Bagian 3

1433 Words
"Huekk_" Meylia menutup mulutnya kemudian bergegas menuju wastafel. Entah kenapa setelah belanja tadi, perutnya mendadak mual dan kepalanya sedikit pusing. Meylia terus berusaha memuntahkan isi perutnya namun hanya cairan bening yang keluar. "Ugh" Meylia menyentuh perutnya kemudian menatap beberapa sayur yang belum selesai ia potong. Sepertinya ia tidak sanggup lagi meneruskan masakannya, biarlah nanti ia beli makanan di luar saja. Karena terlalu lelah untuk naik ke lantai atas, Meylia memutuskan untuk berbaring di sofa ruang tamu. "Hahhh_ enaknya"Gumam Meylia begitu tubuhnya berbaring di sofa, namun tidak berlangsung lama dering telpon membuatnya kembali bangun. Meylia menatap ponselnya kemudian tersenyum manis saat mengetahui siapa yang menelponnya. Jempolnya dengan cepat menggeser tombol jawab. "Assalamualaikum, mas" "Waalaikumsalam, sayang. Kamu lagi apa?" Meylia tersenyum tipis."Lagi rebahan mas, kepalaku pusing." "Pusing?" Terdengar nada kaget dari seberang sana. "Pusing kenapa? Kamu sakit?" "Empp_ kayaknya cuma masuk angin deh mas, soalnya perutku juga mual." "Mual? Sejak kapan? Kok kamu nggak bilang mas?" "Mas kan kerja, lagipula mualnya nggak parah kok mas. Jadi mas nggak perlu khawatir." "Hahh_Ya sudah, mas ke sana sekarang___" "Ehh_ nggak usah mas. Aku baik-baik aja kok." "Mas nggak mau berdebat, pokoknya mas ke sana. Setelah itu kita ke dokter." "Mas _ehh_ nggak__" Tutt "Ih_ mas Rian selalu begitu, harusnya tadi aku nggak bilang kalau lagi sakit." Ucap Meylia merasa bersalah. Pasalnya sang suami pasti meninggalkan pekerjaannya untuk datang menemui dirinya. Benar saja, dua jam kemudian mobil sang suami sudah tiba di depan rumah. Meylia yang memang sudah siap langsung keluar dan masuk ke dalam mobil agar mereka bisa langsung berangkat menuju rumah sakit. "Masih mual, sayang?" Tanya Rian lembut dengan senyum tipis. Pasalnya saat mendengar kata mual dan pusing pikirannya sudah berkelana kalau mungkin saja istri keduanya itu tengah hamil muda. Meylia menggangguk pelan sembari memijat kepalanya."Mual banget mas, sampai tadi aku nggak jadi masak." Adu Meylia membuat Rian yang sedang menyetir langsung melirik sekilas istri mudanya itu. Wajah Meylia memang sangat pucat, keluhannya juga persis seperti ibu hamil. "Memang harusnya kamu nggak masak lagi, sayang. Biar nanti mas cari orang untuk bantu-bantu kamu di rumah." Ucap Rian membuat Meylia menolak tegas keputusan suaminya itu. "Jangan mas, mas kan tahu aku nggak suka ada orang lain di rumah kita." Ucap Meylia membuat Rian menghela napas. Istri simpanannya itu memang sangat sulit dimengerti. Bukankah ada pekerja di rumah akan sangat membantu. Terlebih jika wanita itu benar-benar hamil. Rian tentu tidak ingin Meylia kelelahan saat hamil. "Jangan membantah, sayang! Lagipula harus ada yang menemanimu saat mas tidak ada." Tegas Rian membuat Meylia ingin melontarkan kalimat penolakan lain namun langsung dihentikan."Itu sudah keputusan mas." Tiba di rumah sakit, Rian langsung menggandeng istrinya itu menuju ruangan sahabatnya, Agus Gunawan yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Sahabat yang tentu saja mengetahui tentang kehadiran Meylia dihidupnya. "Jadi_ dia adalah Meylia?" Rian mengangguk lalu merangkul pinggang Meylia."Aku sudah memberitahumu tadi kan? Aku rasa kau sudah mengerti maksudku." ucap Rian membuat Agus tertawa. "Tentu saja. Tapi kenapa kau begitu tidak sabaran, inikan bukan kabar bahagia pertama yang akan kau dapatkan." Ejek Agus yang langsung mendapat tatapan tajam dari Rian. Sedang Meylia hanya diam tak mengerti. Kabar bahagia apa maksudnya?. Tak ingin membuang waktu, Agus segera melakukan tugasnya. Memeriksa apakah istri kesayangan dari sahabatnya itu tengah mengandung atau tidak. Padahal menggunakan alat tes kehamilan sudah cukup tapi sepertinya sahabatnya itu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri. "Rian_istrimu__" "Cepat katakan! Meylia hamil kan?" Potong Rian dengan nada antusias membuat Agus diam sedang Meylia langsung bereaksi. "Mas pikir aku hamil?"Tanya Meylia membuat Rian menatap istrinya itu. "Iya sayang. Mual dan pusing adalah tanda-tanda wanita sedang hamil." Ucap Rian lembut sembari mengelus kepala Meylia. "Tapi aku tidak hamil."Cicit Meylia pelan membuat Rian tersenyum. "Mas hanya memastikannya, sayang." Ucap Rian lembut. Sepertinya Meylia merasa tertekan dengan keantusiasannya tentang kehamilan. Meylia hanya diam kemudian memalingkan wajahnya sedang Rian langsung menatap sahabatnya. Satu kabar bahagia pasti akan langsung menciptakan senyum di bibir merah istrinya. Agus menghela napas lalu menggeleng pelan membuat Rian langsung mengusap wajahnya kasar. Ia terlalu terlena tentang keinginannya memiliki anak dengan Meylia hingga ia lupa untuk menjaga perasaan dari wanita yang ia cintai itu. "Hiks_" Rian langsung menatap ke arah Meylia saat mendengar sebuah isakan. Sedang Agus langsung berlalu dari sana membiarkan pasangan suami istri itu bicara. "Sayang_"Panggil Rian lembut kemudian menarik Meylia ke dalam pelukannya. "Hiks_maaf."Ucap Meylia pelan membuat Rian semakin merasa bersalah. Ia lebih senang jika Meylia marah dan memukul dirinya dibanding dengan mendengar suara tangisan dan permintaan maaf. "Mas yang harusnya minta maaf, sayang. Maafkan mas yaa?" ucap Rian lembut kemudian beberapa kali mendaratkan kecupan di kening Meylia. "Mas" Panggil Meylia sembari meremas kemeja Rian setelah ia tenang. "Iya sayang?"Tanya Rian lembut sembari terus mengusap punggung Meylia. Sedang Meylia tengah menyiapkan mentalnya untuk mengatakan hal ini. "Ada apa sayang? Katakan saja!" Pinta Rian saat melihat gelagat sang istri yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Meylia menguatkan tekadnya lalu menatap wajah sang suami."Aku ingin melakukan pemeriksaan, mas." Ucap Meylia tanpa keraguan membuat Rian kaget. "Sayang_ mas rasa tidak perlu melaku__" "Perlu mas. Itu perlu. Setidaknya jika memang tidak bisa maka aku tidak akan terus berharap dan mas juga tid__" "Pssttt__ jangan katakan apapun lagi! Atau mas akan marah." Potong Rian lalu melepas pelukannya. Meski apapun yang terjadi ia tidak akan membiarkan Meylia melakukan pemeriksaan. Ketakutan akan hasil yang mungkin akan memutus harapannya tidak lebih besar akan ketakutannya atas hancurnya hati Meylia nanti. Bagaimana jika hasilnya tidak seperti harapan mereka, bukankah Meylia akan menjadi orang yang paling hancur. "Mas, aku mohon!"Ucap Meylia memelas. "Dengar sayang_ suatu saat kau akan hamil. Mas yakin akan hal itu." Ucap Rian berusaha menahan diri untuk memarahi Meylia atas permintaan konyol itu. Meylia menggeleng lemah dengan air mata yang kembali membasahi wajahnya. Kenapa suaminya sangat keras kepala. Padahal ia hanya ingin kepastian. "Aku rasa istrimu benar."Ucap Agus yang tiba-tiba masuk membuat Meylia memalingkan wajahnya yang dipenuhi air mata sedang Rian langsung menatap tajam sahabatnya itu. "Jangan ikut campur!"Tegur Rian marah membuat Agus mendekati sahabatnya itu. "Aku mengatakan ini untuk kebaikan istrimu juga. Jika setelah dilakukan pemeriksaan dan terdapat ada masalah yang membuat istrimu sulit mengandung bukankah kita bisa mencari solusi. Maksudku adalah sekarang teknologi sudah sangat maju, bahkan__" "Baiklah. Aku rasa kau benar. Aku dan Meylia akan menjalani pemeriksaan secara keseluruhan."Potong Rian membuat Agus menggangguk sedang Meylia langsung menatap sang suami. "Tapi mas tidak mungkin bermasalah."Ucap Meylia serak. "Tidak. Bukankah kalian berdua yang ingin anak, maka kalian berdua harus menjalani pemeriksaan." Ucap Agus. Lagipula sahabat bucinnya itu tidak mungkin membiarkan istrinya menjalani pemeriksaan itu sendiri. Jadi dari pada berdebat lebih baik dengan cepat ia melakukan tugasnya. Setelah serangkaian tes kesuburan yang mereka lakukan. Rian dengan cepat membawa Meylia pulang. Di dalam otaknya sudah dipenuhi berbagai rencana untuk membuat Meylia kembali tersenyum. Namun semua rencana itu langsung buyar saat Meylia membuka mulutnya. "Mas_ aku ingin pulang ke rumah mama untuk beberapa hari." Tentu saja Rian menolak dengan keras namun tatapan Meylia akhirnya meluluhkan hatinya juga. Mungkin saja dengan tinggal bersama orang tuanya beberapa minggu akan membuat Meylia bahagia dan melupakan kejadian hari ini. Karena pikiran itulah kini Rian sedang mengemudikan mobilnya kembali ke rumahnya dan Elin. Tentu saja setelah mengantar Meylia dan berpamitan kepada kedua mertuanya. Tiba di rumah, Rian langsung masuk ke dalam kamar. "Loh mas pulang?" Tanya Elin yang sedang menyisir rambut. Pasalnya bukankah sang suami harusnya ada di luar kota. Rian mengangguk kemudian meletakkan tas kerjanya lalu melangkah menuju ranjang. Hari ini rasanya ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Namun harapannya untuk beristirahat kandas saat Elin berbaring disampingnya. "Mas capek banget ya sampai aku dicuekin?" Tanya Elin sembari memeluk tubuh suaminya. Rian menghela napas. Hasil pemeriksaan akan keluar dua minggu lagi. Meylia juga meminta izin untuk tinggal di rumah orang tuanya dua minggu. Waktu dua minggu sepertinya cukup bagi Rian untuk liburan bersama Elin dan ketiga anak mereka. Liburan yang ia lakukan hanya agar Elin tidak curiga karena setelah ini ia akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Meylia. "Mas"Panggil Elin karena suaminya nampak melamun. "Hm?" "Mas ngelamunin apa?"Tanya Elin membuat Rian menggeleng lalu mengelus perut Elin lembut. "Mas sedang berpikir kira-kira tempat liburan seperti apa yang kau dan anak-anak kita inginkan." ucap Rian membuat Elin tersenyum. "Mas nggak bohong kan?" "Iya.. Kamu mau kemana?" tanya Rian membuat Elin menyentuh perutnya. "Karena aku sedang hamil, kita semua tidak mungkin bisa pergi jauh. Apalagi Mia juga masih kecil__" "Jadi?"Tanya Rian menunggu jawaban. "Bagaimana jika kita pergi ke rumah orang tuaku. Akhir-akhir ini aku sangat merindukan mereka." ucap Elin membuat Rian mengangguk. Itu justru bagus karena Elin pasti akan fokus pada keluarganya. "Besok kita jemput Lia dan Adel di rumah mama, setelah itu kita langsung berangkat." putus Rian membuat Elin tersenyum senang. "Terima kasih mas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD