Bagian 4

1148 Words
Rian meminum kopinya lalu menatap kedua putrinya yang sedang bermain di halaman rumah mertuanya. Ya, ia saat ini tengah berada di rumah Elin. Mereka baru saja tiba beberapa jam yang lalu. "Hi bang." Rian menoleh lalu mengangguk saat melihat adik iparnya. Reza adalah satu-satunya saudara yang Elin miliki. "Aku baru tahu kalau mbak Elin hamil lagi." Ucap Reza sembari duduk di samping kakak iparnya. "Ya_baru dua bulan."Ucap Rian seadanya membuat Reza tersenyum tipis. "Abang beruntung loh bisa dapetin mbak Elin. Soalnya mbak Elin itu nggak pernah dekat sama laki-laki. Pertama dekat ya sama abang terus nikah." Ungkap Reza membuat Rian mengangguk singkat. Kalimat inilah yang dulu membuatnya menikahi Elin. Dan anehnya kenapa bisa adik iparnya itu mengatakannya dengan sorot mata penuh keyakinan. Sangat berbanding terbalik dengan kenyataan aslinya. Meskipun ia sendiri tidak pernah melihat secara langsung Elin bersama pria lain atau mungkin Elin memang tidak pernah bersama pria lain setelah menikah. Namun tetap saja tubuh Elin membuktikan bahwa wanita itu pernah dekat dengan seorang pria bahkan sekedar dari kata dekat. "Bagaimana kuliahmu?"Tanya Rian mengalihkan pembicaraan. "Tahun ini sudah selesai kok bang dan tadi mbak Elin bilang kalau aku bisa bekerja di kantor abang." Jawab Reza membuat Rian diam. Kenapa tiba-tiba Elin mengatakan hal itu. Bukannya dulu Elin bilang bahwa Reza akan mencari kerja di kota ini agar tidak meninggalkan orang tua mereka. "Apa abang keberatan?"Tanya Reza membuat Rian menggeleng. "Selesaikan kuliahmu dulu baru kita bicarakan lagi." ucap Rian membuat Reza mengangguk pelan. Malam harinya, setelah makan malam Rian langsung memasuki kamar dan membuka laptop miliknya. Memeriksa beberapa laporan bawahannya kemudian menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Agar nanti begitu ia menjemput Meylia, pekerjaannya tidak banyak lagi. "Mass__" Rian memejamkan matanya sejenak begitu mendengar suara Elin. "Ada apa?"Tanya Rian menatap Elin yang mendekatinya dengan secangkir teh. "Mas kerja? Bukannya kita ke sini karena mas tidak sibuk." Tanya Elin setelah meletakkan segelas teh di atas meja. "Ada beberapa hal yang harus mas selesaikan." ucap Rian kemudian kembali fokus menatap laptop miliknya sedang Elin langsung mengambil posisi di belakang Rian kemudian mengulurkan lengannya memeluk sang suami. "Banyak banget ya mas?" tanya Elin manja. "Lumayan." "Yahh_ kapan dong kita bisa mesra-mesraan."Keluh Elin membuat Rian menghela napas lalu berusaha melepas lengan Elin yang memeluk lehernya. "Ada sesuatu yang ingin mas tanyakan."Ucap Rian lalu menarik Elin untuk berdiri di depannya. "Ada apa mas?" tanya Elin bingung. "Apa kamu mengatakan pada Reza untuk bekerja di kantor mas?" Tanya Rian membuat Elin mengangguk. "Kenapa?"Tanya Rian lagi membuat Elin mengelus wajah sang suami. "Ya_ supaya bisa ngawasin mas." ucap Elin dengan nada bercanda namun Rian malah membalas dengan tatapan tajam. "Haha_ bercanda mas." Elin segera menjelaskan."Supaya nanti waktu aku perlu mas, mas bisa pulang dan Reza bisa gantiin mas. Lagipula Reza anaknya jujur kok mas. Dia nggak mungkin ngecewain mas." Ucap Elin dengan wajah serius membuat Rian diam. Ia ingin berpikir aneh atas keputusan Elin tapi nampaknya wanita itu mengatakan yang sebenarnya. "Hm_" Gumam Rian lalu menatap jam. "Apa anak-anak sudah tidur?" Elin menggeleng. "Mereka masih main sama mama. Lagipula ini baru jam 8, mas." Rian mengangguk. "Kalau begitu, kamu yang harus tidur. Ingat! kamu sedang hamil dan harus banyak istirahat." ucap Rian. Sebenarnya ia hanya ingin Elin tidak menganggunya. Elin menggeleng. "Tapi mas, ini__" "Mas akan menyusul setelah pekerjaan ini selesai."Potong Rian tegas membuat Elin mau tak mau menurut lalu melangkah menuju tempat tidur sedang Rian kembali melanjutkan pekerjaannya. Empat jam berlalu, namun Rian masih menatap laptopnya sepertinya ia memang ingin mengebut pekerjaannya. Baru saja ia ingin memeriksa email yang masuk, ponselnya tiba-tiba saja berdering. 'Agus' Rian menatap ke arah tempat tidur di mana Elin kini sudah terlelap. Namun untuk berjaga-jaga, siapa tahu Agus ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Rian beranjak dari kursi kemudian keluar dari kamar. Merasa tidak cukup, Rian memilih untuk menelpon balik sahabatnya itu di halaman rumah. Setelah memastikan keadaan sekitar, Rian buru-buru menelpon balik sahabatnya itu. "Ada apa?" "Kau percaya padaku, kan?" Rian menyerngit. "Tentu saja. Karena itu aku memberitahumu segalanya." "Bagus_ Rian aku ingin kau membawa ram__" Bukk "Tunggu sebentar!" Potong Rian yang langsung berbalik memeriksa siapa orang yang memukul pundaknya. "Reza_" Kaget Rian membuat Agus memahami situasi yang terjadi. Sepertinya ia harus menunda bicara dengan sahabatnya itu. "Kenapa abang kaget? Apa abang melakukan kesalahan?"Tanya Reza. sepertinya ia berpikir jika kakak iparnya sedang berselingkuh. Rian menggeleng."Tidak. Abang sedang bicara dengan dokter Agus, sahabat abang." "Lalu kenapa di luar dan tengah malam?" tanya Reza kembali membuat Rian menyodorkan ponselnya. "Sepertinya kau akan percaya setelah memeriksanya." ucap Rian membuat Reza menerima ponsel kakak iparnya itu lalu menaruhnya di telinga. "Hallo" "Hallo_ aku mendengar semuanya dan maaf jika kau salah paham. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan sahabatku dan kau pasti Reza adik ipar Rian. Iya kan?" Reza menatap kakak iparnya dengan pandangan malu kemudian menjawab."Iya.. " Reza mengembalikan telpon kepada Rian lalu meminta maaf. "Tidak masalah."Jawab Rian lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Agus. Sedang Reza langsung menjauh namun ia tidak masuk ke rumah. Ia masih menunggu kakak iparnya selesai bicara untuk meminta maaf. Sungguh tadi ia sangat gegabah. "Apa yang ingin kau katakan tadi?" tanya Rian setelah memberitahu Agus bahwa adik iparnya telah menjauh. "Aku ingin kau membawa sampel darah salah satu anakmu ke sini." "Untuk apa?" "Percaya saja padaku dan pastikan Elin tidak mengetahuinya." Rian berpikir sejenak kemudian menyetujuinya. Lagipula nanti ia akan tahu alasannya tapi tentu tidak sekarang mengingat adik iparnya sepertinya masih memperhatikan dirinya dari jauh. "Baiklah." Tutt Rian menyimpan ponselnya lalu mendekati adik iparnya. "Maaf bang_ tadi aku benar-benar gegabah." ucap Reza membuat Rian mengangguk. "Lupakan saja_ sekarang, ayo kita masuk!" Ajak Rian namun Reza malah menggeleng. "Sebenarnya tadi mbak Elin cerita sesuatu bang." ucap Reza membuat Rian tertarik. "Apa kakakmu membahas sesuatu tentang abang?" Reza mengangguk."Sepertinya mbak Elin curiga kalau abang punya selingkuhan, karena itu mbak Elin memintaku bekerja di kantor untuk mengawasi abang." Rian diam lalu menghela napas."Pikiran ibu hamil memang tidak bisa ditebak."Ucap Rian membuat Reza menggeleng. "Tapi mbak Elin sudah lama mencurigai abang." ungkap Reza membuat Rian diam seribu bahasa. "Aku mengatakan ini karena aku percaya kalau abang tidak mungkin selingkuh. Dan juga aku ingin abang meyakinkan mbak Elin. Kasian bang, mbak Elin sedang hamil dan tidak baik bagi ibu hamil punya banyak pikiran." Ucap Reza membuat Rian tersenyum lalu menepuk pundak adik iparnya itu. "Baiklah. Terima kasih telah memberitahu abang." Reza mengangguk."Berjanjilah abang tidak akan marah dengan mbak Elin karena ini." Rian mengangguk."Ayo kita masuk!" ucap Rian yang merangkul adik iparnya untuk masuk ke dalam rumah. Bukk Rian menutup pintu lalu melangkah mendekati Elin. Mendengar perkataan adik iparnya tadi membuat Rian justru bersemangat. Jika keberadaan Meylia diketahui maka tidak ada alasan lagi ia menutupinya. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Orang tuanya pasti akan membela Elin. Karena itu untuk berjaga-jaga, Meylia harus hamil dulu agar orang tuanya tidak punya alasan untuk memisahkan mereka. Karena orang tuanya walaupun sangat tegas namun akan langsung luluh dengan cucu. Mereka terlalu angkuh untuk membiarkan keturunan mereka lahir tanpa seorang ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD