"Hanya perlu memandangmu, maka detak jantungku akan meningkat seratus kali lipat."
***
Jessy sedang duduk di ruang tamu bersama Vinze, mereka asyik menonton drama korea secara maraton. Ini sudah hampir sore hari, mereka memang tidak ada kelas sejak jam satu siang tadi.
"Pemeran utama wanita sangat mencintai prianya," komentar Jessy.
"Kau tahu, cinta dan bodoh itu beda tipis," balas Vinze.
Jessy termenung sejenak, teringat kembali perjumpaannya dengan si b******k yang memporak porandakan hati. "Kau benar, aku benar-benar bodoh," lirihnya tanpa sadar.
"Hey, aku tidak sedang berkata tentangmu, kita berbicara film." Vinze menegakkan tubuhnya menghadap Jessy.
"Ya, aku mengerti," ucap wanita itu sambil mencoba tersenyum, tapi semua orang juga dapat melihat bahwa itu hanya sebuah senyum kepura-puraan belaka.
"Kau memikirkan pria itu lagi?" tanya Vinze
"Tidak!"
"Kau berbohong."
"Vin …." Jessy menatap sahabatnya dengan lemah. "Jangan membahas pria itu lagi, kumohon!" sambungnya.
"Kau masih mencintainya?" Vinze tak menggubris permohonan Jessy, ini harus diselesaikan, ia tak mau sahabatnya itu terlalu lama memendam perasaan terlalu lama. Ya,belum lama ini Jessy sempat bercerita tentang pria yang masa lalunya di kota ini yang menemuinya kembali, tapi hanya sebatas itu, tak ada pembahasan lanjut tentang kisah ataupun perasaan sahabatnya itu saat ini.
"Tidak," sahut Jessy dongkol.
"Benarkah?" Vinze menyipitkan mata curiga.
"Te … tentu saja!"
"Mulutmu itu pintar sekali berbohong," cibir Vinze ketus.
Jessy memandang sahabatnya itu tak terima. “Aku tidak berbohong,” sangkalnya.
Vinze mengedikkan bahu. "Kemarin kau bertemu denganya lagi kan?"
"Ya!" Jessy menarik napas perlahan, lalu spontan menoleh saat teringat sesuatu. “Dari mana kau tahu?”
“Georgy,” sahutnya santai. "Lalu bagaimana?" tanya Vinze lagi.
"Bagaimana apanya maksudmu?" ucap Jessy malas.
"Kalian sedang membicarakan apa?"
"Tidak ada yang penting." Jessy menyandarkan punggung, menghela napas sambil mengingat hinaan kejam pria itu padanya.
"Berpelukan? Melepas rindu? Atau berciuman?" Vinze menaikan sebelah alisnya.
Pipi wanita itu bersemu seketika saat mengingat ciuman Liam kemarin. "Dalam mimpimu, Vin." Jessy ingin beranjak untuk menyembunyikan wajah memalukannya, tapi suara bel menginterupsi langkah kakinya.
"Kau mengundang seseorang?" Jessy bertanya keheranan, pasalnya jika Dawa ataupun Evan tak akan mau repot-repot menekan bel seperti itu.
"Tidak, biar kubuka.” Vinze melangkah menuju pintu.
Sementara Jessy yang merasakan haus di tenggorokan memilih pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Setelahnya, ia kembali ke ruang tamu dan mendapati Vinze sedang berdiri bersedekap dengan wajah garang menatap seseorang. Sayangnya, ia tidak dapat melihat wajah pria itu, sebab tubuh orang itu membelakanginya.
Jessy berjalan perlahan ke tengah-tengah ruangan agar dapat melihat lebih jelas pria yang sedang duduk dengan angkuh di sofa ruangan tersebut. Seketika ia terkejut menyadari pria dihadapannya itu adalah pria yang sama dengan yang ditemuinya kemarin sore.
"Kau mengenalnya? Dia mencarimu." Vinze menginterupsi keterkejutan sahabatnya, sementara pria itu tetap duduk menatapnya tajam.
"Uhm ... Ti ... tidak," jawab wanita itu terbata, kesulitan merangkai kata.
Vinze menyipitkan bola mata mengamati sepasang manusia di hadapannya ini, ia yakin ada yang tidak beres dengan mereka.
"Kau tidak mengenali tunanganmu sendiri?" desis pria itu tajam.
Vinze terkejut dengan penuturan sang pria, seketika itu ingatannya tertuju pada pria masa lalu Jessy yang tadi sempat mereka bahas.
"Oh, jadi kau adalah pria berengsek itu?" Vinze melipat kedua tangan di depan d**a.
Pria itu mengerutkan kening. "Pria b******k?" tanyanya tak percaya. Hey, wanita itulah yang b******k karena berani mendua dan meninggalkannya.
Sementara Jessy mulai gelisah, bahkan sedari tadi ia masih berdiri di tempat tanpa mau lebih mendekat.
"Yeah, pria berengsek yang membuat sahabatku sengsara empat tahun belakangan ini," sahut Vinze dengan sinis.
"Ah, jadi sahabatmu ini merasa sengsara? Aku tidak berniat begitu, tapi baguslah." Pria itu tersenyum puas.
Wajah Vinze terlihat emosi, dia hampir saja meledak kalau saja Jessy tidak cepat-cepat bertindak menarik pria itu hingga berdiri dan menyeretnya keluar rumah. Setelah sampai di luar, Jessy melepaskan tarikannya dan menatap pria itu tajam, sejenak ia menutup mata, bernapas untuk menetralkan emosinya.
Ketika ia merasa sudah cukup tenang dan membuka mata, tatapannya tak setajam tadi, ia memandang sendu pria di hadapannya. "Kau mau apa lagi? Bukankah aku sudah menuruti maumu?" Jessy bertanya pelan.
Tak ada jawaban yang terlontar dari bibir pria itu, hanya saja pandangannya tak pernah lepas dari wanita di hadapannya.
"Aku tidak mengganggu kalian lagi, aku berpura-pura tidak mengenalmu, lalu apa lagi?" tanya Jessy frustasi.
Masih tak ada jawaban dari pria itu.
Jessy menarik napas panjang sebelum berkata, "Jangan temui aku lagi, Liam. aku sudah melupakanmu."
"Kau tidak mungkin melupakanku, Hera!" desis pria itu dengan rahang mengetat tanda ia menahan emosi dalam-dalam.
"Kenapa tidak, Liam? Aku bukan gadis bodoh seperti dulu lagi," sahutnya, mendongak agar bisa beradu tatap dengan bola mata abu-abu yang selalu membuatnya terpesona.
"Karena kau mencintaiku. Sangat!" ucap Liam tegas, penuh percaya diri.
Seketika tubuh Jessy terasa kaku, menegang bagai di ketuk di bumi menggunakan palu. Tidak! Dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan pria ini. Ia bukan lagi Hera empat tahun lalu yang hanya bisa menangis ketika dicampakkan dengan kejamnya oleh pria di hadapannya ini. Dia sekarang berbeda, dia perempuan yang kuat.
Jessy berusaha tertawa ringan sambil menatap Liam yang masih menatapnya tajam. Perlahan ia maju mendekat ke arah pria itu, tangannya terulur ke wajah Liam, mengusap lembut rahang pria itu yang masih terlihat kaku.
"Perasaan bisa berubah kapan saja, Liam" ujar Jessy lembut, menyembunyikan tangisnya yang terus mendesak ingin keluar.
Liam mencengkeram pundak wanita itu kuat. "Tak akan semudah itu bagimu, Mahera!" desisnya geram.
Jessy tak menjawab, ia memalingkan wajahnya, enggan melihat mata Liam yang kini menggelap karena amarah. Pria itu benar, tak akan semudah itu menghilangkan perasaannya pada Liam. Tapi lebih tak mudah untuk tetap mempertahankan perasaan yang tak dihargai sama sekali.
"Jangan coba-coba membodohiku lagi, Angel," sambungnya lembut tapi penuh tekanan dan ancaman.
Astaga! Panggilan itu lagi. Sudah empat tahun berlalu tapi efeknya masih sama dahsyat di detak jantung Jessy yang tak mau berkompromi.
Bahkan, kemarin saat pria itu memanggilnya dengan sebutan itu, dia hampir saja kehilangan jantungnya karena berdetak terlalu kencang.
"Aku tak pernah membodohimu, kau pikir hanya kau pria di muka bumi ini? Masih banyak yamg lebih manusiawi darimu lagi, Liam, dan akan sangat mudah mencintai mereka."
Mata Liam kian menggelap, tatapannya menyiratkan kemarahan, bahkan rahangnya sudah sangat mengetat, menandakan ia benar-benar murka kali ini. "Sekali saja kau berdekatan dengan pria-pria sialan itu, kau akan melihatnya bernasib sama dengan selingkuhan sialanmu kemarin sore."
Jessy menatap pria itu ngeri, dia tiba-tiba teringat dengan pria di toko buku kemarin sore. Ah, kalau tidak salah namanya Geo. Apa yang dilakukan Liam pada pria itu?
"Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Jessy melotot.
Liam tersenyum miring. "Hanya peringatan kecil, karena mengganggu milikku," sahutnya santai.
"Astaga! Liam. Dia tidak tahu apa-apa. Lagipula aku bukan milikmu," pekiknya kesal.
"Tapi kau tunanganku," potongnya cepat.
"Kita sudah berakhir!"
"Aku tidak merasa pernah mengakhirinya."
"Aku sudah menyelesaikannya dengan ayahmu."
"Dengan bantuan si berengsek itu?" tanya Liam datar.
"Itu bukan urusanmu!"
"Kau bertunangan denganku, bukan dengan pria tua itu, jadi selesaikan denganku," ucapnya geram.
Liam memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya, memasang tampang setenang mungkin.
"Baiklah, Tuan Liam Peterson yang terhormat, pertunangan kita dibatalkan!" ucap Jessy sambil menggerakkan tangan ke udara tanda ia memutuskan pertunangan konyol itu.
"Permintaanmu ditolak, Nona," sahut Liam santai.
Jessy melongo, dia tahu tidak akan mudah menghadapi pria di hadapannya ini. "Apa maumu sebenarnya?" tanyanya geram. Wanita itu mulai kehabisan batas kesabaran, rasa-rasanya ia ingin mencekik pria tampan di hadapannya ini.
"Menempatkanmu di tempat yang seharusnya," ucap Liam dengan penuh keangkuhan.
Jessy tersenyum samar sebelum berucap, "Ini tempatku yang sebenarnya, Liam."
Pria itu mendengus tak suka. "Aku tak akan melepaskanmu lagi kali ini, ucapkan selamat tinggal pada kehidupan bebasmu, Jessy Mahera!"
Jessy membeku, mencerna dengan lambat arti dari kata-kata pria tersebut. Sementara Liam merapatkan tubuh tanpa permisi, mengusap lembut kepala gadis itu lalu mengecupnya lembut. Setelahnya ia melangkah pergi tanpa menunggu respon gadis itu yang mungkin akan mengumpatnya seperti kemarin.