Makasih, Wa

1109 Words
Sesuai janji Dewa tadi pagi, pria itu pulang untuk menjemput Kiara makan siang bersama. Mobil yang dikendarai Dewa pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan terbesar di ibukota. Bukan tanpa alasan ia mengajak Kiara ke sebuah mall, Dewa ingin membelikan beberapa pakaian untuk wanita itu, selama belum mendapatkan pekerjaan yang jelas. Setelah makan siang singkat mereka selesai, Dewa langsung mengajak Kiara ke sebuah butik. Langkah Kiara kontan terhenti tepat di luar butik. Menatap Dewa dengan pipi yang sengaja digembungkan sebentar. “Ngapain ke sini?” “Beli baju.” “Buat siapa?” “Buat kamu.” Dewa meraih tangan Kiara dan menariknya untuk masuk ke dalam butik. Namun, Kiara menarik balik tangan Dewa sehingga keduanya masih berdiri di depan toko. “Buat apa?” tanya Kiara yang tidak ingin lagi merepotkan temannya itu. “Aku gak tahan, Ki, kalau lihat kamu mondar mandir di rumah cuma pake kaosku doang.” Dewa sedikit menunduk untuk berbicara pelan di telinga Kiara. “Apalagi kamu gak pake daleman, otak aku traveling lah, ke mana-mana.” Kiara tergelak hingga kepalanya terhempas ke belakang. Kemudian mendorong pelan dadà Dewa agar menjauh darinya. “Salahin otak kamu kalau gitu sih! Kamu merem aja, gak usah lihat aku kalau lagi deket kamu.” “Kalau aku merem, entar malah bahaya, bisa salah megang akunya! Kan, jadi enak!” Kali ini bukan hanya Kiara yang tergelak, tapi Dewa juga. Tapi, setelah itu keduanya tidak jadi memasuki butik ternama. Kiara meminta Dewa agar membelikannya pakaian di departemen store biasa. Selain harganya lebih murah, Kiara juga bisa dapat membeli beberapa pakaian sekaligus. Rasa malunya saat ini sudah ia buang jauh-jauh. Lagi pula, suatu saat juga ia berjanji kalau akan mengganti setiap rupiah yang sudah dikeluarkan Dewa untuknya. Ia tidak ingin menikmati keberuntungan ini begitu saja. “Jadi … ukuranmu 36 … B?” Dewa melihat pakaian dalam yang baru saja dipilih oleh Kiara dan disisihkannya ke samping. Tanpa rasa malu dan sungkan, Dewa ikut berdiri di samping tumpukan pakaian dalam yang ditata sedemikian rapi di sebuah kotak persegi. “Hmm,” ujar Kiara sembari mengangguk. Masih sibuk mencari ukuran dan warna yang sekiranya cocok untuknya. “Kenapa tanya-tanya? Gak percaya? Pegang aja kalau gak percaya.” Dewa kontan mengusap wajahnya ke arah bawah. Kiara benar-benar menguji keimanannya sebagai seorang pria. Dewa bahkan sangat sangsi bisa tahan hidup berdua saja dengan Kiara ke depannya. “Kamu, suka cewek pake thong atau g-string, Wa?” Pertanyaan apa lagi ini, batin Dewa. “Gak pake apa-apa lebih asyik sih, Ki. Tapi kalau buat manjain visual, aku sih mana aja, toh habis itu juga gak dipake.” Kiara terkekeh kecil untuk menanggapinya. “Kalau gitu aku ambil dua-duanya aja ya. Cari yang sepasang gitu kan, ya!” “Aku … tinggal ke toilet dulu.” Otak Dewa sudah benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Bayangan tubuh Kiara menggunakan jejeran pakaian dalam yang berjejer di sana, membuat kepala Dewa berdenyut. Berusaha mengalihkan sebuah hasrat, dengan meninggalkan Kiara sejenak, untuk menyegarkan otaknya yang sudah berlari kian kemari. “Lama juga gak papa, aku bisa maklum.” Kiara menggigit lidahnya kemudian. Berusaha mengejek Dewa dengan menyinggung apa yang hendak pria lakukan di toilet nanti. Kiara memang sudah keterlaluan ketika bercanda seperti ini. -- Tadi siang, sebelum Dewa mengantarkan Kiara pulang ke rumah. Mereka mampir sebentar ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan. Kiara berencana memasak makan malam dan sarapan untuk Dewa selama ia menumpang di rumah pria itu. Dan malam ini, Kiara menyiapkan sup iga untuk Dewa. Bisa sekalian untuk sarapan besok pagi. Dewa menghidu dalam-dalam aroma sedap yang menguar di dalam rumah ketika baru keluar kamar setelah selesai membersihkan diri. Bergegas pergi ke dapur dan mendapati Kiara telah menuang sup ke dalam mangkuk besar. “Jadi masak sup iga, Ki?” Dewa menarik sebuah kursi di meja makan dan duduk di sana. Sudah tersedia dua piring kosang yang tertata rapi di atas meja beserta segelas air putih. “Jadi dong, udah jadi dari tadi sore kok, ini cuma manasin doang. Kan enak kalau dimakan pas panas-panas.” Dari baunya saja, Dewa hampir meneteskan air liurnya. Apalagi saat Kiara meletakkan satu mangkuk besar sup di hadapannya. “Aku, boleh makan gak pake nasi, gak, sih?” tanya Dewa menatap Kiara yang tertawa di detik selanjutnya. “Udah lama gak makan masakan rumah.” “Terserah kamu, lah. Ini juga semua kamu yang beli. Aku cuma masakin doang.” Kiara ikut menarik kursi di samping Dewa dan menjatuhkan bokongnya di sana. “Moga cocok di lidahmu deh, Wa. soalnya aku jarang masak ginian waktu di London.” Dewa mengambil sup iganya dengan amat antusias dan menyicipnya sebentar. “Enaak, gak nyangkan, bisa masak juga!” “Yee!” Kiara mencubit kecil otot perut Dewa hingga membuat pria itu sedikit berjengit. “Aku hidup sendirian di London, kalau gak bisa masak, habislah uangku lama-lama karena beli-beli terus.” “Hmm,” Dewa sudah tidak lagi memedulikan ucapan Kiara. Sibuk menyantap iga dengan menggunakan tangannya. Sesekali ia menggunakan sendok hanya untuk menyeruput kuah hangat yang sungguh menggoda lidah. Kiara pun akhirnya mengambil makanan untuk dirinya sendiri dan makan dalam diam, karena Dewa sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Pria itu benar-benar menikmati masakan Kiara malam ini. “Oia, Ki, minggu depan, aku ada kunjungan ke Berlin, misal, sampai hari itu, orangku belum bisa nemui papa kamu … kamu tinggal di hotel dulu ya, selama aku pergi.” Kiara mengambil piring kosong Dewan dan meletakkannya di atas piringnya. “Aku gak bisa tinggal di sini? kalau di hotel—” “Gak usah mikirin biayanya,” potong Dewa. “Soalnya kalau aku tugas, ni rumah ada dalam pengawasan papa. Bisa berabe kalau pesuruhnya lihat kamu di sini. Gak mungkin, kan, gue punya asisten rumah tangga kayak kamu,” kekeh Dewa. “Utangku tambah banyak kayaknya, ya!” Kiara balas terkekeh garing. “Andai butikku gak diambil, Wa. Aku pasti gak ngerepotin kamu. Aku masih bisa tidur di sana, sama dapet penghasilan.” Kiara memikirkan nasib butik yang telah ia rintis selama ini. Siapa yang mengelola dan dari mana nantinya mereka memasok bahan baku. Para customer setianya, semuanya. Ahh! Harusnya ia punya rekening terpisah kalau tahu akan begini. Selama ini, Kiara hanya memakai rekening lama, yang pernah sang ibu buatkan untuknya. Tidak pernah mau merepotkan diri pergi ke bank dan mengurus t***k bengeknya. Dan akhirnya, tinggal penyesalan saja yang ada. “Kamu bisa rintis butik lagi dari awal, KI. Kamu pasti punya customer tetap yang bisa kamu hubungi, branding sedikit-sedikit. Entar deh, kalau aku pulang dari Berlin aku bantuin.” Kiara tidak tahan lagi untuk tidak memeluk Dewa. Mengalungkan tangannya pada leher pria itu dan membuat tubuh Dewa menegang. “Makasih, Wa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD