajahnya karena saat ini di depannya sudah ada motor sport 400cc keluaran terbaru. Motor itu memang sudah disiapkan sebagai hadiah kenaikan kelas untuk Esa. Bagus -Ayah Esa- memang selalu memanjakan putra kesayangan tersebut, terlepas sang anak meraih juara 1 ataupun tidak di sekolahnya.
“Jadi, motor kak Esa yang lama boleh buat aku dong, Pak.” Celetuk Hening yang memandang motor baru Esa dengan penuh rasa iri.
Tangan Esa langsung menoyor kepala Hening dengan tatapan tajam .”Mending gue jual daripada buat elo.”
“Lagian SD aja belum lulus sudah minta motor, mau lo apain tuh motor? mau lo jadiin guling?” Celetuk Bagus lalu meninggalkan kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah.
Kaki Hening sontak menendang motor lama Esa sekuat tenaga dengan kesal, hingga terjatuh dan menimpa motor sport baru yang belum di pakai sama sekali. Manik gadis itu melebar melihat wajah kakaknya yang sudah memerah padam karena berang.
Telunjuk Esa sudah mengarah tajam kepada Hening, setajam tatapannya yang sebentar lagi hendak menerkam gadis itu. “LO, CARI MATI! HAH!”
Detik itu juga Hening segera lari sekencang mungkin keluar dari perkarangan rumah. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan diri dari amukan Esa.
Esa memang tidak akan segan untuk memarahi adiknya itu. Ia tidak pernah menunjukkan sikap ramah Hening, dan tidak segan juga melakukan sedikit kekerasa fisik bila sang adik itu sudah sangat menyebalkan.
Kalau Bapaknya saja tidak segan untuk memukul Hening, kenapa ia harus menahan diri bila gadis kecil itu sudah bebuat onar kepadanya. Meskipun setelahnya ada perasaan menyesal telah menyakiti sang adik yang melakukan semua kenakalan hanya karena minta perhatian darinya.
Tapi tetap saja, Esa tidak mengijinkan Hening untuk masuk lebih dalam di kehidupannya. Ia sudah memasang tembok yang sangat tinggi untuk keduanya.
--
“Dasar payah!” Ledek Esa yang semakin membuat Ara geram. “Ayo, ke UKS!” serunya.
Kaki Kiara tersandung saat berlari dan membuatnya terjatuh dengan sedikit terkilir di pergelangan kaki. Detik itu juga Esa yang entah dari mana datangnya langsung berjongkok memunggunginya.
“Aku bisa sendiri!” Balas Ara ketus.
Masih dalam keadaan berjongkok, Esa membalik tubuhnya. “Naik ke punggung gue atau lo, gue gendong paksa ala bridal!” terlihat jelas kalau Esa menyeringaikan senyum jahat di wajahnya. “Kayak di film-film itu, Ki,” lanjutnya seraya terkekeh jahil..
Merasa terancam, daripada di gendong ala bridal, Kiara lebih memilih berada di punggung Esa. “Balik!” perintahnya.
Esa tersenyum penuh kemenangan. Tak lama kemudian, kedua tangan Kiara sudah berada di leher Esa, mengalung dengan erat.
“Ki …” celetuk Esa saat mengangkat Kiara di punggungnya.
“Apa?”
“Kok gak berasa ya?” Ujar Esa berjalan dengan mengulum senyum.
Kiara memiringkan kepalanya sejenak, mengerjab polos. “Apanya yang gak berasa?”
“Dari yang gue lihat, d**a lo gak rata deh, tapi kok gak berasa di punggung gue?”
Tangan Kiara segera menjitak kepala Esa dengan keras. “m***m!” Lalu gadis itu meronta minta diturunkan.
“Ssst, diem ah! Lo mau kita jatuh berdua dari tangga? Terus guling-gulingan kayak film india?”
Kiara terdiam, karena tidak lucu rasanya kalau mereka berdua jatuh bergulingan di anak tangga. Yang ada, tidak hanya kaki Kiara yang terkilir sakit tapi semua badannya juga ikutan memar.
Sembari mengangkat Kiara menaiki anak tangga, Esa selalu berceloteh. “Salah gue apa sih Ki, sama lo? Kalau ketemu gue pasti PMS aja bawaan lo. Haid lo itu gak selesei-selesai apa?”
“ESA!” hardik Kiara yang canggung membicarakan hal kewanitaan bersama lawan jenis.
Namun Esa hanya terkekeh mendengar Kiara membentaknya. Lalu mereka berdua berjalan dalam diam sampai Esa meletakkan Kiara pada tempat tidur di UKS.
“Gue tinggal ya? Gak papa kan lo?”
“Gak papa! Makasih!”
Meskipun diucapkan dengan ketus namun hati Kiara berbicara dengan tulus.