"Luka dan waktu selalu berjalan beriringan, semakin besar luka itu maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk sembuh."
***
Jessy sedang duduk santai di halaman belakang rumah yang sudah hampir setahun ini ia tinggali bersama ketiga sahabatnya. Rumah ini adalah milik keluarga Evan, bukan rumah yang megah sejenis penthouses yang sering dimiliki orang-orang bergelimang harta. Ini hanya hunian sederhana, tapi sangat nyaman untuk di tinggali. Maklum saja, mereka di sana hanya mengandalkan beasiswa untuk menyelesaikan jenjang S2 yang di tempuh. Untuk menyewa sebuah apartemen akan terasa sangat berat mengingat mereka hanya dari keluarga sederhana. Jadi, ketika tawaran dari keluarga Evan dating, mereka langsung menerimanya dengan senang hati. Siapa sih yang tidak senang bila diberi gratisan?
Well, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di negeri orang merupakan sebuah keajaiban sendiri bagi Jessy. Pasalnya ia bukanlah murid jenius yang akan langsung faham bahkan saat sang dosen belum berkata apa-apa. Tapi bukan berarti gadis itu bodoh, hanya lambat memahami saja.
"Jess, bisa temani aku?" Lamunan gadis itu buyar seketika akibat panggilan dari Dawa Aikhraziswa yang begitu nyaring di telinga. Astaga! Jessy malas sekali menyebut nama lengkap gadis itu yang rasanya membuat lidah keseleo. Bagaimana dengan kalian setelah membacanya? Semoga aja lidah kalian baik-baik saja.
"Kau mau kemana?" tanya Jessy heran.
"Ke club," sahut Dawa santai.
"Kau Gila?" Jessy terkejut setengah mati, bahkan kini punggungnya sudah tegak tak bersandar lagi. Pasalnya, Dawa ini adalah gadis yang lemah lembut, sahabat baiknya setelah mereka adalah buku, dan pergi ke club bukan gayanya sekali.
"Kenapa teriak-teriak sih, Jess?" sungutnya sebal.
"Hey, dengar! Kau tahu club itu tempat seperti apa ‘kan? Itu tempat berbahaya, Wa," ucap Jessy memperingatkan.
"Ck! Kau ini, terlalu mendramatisir keadaan. Aku ada keperluan di sana," ujarnya sambil memilin ujung rambut.
Jessy menyipitkan mata curiga. "Kau ... ada keperluan apa di sana?" tanyanya penuh selidik.
"Ini," jawabnya sambil melemparkan benda hitam segi empat ke arah Jessy yang memandang lekat benda itu, seketika itu juga mata gadis itu membulat sempurna.
"Oh my, Good!" Jessy terlihat benar-benar shock.
***
Hingar bingar musik terdengar memekakkan telinga, dentuman keras dari DJ membuat semua badan ingin meliuk liuk mengikuti irama yang tercipta. Ditambah lampu yang bermain sempurna membuat suasana semakin panas. Lantai dansa penuh dengan orang yang sudah meliuk-liuk tanpa peduli sekitarnya.
Berbeda dengan apa yang semua orang rasakan di ruangan itu, dua orang gadis yang baru saja masuk kedalam club itu mematung sesaat. Astaga! Ini benar-benar pertama kalinya mereka menapakkan kaki di areal terlarang ini. Pasalnya, selama hampir setahun tinggal di sini, Evan selalu melarang mereka memasuki tempat ini. Bisa dibilang ini adalah areal terlarang bagi mereka.
Kalau di Indonesia, boro-boro mau main ke club, nonton pasar malam pulang di atas jam sebelas malam saja mereka sudah langsung kena sembur emak.
"Hey, di mana orang yang ingin kau temui?" ucap Jessy agak keras karena suara musik yang berisik.
"Tunggu sebentar, dia akan kemari katanya."
Jessy menarik napas dalam, dia sudah jengah berada di tempat ini. Lalu secara tiba-tiba ada seorang pria berseragam hitam menghampiri mereka. "Nona Dawa, mari ikut saya. Tuan Megan sudah menunggu," ucapnya seraya menunjuki mereka jalan.
Anehnya walaupun ia berbicara dengan Dawa, tapi tatapan matanya tak lepas memandang ke arah Jessy.
"Menyeramkan!" gumam gadis itu di telinga Dawa.
Dawa langsung menyikut Jessy yang berniat bergumam tapi malah seperti orang menjerit.
Sementara pria itu hanya melirik sekilas ke arah mereka. Selalu begitu. Datar!
Mereka menaiki tangga satu persatu menuju ruang VIP. Di sini suasananya lebih manusiawi, maksudnya tidak terlalu berisik seperti tadi. Lalu, langkah mereka memasuki sebuah ruangan dengan penjagaan ketat dari beberapa pria berseragam hitam.
"Memangnya siapa yang akan mereka temui? Kenapa lebay sekali?" Jessy terus berjalan sambil berbisik dalam hati dan memperhatikan jejeran pria tanpa ekspresi itu.
"Hera!" Itu lebih tepat disebut pekikan, suara itu berasal dari wanita berambut blonde yang duduk di sofa ruangan tersebut.
Seketika Jessy tersadar dari kesibukannya memperhatikan para pria menyeramkan tadi. Dia lalu menatap ke arah di mana sosok suara itu berasal, lalu ke sebelahnya, lalu kesebelah nya, dan sebelahnya lagi.
Begitu seterusnya, hingga matanya bertemu lagi dengan mata abu-abu itu yang selalu manatapnya tajam. Belum sempat sepenuhnya dia menguasai keadaan, wanita yang memanggilnya Hera itu sudah berdiri dan memeluknya erat.
"Kemana saja kau gadis nakal?" pekiknya kesal.
Jessy mengernyitkan dahi bingung.
"Ekhm … ma ... maaf, Nona, mungkin anda salah orang." Dawa mencoba bersuara. "Dia Jessy, temanku," lanjutnya lagi.
"Tidak mungkin! Dia pasti Hera!" jerit wanita itu yakin.
Sekali lagi Jessy mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan tersebut, dan dia menangkap mata tajam itu masih mengawasinya. Jessy menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan untuk mencari kekuatan.
"Maaf, bisa lepaskan pelukan anda, nona?" tanyanya pelan.
Wanita itu merenggangkan pelukannya. "Kau Hera! Benar ‘kan? Jika kau marah, kau seharusnya menjambakku, mencakar wajahku atau melakukan apapun agar amarahmu hilang, bukan malah pergi tanpa kabar seperti itu." Wanita itu hampir menangis.
Jessy semakin mengerutkan dahinya bingung. "Aku dengar di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki wajah yang serupa," jawab Jessy sambil menunduk. "Dan mungkin gadis yang anda sebut itu adalah gadis yang mirip denganku," lanjutnya sambil tersenyum.
Wanita itu melemaskan bahunya sambil berpikir dan mengamati wajah Jessy. Gadis di hadapannya itu memang mirip sekali dengan Heranya. Hanya saja potongan rambut dan cara berpakaiannya memang berbeda, cara berbicaranya juga.
"Yah, kau mungkin benar," jawabnya lemah lalu kembali terduduk di sofa.
Suasana kembali tenang. Jessy menghela napas lega, lalu melirik ke arah Dawa memberi isyarat.
"Oh ... eh ... iya, saya hampir lupa, ini saya ingin mengembalikan dompet milik Tuan Megan yang saya temukan di mall tadi pagi," ucap Dawa gugup.
"Kau yang menelponku tadi sore?" tanya pria tampan di ujung sofa sambil tersenyum lebar, tampang playboy begitu melekat di wajahnya.
"I ... Iya." Dawa menyodorkan dompet segi empat itu di atas meja.
"Oh, terimakasih, aku pikir tak akan menemukannya lagi," sahutnya gembira.
"Ah ya, kalau begitu kami permisi tuan."
"Panggil aku Stev," ucap pria itu tegas.
"I ... iya, Tuan … maksudku, Stev," sahut Dawa gugup.
Pria bernama lengkap Steven Megan itu mengeluarkan selembar kertas yang sering orang-orang sebut cek lalu menyerahkannya ke arah Dawa. "Sebagai ucapan terimakasihku," ucapnya masih dengan senyum manis di bibir.
"Tidak perlu, Stev, bisa membantumu saja kami sudah senang," tolak Dawa cepat, lalu menarik tangan Jessy untuk keluar dari ruangan tersebut.
Jessy yang sedari tadi diam hanya mengikuti saja ketika Dawa menariknya. Tanpa sadar ia menoleh ke belakang, melihat mata abu-abu itu yang masih tetap menatap tajam ke arahnya, tak sengaja ia melihat tangan seorang wanita melingkari lengan pria itu.
Astaga! Kenapa sedari tadi ia tak menyadarinya? Wanita itu, perempaun yang sama dengan empat tahun yang lalu!
Dasar pria berengsek!