Keesokan paginya, Dewa keluar kamar masih dengan baju santai. Belum memakai setelan jas untuk pergi bekerja, menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat di Senayan. Seperti biasa, ia akan menuju dapur terlebih dahulu untuk menunaikan sarapan ala kadarnya. Hanya dengan sereal bercampur s**u. Kalau sedang rajin, maka ia akan membuat roti bakar atau sandwich. Sarapan sederhana yang mampu mengenyangkan perutnya ketika pagi mejelang.
Namun, ada yang berbeda kali ini. Ia memandang punggung seorang wanita dengan rambut yang di ikat tinggi, memperlihatkan sebuah leher jenjang yang sanggup menggugah iman seoran duda sepertinya. Terlebih, wanita itu hanya memakai kaos yang diberikan oleh Dewa tadi malam.
Pikiran liar Dewa sudah berlari ke mana-mana. Membayangkan tubuh teman lamanya itu berpeluh di bawahnya.
Dengan segera Dewa menggelengkan kepalanya. Mengenyahkan semua imajinasi buas yang ada di kepalanya itu.
“Ehm!” Dewa berdehem sembari menarik sebuah kursi di meja makan. Meletakkan ponsel di atas sana lalu duduk manis, melihat Kiara yang memutar tubuh dan tersenyum manis kepadanya.
“Pagi, Wa. Aku buatin omlet buat sarapan ya,” ujar Kiara kemudian membalik kembali tubuhnya menghadap kompor. “Dapurmu bersih banget, aku cuma nemu roti, telor sama sosis. Tadinya mau bikin nasi goreng, tapi aku gak nemu beras.”
Dewa terkekeh, “Aku gak pernah makan di rumah, Ki. Sarapan paling sereal, kalau gak sempat yaa, beli pas ke kantor. Kamu kalau mau makan nasi, biar aku pesenin.”
Ada yang berbeda pagi ini, Dewa tiba-tiba merubah panggilannya menjadi aku-kamu. Tidak seperti semalam yang masih memakai elo-gue dengan Kiara.
“Gak usah repot, aku di sini cuma numpang. Lagian, waktu di London, udah biasa sarapan ginian, simple!”
Kiara mematikan kompor dan meletakkan satu buah omlet terakhir, yang baru saja ia buat di piring. Kemudian, Kiara membawa kedua piring berisi omlet yang berada di samping kompor ke meja makan.
“This is it, omlet sosis ala Kiara. Habisin ya, Wa.” Kiara mengerling pada Dewa lalu menarik kursi di samping pria itu dan duduk di sana.
“Thanks, Ki. Udah lama banget gak ada yang masakin,” celetuk Dewa mengambil sendok yang sudah ada di piring dan menyuapkan omlet ke mulutnya dalam potongan besar.
“Nikah lagi lah, Wa. Tampang imut plus tajir kayak kamu itu, pasti cepetlah dapet cewek.” Kiara juga menyuapkan omlet ke mulutnya. Menghela sesekali, memikirkan nasib hidupnya ke depan.
“Tadinya juga mau nikah, Ki, apa daya calon istri direbut orang,”
“Belum jodoh berarti, terus yang kemaren kenapa cerei?” Kiara memundurkan sedikit kursinya kemudian memutar tubuh menatap Dewa dengan menyilang kaki. Memperlihatkan juntaian kaki jenjang mulus dan membuat Dewa menelan ludah.
“Jangan mancing, Ki. Tuh kaki masukin lagi ke dalam meja!” pinta Dewa tidak mengacuhkan pertanyaan Kiara. Ia hanya malas menjelaskan mengenai masa lalunya kepada siapapun. Apalagi, mantan istrinya juga menjadi salah satu sebab, gagalnya Dewa mendapatkan Hening kala itu.
Kiara terkekeh, kembali memutar tubuhnya ke tempat semula. Pagi ini, Kiara memang hanya memakai kaos Dewa tanpa memakai dalaman sama sekali sejak semalam karena ia cuci dan masih di jemur di kamar mandi.
“Wa, aku … bisa pinjem duit gak? Nanti kalau dapet kerja, aku balikin, tapi nyicil. Sumpah, Wa, aku gak bawa apa-apa kecuali baju yang ku pake semalam.” Kiara berusaha menebalkan wajah kali ini, mau tidak mau, ia harus bertahan hidup dan mencari keberadaan ayahnya secepatnya.
“Kamu jauh-jauh kuliah di London, dan balik sini gak punya apa-apa? gimana ceritanya?”
Lagi-lagi Kiara menghela, “Bukannya aku udah bilang kalau di usir semalam, mobil, apartemen, butik, bahkan perhiasan yang ada badan aku di suruh lepas sama mama.”
Dewa memasukkan potongan omlet terakhirnya, lalu berdiri menuju lemari pendingin. “Kamu, ada buat salah? sampai segitunya.”
“Aku gak mau dijodohin, Wa. aku capek! dari kecil selalu nurutin mama. Sekalinya aku berontak, mala diusir gini. Mana surat-surat sama ijazah semua di rumah, gimana mau ngambil? Bisa-bisa dikurung di kamar, kalau aku balik!” tutur Kiara menerima segelas s**u yang baru saja Dewa ambil dari lemari pendingin dan menuangkannya ke dalam gelas.
“Terus, rencanamu apa, habis ini?” Dewa kembali mengitari meja dan duduk di tempat semula, di samping Kiara.
Kiara mengangkat kedua bahunya sekilas. “Mau cari ayah aku dulu, Wa,” memutar tubuhnya kembali menghadap Dewa. “Bisa tolongin aku gak, nyariin ayah aku?”
Dewa menatap wajah Kiara, berusaha untuk tidak menjatuhkan tatapannya pada paha mulus yang tersaji di hadapannya. Sungguh, jika tidak memandang ia pernah berteman dan mengenal dekat Kiara selama tiga tahu, Dewa akan menyatukan dirinya saat ini juga dengan wanita itu. Membuat Kiara menjeritkan namanya berulang-ulang.
“Ayah kamu, masih di Jakarta?” jakun Dewa pun sudah terlihat naik turun. Kiara benar-benar menguji imannya saat ini.
“Masih, beliau guru. Nanti aku lihat beliau terakhir ngajar di sekolah mana, ada di hapeku soalnya,” Kiara lalu meletakkan tangannya di atas paha Dewa. “Bukannya aku mau ngerepotin kamu, Wa. Tapi … aku udah gak punya siapa-siapa lagi. Aku gak mungkin minta tolong sama Emiko atau papanya, kan?”
Dewa mengangguk paham, dan merasa sedikit menegang. “Entar aku suruh asistenku buat nyari, chat aku aja entar tempat kerjanya. Dan tolong tanganmu, Ki. Aku gak mau tanggung jawab kalau ada yang bangun.”
Kiara tergelak, menarik tangannya dari paha Dewa. Lalu melanjutkan sarapannya. “Dasar duda gatel, baru gitu aja udah bangun!”
“Lama gak nyelup, harap maklum!” timpalnya santai.
“Salah sendiri, semalem ditawari lembur pake sok-sokan nolak.”
Dewa menarik napas dan menahannya sejenak. “Itu karena kita temen, Ki. Aku gak mau ngerusak hubungan pertemanan yang ada. Kalau kamu sama aku semalam lembur, hubungan kita pasti jadi aneh ke depannya. Mending pake tangan deh di kamar mandi!”
Kiara sudah tidak mampu menahan tawanya, Ia tergelak hingga kepalanya terhempas ke belakang. Dewa dari dulu memang selalu jujur seperti itu jika berbicara kepadanya. Toh, Kiara tidak punya teman, jadi mungkin Dewa menganggap, kalau apapun yang dikatakannya kepada wanita itu, tidak akan bocor ke mana-mana.
“Emang enak?” ledek Kiara lalu kembali tertawa untuk meledek Dewa.
Tangan Dewa langsung menoyor kepala Kiara tapi wanita itu tetap saja tertawa mengejeknya.
“Habisin tuh sarapan, terus cuci piring,” titah Dewa yang akhirnya ikut terkekeh bersama dengan Kiara. Ada sesuatu yang berdesir di hatinya pagi ini, ketika melihat tawa lepas Kiara yang tanpa beban sama sekali.
Cantik! Kiara terlihat sempurna jika dipandang dari segi mana pun. Namun, tetap saja Dewa tidak ingin merusak pertemanan mereka dengan sebuah hal romansa, yang nantinya akan menjadi rumit bagi mereka berdua. Bahkan untuk sekedar melakukan hal sejenis friends with benefit pun dengan Kiara, Dewa masih harus berpikir ulang.
Dari pada ia harus berlama-lama bersama Kiara dan pikirannya semakin menjelajah dengan liar, Dewa memutuskan untuk berangkat lebih pagi ke kantornya hari ini. Membuang semua imajinasinya sebagai pria normal yang selalu saja ingin mereguk kepuasan bersama lawan jenisnya.
“Aku ke kantor dulu, Ki. Kamu di rumah aja dulu. Kalau ada perlu telpon aja, entar siang aku pulang, kita makan siang di luar.”
“Oke!”