"Kukira menatap wajahmu dapat membunuh rinduku, tapi nyatanya rindu itu diam-diam semakin menikam."
***
Suasana di kampus siang ini cukup ramai, kelas yang diikuti Jessy baru saja selesai. Ia berjalan cepat menuju kantin, di sana Dawa sudah menunggunya, mereka ada janji untuk ke toko buku bersama.
"Maaf aku terlambatt, sudah menunggu lama, ya? " Wanita itu duduk di hadapan Dawa yang sedang memainkan ponselnya.
Gadis keturunan India itu menggeleng sambil tersenyum. "Ayo kita berangkat!" ajaknya bersemangat.
Setelah sampai di sana, Dawa sibuk mencari buku yang ia butuhkan, sementara Jessy asyik melihat-lihat beberapa n****+ yang menarik perhatiannya.
"Jessy? Kau Jessy ‘kan?" Sapaan seorang pria membuat wanita itu menoleh. “Ya, aku Jessy, Kau siapa? Apa kita saling kenal?" tanya wanita itu heran.
"Aku satu kampus denganmu, kita juga beberapa kali berpapasan," ucapnya santai, "kenalkan, namaku Georgy," lanjutnya lagi.
"Kau tahu namaku dari mana?" Mata Jessy menyipit curiga pada pria di hadapannya ini.
"Dari temanmu yang hobi berteriak itu," sahutnya sambil tersenyum lebar.
Oh, ia tahu siapa yang dimaksud pria itu, Vinze. Gadis itu memang suka sekali menjeritkan namanya, tak peduli tempat apa itu, tetap saja ia berteriak.
"Kau sedang apa?" lanjut pria itu lagi.
"Mencari makanan!"
Geo tertawa mendengar jawaban wanita di depannya ini. "Kau mencari makanan di toko buku?" tanyanya geli.
"Itu kau tahu ini toko buku, lalu kenapa bertanya lagi? Sudah pastilah aku mencari buku," sahut Jessy sewot.
"Kau ini galak sekali," ucapnya sambil terkekeh.
Jessy memutar bola mata malas. "Aku duluan!" lanjutnya sambil pergi menyusuri rak-rak buku yang cukup tinggi untuk mencari Dawa.
"Kau sudah selesai?" tanya Jessy saat menemukan Dawa sudah menenteng beberapa buku di tangannya.
"Sudah, ayo setelah ini aku ingin membeli minuman, kau mau ikut atau menunggu di sini saja?" Dawa menggandeng tangan Jessy keluar dari toko buku besar itu.
"Aku di sini saja dulu, lagipula aku malas mengantri."
"Baiklah, tunggu di sini dan jangan ke mana-mana." Dawa berjalan menjauh dari sahabatnya itu.
Sekarang tinggallah Jessy sendirian di depan toko buku dekat pinggir jalan itu, ia mulai bosan saat hampir setengah jam Dawa belum juga memunculkan diri, ia pun berjalan pelan menyusuri jalanan sambil menunggu sahabatnya kembali. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, sebuah tangan kasar menyentaknya hingga badannya berbalik dan menubruk sesuatu yang keras, refleks Jessy menutup kedua matanya.
‘Astaga! apa ini tiang listrik?!’ pikirnya konyol. "Tapi kenapa rasanya nyaman sekali? Jika aku tahu sejak dulu bahwa tiang listrik senyaman ini, aku pasti akan memilih berpacaran dengan tiang listrik saja," gumamnya bodoh, lalu dengan perlahan Jessy membuka kedua matanya yang tertutup, seketika itu juga bola matanya membulat sempurna, spontan tubuhnya melangkah mundur beberapa kali.
"Apa yang kau lakukan di sini?" cicitnya ketakutan.
"Kencanmu berjalan lancer, eh?" Pria di hadapannya tersenyum sinis.
"Apa maksudmu?" tanya Jessy heran.
"Tidak usah berpura-pura polos, kukira kau sudah berubah, ternyata kau sama saja dengan wanita-wanita di club malam itu," ujar pria itu dingin.
Hati Jessy terasa diremas kuat, bagaimana mungkin pria di hadapannya ini menyamakan dirinya dengan wanita-w************n itu, ada perasaan marah dan kecewa yang dirasakannya, tapi rasa sakit hatilah yang paling mendominasi.
"Ya, ya, terserah apa katamu saja, Tuan." Akhirnya Jessy mampu menguasai diri, mencoba menyembunyikan emosi yang melanda hati.
Pria di hadapannya tertawa mengejek. "Aku tidak menyangka, bahkan setelah empat tahun lamanya kebiasaan murahanmu itu tidak berubah juga," hinanya.
Jessy sudah tidak tahan lagi, pria di hadapannya ini benar-benar menguji kesabaran. "Lalu apa urusannya denganmu, Tuan?" Ia masih mencoba mengatur ketenangannya, tidak mau pria dihadapannya ini merasa menang karena sudah berhasil memancing emosinya, walaupun sebenarnya ia sudah terpancing sejak tadi.
"Kau bertanya urusanku?" Mata pria itu menyipit tajam.
"Ya, aku merasa tidak punya urusan apa-apa denganmu." Jessy besidekap sambil tersenyum mengejek. Baiklah, jika pria itu ingin bermain-main dengannya maka Jessy tak akan keberatan untuk sedikit meladeninya.
"Jadi kau merasa berurusan dengan pria mana kali ini? Pria yg di toko bersamamu tadi, eh? Apa dia anak seorang pengusaha kaya raya sehingga kau mengincarnya? Ah, lalu bagaimana kabar pacarmu yang di restoran waktu itu?" Pria itu memasukan telapak tangan ke dalam saku celana bahannya.
"Oh, apakah tuan di hadapan saya ini seorang penguntit?" tanya Jasmine sinis, “ya, kencannya cukup menyenangkan jika itu yang kau maksudkan tadi," imbuhnya penuh senyum palsu.
Wajah pria itu kini terlihat memerah, tanpa wanita itu tahu ia mengepalkan kedua tangannya di saku celana. Tapi kini ia tersenyum, senyum yang menakutkan. Pria itu berjalan maju mendekat ke arah Jessy.
"Apa yang akan kau lakukan? Berhenti di sana!" wanita itu mundur sambil mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda agar pria itu berhenti. Namun, peringatan wanita itu tidak digubris sama sekali. Pria itu tetap berjalan maju dan secepat kilat menarik tangan Jessy hingga menempel pada tubuhnya, lalu tanpa aba-aba mencium gadis yang terasa sangat pas di pelukannya itu.
Jessy terkejut bukan main sehingga ia tetap terdiam tanpa melakukan apa-apa, merasa tidak ada pergerakan, pria itu melepaskan ciumannya sambil berbisik,
"Lebih menyenangkan mana dari ini, hm?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Aku bisa menyenangkanmu lebih lagi di atas ranjangku, apa kau tertarik?" sambungnya sambil mengelus pipi gadis itu.
"Aku adalah pria kaya jika itu yang kau ragukan." Jessy masih tetap diam dalam kererkejutannya.
"Hubungi aku jika tertarik, kau masih ingat kode apartemenku ‘kan?" Kali ini ia berbisik di sebelah telinga Jessy dengsn s*****l.
"Sampai jumpa nanti, Angel! " ucapnya sambil menyeringai lebar, lalu melangkah menjauh dari wanita itu.
Jessy mengerjabkan mata, tersadar dari keterkejutannya karena pria itu. Dia mengingat lagi kata-kata yang baru saja pria itu ucapkan, seketika itu juga emosinya kembali naik ke permukaan.
"Liam b******k!" umpatnya penuh rasa kesal.