Kenyataan

1071 Words
'Terkadang, bukan berarti kita lahir dari rahim seorang wanita, maka kita akan sama sepertinya. Kita, adalah jiwa yang berbeda dengan pemikiran yang berbeda pula. Maka, adalah hal yang wajar jika kita menemukan sedikit masalah dengan wanita yang kita sebut "ibu" ' Ae Ri menatap pemandangan kota Seoul malam hari. Lampu-lampu jalanan tampak menerangi kota besar itu, ada sedikit rasa kesepian di dalam hati perempuan berambut panjang yang sedang berdiri di dekat jendela tersebut. Keluarga yang hancur, hidup yang sulit dan diri yang tidak bisa melakukan apapun dengan becus bukanlah suatu pilihan bagi Ae Ri. Andai saja dirinya bisa melakukan apapun dengan becus pastilah dirinya tidak akan terdampar dengan banyak laki-laki hidung belang. Pasti ia juga bisa membantu perekonomian keluarganya hingga tidak ada pikiran bagi Kyung Mi untuk menikahi musuh terberat ayahnya. "Aku harus berusaha lebih keras, agar Eomma tidak menikahi laki-laki itu," ujar Ae Ri yang bertekad membatalkan pernikahan yang penuh dusta itu. Namun, sedetik kemudian ia menendang kasar kursi yang berada di dekatnya hingga tergeser lumayan jauh. "Argh! Biarlah mereka menikah, aku tidak ada urusan! Aku akan hidup sendiri seperti tidak terjadi apa-apa," ucap Ae Ri sambil masih menatap kota Seoul yang tampak cantik itu dengan kelap kelip lampu yang menemani orang-orang di tengah kegelapan malam. Kring! Bunyi ponsel perempuan itu berhasil membuyarkan lamunannya tersebut. "Nomor siapa?" tanya Ae Ri dengan raut wajah penuh kebingungan, jarinya tampak ragu untuk menggeser tombol hijau di layar ponsel tersebut. Setelah cukup lama mempertimbangkan siapa yang meneleponnya malam-malam, akhirnya Ae Ri pun menggeser simbol berwarna hijau itu dan menjawab. "Ya, halo. Dengan Ae Ri di sini, ini siapa?" tanya Ae Ri dengan wajah serius. Sebenarnya perempuan itu sangat malas menerima telepon dari seseorang yang tak dikenal, namun sepertinya rasa penasaran sudah mengalahkan Ae Ri hingga memutuskan untuk menerima telepon tersebut. "Kamu sudah punya rencana?" tanya seseorang di seberang sana membuat Ae Ri menatap ponselnya kemudian terpaku. Perempuan itu yakin bahwa Han sudah mengetahui rencana pernikahan kedua orang tua mereka. "R-rencana apa?" tanya Ae Ri dengan sedikit gugup. Sebenarnya Ae Ri ingin berkata yang sejujurnya, namun entah mengapa yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah pertanyaan bodoh. "Kau tidak berubah Ae Ri, masih sama suka berbasa-basi dan menutupi sesuatu," ujarnya terkekeh. Ae Ri hanya bisa diam sambil mendengarkan perkataan Han. Benar kata pria itu bahwa dirinya terlalu naif dengan keadaan, selalu berusaha keras menyembunyikan suatu masalah dan masih sama bersikeras menangani semua masalahnya sendiri walaupun sebenarnya tak mampu. "Kau tidak lelah selalu menyembunyikan masalah? Berbagilah pada seseorang yang kau percaya, bukankah itu akan lebih baik?" tanya Han melanjutkan perkataannya sambil menatap langit malam kota Seoul begitupun Ae Ri yang sedang berada di jendela apartemennya menatap pemandangan Seoul di malam hari. Mereka adalah dua orang yang terpaksa menjadi asing karena keadaan yang sudah berubah. Cukup lama Ae Ri dan Han berdiam diri tanpa percakapan ditelepon itu, hanya ada suara napas yang sesekali menghela berat. "Tidurlah, besok malam aku tunggu di sungai Han seperti biasa," ucap Han kemudian menutup telepon itu tanpa izin dari Ae Ri. Perempuan itu hanya bisa menghela napasnya kesal, namun menuruti perkataan Han untuk beristirahat. Kasur adalah teman terbaik bagi Ae Ri saat ini. Melampiaskan rasa kesalnya dengan tidur adalah jalan terbaik bagi perempuan itu. "Oh ayolah Ae Ri, tidurlah dengan nyenyak tidak perlu memikirkan orang-orang yang membuatmu kesal," ucap Ae Ri dengan wajah memohon sambil menatap langit-langit kamarnya. Tidak ada suara yang menghiasi malam Ae Ri, ruangan itu terlalu sunyi untuk perempuan seusia Ae Ri. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya Ae Ri pun terlelap dan menyusuri pulau mimpi dalam kesunyian. "Apa kau bilang? Kau meminta Ae Ri untuk libur malam ini? Tentu saja itu hal yang sulit, Ae Ri harus bekerja malam ini, kecuali jika kau ingin membelinya lagi," ucap Jung Hwa dengan senyum licik dibibirnya. Han menatap Jung Hwa tajam. "Baiklah kalau begitu. Aku akan membelinya lagi," kata Han kemudian memberikan Jung Hwa satu gepok uang agar Jung Hwa mengizinkan Ae Ri untuk keluar malam ini. "Ini, katakan pada Ae Ri agar ke tepi sungai Han pada pukul tujuh," ucap Han kemudian pergi dari hadapan Jung Hwa setelah memberikan segepok uang. "Tenang saja, aku pasti akan mengatakannya! Jangan khawatir!" kata Jung Hwa setengah berteriak sambil tersenyum bahagia melihat uang yang berada ditangannya saat ini. Sementara itu Ae Ri mengerjapkan matanya perlahan menatap jam dinding yang menggantung di dekat pintu. Ternyata hari sudah siang. Ae Ri masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang entah masih di mana, bangun tidur dan teringat hal buruk yang akan dilakukannya hari ini bukanlah hal yang mudah untuk Ae Ri yang masih muda tersebut. "Ae Ri ayo semangat! Hadapi semuanya seperti kamu tidak mempunyai masalah apapun," ucap perempuan itu berusaha menyemangati dirinya sendiri. Rasanya memang sulit, namun inilah hidup yang sebenarnya. Ketika kita sudah menjadi dewasa, hal sulit pun harus dihadapi demi keberlangsungan hidup. Perempuan itu mengikat rambutnya sambil beranjak dari tenpat tidur ke arah dapur. Seperti biasa, meminum air putih ketika bangun tidur adalah pilihan yang tepat untuk menyegarkan otak dan membuat Ae Ri tetap waras. "Ada apa sih?" tanya Ae Ri yang baru saja membuka ponselnya yang dari semalam ia matikan. Ada puluhan chat dan juga telepon dari orang yang sama, Jung Hwa. Ae Ri hanya bisa menghela nafas, teman sekaligus mucikarinya itu memang senang sekali mengganggunya. Namun, sepertinya kali ini memang ada Jung Hwa berniat memberikan suatu kabar. "Ya, halo Jung Hwa. Ada apa?" tanya Ae Ri sambil menggosok giginya. Mata Ae Ri terbelalak ketika mendengar suara di seberang sana. "Dia membeliku lagi?" tanya Ae Ri sempat tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jung Hwa, perempuan itu terbatuk-batuk mendengar perkataan Jung Hwa. Han berani membayar agar dirinya menemani pria itu malam ini, padahal sebenarnya tidak ada alasan bagi Han untuk mengorbankan banyak uang untuk dirinya, terlebih Ae Ri tidak pernah bersetubuh dengannya. "Dua juta won? Hah, itu bukanlah jumlah yang sedikit. Kau jangan bercanda!" ucap Ae Ri mencoba meyakinkan diri bahwa Jung Hwa tidak main-main dengan perkataannya. "Apa untungnya jika aku berbohong padamu? Laki-laki itu memang memberiku uang dengan jumlah yang sangat banyak. Aku akan membagi uang ini padamu jika kamu menemaninya malam ini, bagaimana?" tanya Jung Hwa dengan wajah penuh harap yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh Ae Ri. "Tentu saja aku akan menemaninya, aku memang sudah ada janji dengan Han," ucap Ae Ri sedikit tersenyum. Jung Hwa sangatlah polos, padahal jika Han tidak membayarnya pun, perempuan itu akan tetap menemui Han sekaligus untuk melepas penat dan membicarakan soal kedua orang tua mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD