Tanpa pedulikan perang

1131 Words
Perang di bagian utara dan barat terjadi sangat luar biasa. Semua pasukan dengan bersenjata lengkap. Dipimpin oleh pangeran kelima. Dia membunuh membabi buta. Perang yang begitu hebat. Dalam waktu singkat pengerah kelima berhasil membunuh hampir seperempat dari pasukan bersenjata lengkap milik lawan. Jumlah pasukan mereka kalah jauh. Tapi sosok pangeran kelima tidak bisa diragukan. Dia dijuluki sebagai dewa perang oleh kelima saudaranya. Sementara dirinya tidak pernah menyombongkan kekuatannya. Baju besi para prajurit tak menghalangi dia untuk membunuh semua prajurit. Banyak korban berjatuhan. Tergeletak di tanah, gurun itu penuh dengan darah segar yang membanjiri area gurun. Wajah Pangeran kelima penuh dengan Emosi Di melampiaskan semuanya pada pembunuh di depan nya. Semaiajn lama pernah semakin banyak korban yang berjatuhan. Di balik pohon besar seseorang mengintai mereka. sebuah taman yang tandus itu jadi saksi kemarahan dia saat ini. "Semua atur strategi ulang. Kita mundur beberapa langkah. Dan bentuklah formasi baru. Pasukan berkuda menyebar ke sisi kanan dan kiri. Bantulah lingkaran sentán." suara lantang menggema milik Achile Yu mulai membuat sebuah perubahan. Kali ini ini dia tidak menggunakan formasi pertahanan yang sama. Pasukan mereka lebih banyak. Tetapi, sebuah strategi baru yang dia miliki. Pasukan berkuda yang membuat lingkaran adalah pasukan khusus dengan kekuatan perang yang hebat. Mereka bisa membunuh empat sampai lima dan satu serangan. Sementara Achile Yu. Dia memang mengincar sosok pemimpin perang di depannya. Saat mengingat dia akan dihukum cambuk. Dia merasa semakin kesal. kaki ini rasa kesalnya sangat berlebihan. Dan, sebuah pertunjukan pernah ini dipersembahkan untuk Yinwa. Agar dia tahu, jika dirinya sendiri bisa menang tanpa bantuan darinya. "Hahaha... Harusnya aku yang menduduki singgasana raja. Tetapi kenapa dia, kenapa..." teriak Achile Yu. "Achile Yu... Kamu tidak akan pernah menjadi raja. Apa kamu bisa membunuhku merasa bangga?" suara dari pemimpin lawan yang berada di depannya. "Aku akan jadi raja?" Achile Yu penuh percaya diri. "Aku akan menertawakan kamu lebih keras. Bagaimana bisa kamu menjadi raja. Anak dari selir tidak akan pernah bisa jadi raja." Achile Yu menarik tali kudanya sangat erat. Mencoba mengatur emosinya yang penuh dengan kekesalan. Aura membunuh mulai merasuki tubuhnya. "Jangan banyak bicara. Sekarang lebih baik kamu menyerah. Atau aku akan persembahkan kematian kamu pada sang raja." "Silahkan! Karena aku tidak pernah takut mati. Aku merebut semua kekuasaan ini hanya ingin membebaskan semua penduduk dari kekejaman rezim sang raja yang angkuh." Achile Yu terdiam. Dia tersenyum tipis. Saya mengingat gimana jika dia bisa membantunya untuk menurunkan tahta sang raja. Kesempatan bagus jika bisa karena sama dengannya. "Kita tidak perlu ada pertumpahan darah lagi. Bagaimana kalau kita saling berbicara saja. Lebih baik berdamai dari pada bertempur." "Sayangnya saya tidak mau berdamai dengan anda." sang lawan semakin mengejeknya. Achile Yu masih meluapkan marahnya. "Semua pasukan, bentuk formasi burung." "Siap!" teriakan itu menggelar. Suara pedang menjadi biasa di telinganya teriakan semangat para prajurit begitu membara. Di bawah kobaran api yang memenuhi sekitar gurun. Semuanya bersemangat untuk perang. Meski dirinya yang harus berkorban. Tetapi, bukan Achile Yu jika dia tidak bisa melumpuhkan lawan. Dan membuat dia kerja sama dengannya. Kali ini Achile Yu memang sengaja mengumpulkan semua pasukan untuk memberontak nantinya. Karena pasukan dia lebih sedikit dari pada pasukan kerajaan. **** Sementara Yinwa. Dia acuh dengan peperangan yang ada. Tubuhnya gemetar takut jika mendengar perang. Dia punya pasukan, dan memilih membiarkan semua pasukannya yang bekerja. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Menyentuh pedang saja dia tidak tahu bagaimana caranya. Apalagi perang. "Kalau aku ikut perang. Aku bisa jadi keripik kentang di medan pertempuran. Selagi bis apakah otak kenapa juga harus pakai kekerasan." Bai Yu, duduk bersantai. Menuangkan teh dari teko ke dalam gelas. Dia mulai menyentuhnya. Memikirkan cara untuk bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu satu bulan lamanya. Waktu yang cukup singkat baginya. Dalam waktu satu bulan harus membereskan semuanya. Tubuh Yinwa hanya terdiam di kamarnya. Sosok selir yang baru saja di kamarnya tadi. Dia sudah pergi dari kamarnya. Merasa sangat kesepian. Dia mengingat lagi tentang selir itu. Yinwa bangkit dari duduknya, pikirannya masih sangat cemas Yinwa berjalan mondar mandir. Wajahnya terlihat sangat cemas. "Aku takut jika mereka semua meminta aku untuk perang." ucap Yinwa. Baru maju saja sudah terbunuh. Dan, semua akan tertawa saat aku mati di medan pertempuran. "Sitt... Apa yang aku lakukan? Jika aku terbunuh semua akan gagal. Tapi, jika aku imut perang. Sama saja aku menyerahkan semua nyawanya di medan pertempuran. Yinwa menatap ke arah meja, sebuah baju besi berada di atasnya. Di samping sebuah cambuk yang kini mengeluarkan asap hitamnya. Mata Yinwa melebar sempurna. Melihat hal yang tidak biasa baginya. "Berkali-kali aku melihat sebuah cambuk bisa mengeluarkan asap. Memangnya itu Cambuk apa?" tanya Yinwa pada dirinya sendiri. Wajah yang semula sangat kesal. Kali ini mencoba untuk mencoba mendaftar kembali. Yinwa sama sekali tidak pernah menyentuh pedang sebelumnya. "Lupakan saja. Sekarang yang harus aku pikir. Bagaimana cara melawan orang yang ada di kerajaan ini. Lagian, semua sama. Ibu permaisuri tadi sudah memang mengungkapkan tentang dirinya sendiri. Sekarang aku harus selidiki semuanya sendiri." "Tok... Tok.. Tok.." "Yang mulia, Selir Xia datang." suara keras seorang prajurit itu menyadarkan dia dari pelukannya. "Xia?" "Suruh dia masuk sekarang" "Baik, yang mulia." Yinwa mulai merapikan sedikit rambutnya. Dia mencoba melepaskan kalian yang sedari tadi membuatnya sangat gerah. Kajian yang begitu tebal membuat dia merasa risih. Baju besi, dan jubah yang panjang. Seakan dirinya tidak bisa bergerak leluasa. "Yang mulia." sapa Dia yang baru melangkahkan kakinya masuk. Dia menutup pintu kayu yang menjulang tinggi dengan ukiran klasik itu sangat rapat. "Maaf, menganggu waktu anda. Saya hanya ingin memberikan teh untuk anda. Tetapi, anda belum kembali. Teh sudah aku sediakan di atas meja." "Makasih!" Yinwa membalikkan nadanya. Tubuh kekar laki-laki itu membuat Xia melebarkan matanya. Dia menelan ludahnya saat melihat lekuk dadà bidang Yinwa. Meski dia sempat melihatnya dari. Tapi cahaya redup membuat dia tak bis melihat dengan jelas. "Maaf, yang mulia. Jika saya mengganggu anda. Saya akan pergi sekarang." Dia membalikkan badannya. Dia menikah cepat melihat sekelilingnya. Wajah yang begitu sempurna di padukan dengan tubuh yang indah. Tak kuasa dia melihatnya. "Kamu aku kemana," Yinwa memeluk tubuh Dia dari belakang. "Jangan pergi!" tubuh yang kini sudah dikuasai Bai Yu. Yinwa tak bisa berbuat apa-apa. Kali ini, Bai Yu bisa menyamar dengan sempurna sebagai Yinwa. Perasaan aneh mulai timbul pada Dia. Dia merasakan dirinya seolah tak mau lepas darinya. Perasaan nyaman, dan ingin sekali memeluknya. Yinwa menyentuh dagu Xia. Dia menariknya sedikit samping menatap ke arahnya. "Jangan pergi jika aku tidak memintamu untuk pergi. Hari ini, aku ingin kamu menemaniku lagi." Yinwa memberikan sebuah kecupan lembut di bibir Xia. Malam yang tertunda sebelumnya. Kini dia mulai melakukannya. Melempar sebuah pakaian di tubuh Xia. Malam panjang terjadi antara mereka. Dia merasa sangat nyaman bisa dengan Dia. Bermanja berdua. Saling memeluk di atas ranjang kayu. Mereka mulai berlari kasih, menikmati setiap irama tubuh. Hingga merasa lelah. Yinwa tertidur memeluk tubuh Dia. Bahkan dia tidak peduli lagi dengan hasil perang hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD