Part 5

1359 Words
Sepuluh hari lagi .... Hal itu yang terus dia tanam di otaknya sejak kemarin malam. Menghitung hari dan terus membayangkan hal apa yang harus dia lakukan setidaknya dalam tiga belas hari terakhirnya. Ada banyak hal yang ingin dia lakukan dengan Revan, tetapi dia tahu kalau itu akan menjadi keinginan saja, tidak akan menjadi kenyataan. Rangga tidak akan mengizinkan anaknya untuk berdekatan dengan Reval. Jangan berdekatan, bertemu saja Rangga sudah marah. Reval sangat tahu diri. Dia tidak akan mau menemui Revan jika ada di rumah. Menemui Revan di sekolah saja rasanya sudah melakukan kesalahan besar. Sudah jam satu pagi, pemuda itu masih mengendarai motor yang dia sewa di jalanan ibukota. Tatapannya kosong padahal baru saja dia memenagi pertandingan balap motor. Temannya di samping juga sama bingungnya. Diajak berbicara tidak dijawab, diajak menepi juga tidak. "Good Job, Val! Uangnya nanti di-transfer," kata Alvin sambil teriak. "Lu mau pulang sekarang?" tanya Alvin. Tidak ada yang mengetahui tentang Reval lebih dalam selain Alvin. Itu juga karena Alvin diizinkan untuk boleh mengetahuinya. Reval sudah menganggap Alvin sebagai saudaranya, jadi apa pun yang Reval alami, Alvin boleh mengetahuinya. Hanya boleh, ada banyak hal yang Reval sembunyikan juga dari Alvin. "Temenin gua makan dulu!" Akhirnya dia menjawab. Gelagat Reval yang aneh menyadarkan Alvin kalau temannya sedang dalam masalah. Tidak, bukan sedang dalam masalah, Reval memang selalu berada di dalam masalah. Tidak pernah satu hari pun Reval tidak dalam masalah dan Alvin tahu siapa penyebab temannya mendapatkan masalah. “Oke. Mau ke mana? Mau makan di mana?" tanya Alvin. "Pecel ayam aja," sahut Reval. Alvin langsung menancap gas untuk mempercepat laju sepeda motornya untuk mendahului Reval. Alvin memang yang selalu menentukan mereka akan makan di mana. Reval hanya mengatakan ingin makan apa dan Alvin yang akan menentukan tempatnya. Terkadang Reval juga iri dengan Alvin yang selalu memiliki waktu bersama keluarga hanya untuk makan malam di warung pinggiran jalan. Bukan hanya makan, mereka pasti akan berbincang, bercanda dan tertawa, sangat berbeda dengan Reval yang sendirian di rumah, bersandar di dinding tembok sambil mendengarkan ayahnya dan saudaranya yang berbincang, bercanda, dan tertawa. Saat saudara dan ayahnya akan menikmati hidangan lengkap karbohidrat dan protein dan yang lainnya, Reval hanya bisa menikmati roti yang dia beli saja. Kalau sudah lewat tengah malam, sepertinya anak sekolah seperti mereka berdua seharusnya tidak di jalanan. Banyak kejahatan yang mengintai mereka pastinya. Namun, Alvin beranggapan selama berada dengan Reval pasti aman. Alvin mengakui ini adalah sebuah kesalahan, tetapi akan ada kesalahan yang lain jika Alvin meninggalkan Reval seorang diri. Apalagi Reval sedang butuh teman malam ini karena jam pulang kerjanya yang dipercepat. Mereka telah sampai di warung pinggir jalan, Alvin juga telah memesan makan untuk mereka berdua, sementara Reval sudah duduk di trotoal pinggir jalan dengan rokok di tangannya. Sama dengan tadi, tatapannya kosong. Memang sudah biasa Reval melamun, tetapi setelah dua minggu lamanya, baru kali ini Alvin melihat temannya merokok lagi. Huh. Alvin menghela napas kasarnya. Dia langsung menarik rokok itu tanpa permisi, menimbulkan decak malas dari temannya. “Ayo lah.” "Ini apa maksudnya? Janjinya mau berhenti waktu itu. Kenapa masih ngerokok?" tanya Alvin. Reval pun terdiam mendapatkan pertanyaan itu. "Sorry, nggak bisa berhenti ternyata," sahut Reval dengan senyum mirisnya. “Balikin! Gua butuh itu!” "Nggak! Malam ini gua mau lu tanpa asap rokok.” Alvin masih sama kerasnya. Padahal Reval sudah mengepal dari tadi, tetapi Alvin seolah tidak takut. “Lu udah janji dan lu harus tepatin janji lu!” Tidak ada omongan kembali diantara mereka berdua. Reval terus-menerus menatap ke arah jalanan di depannya. Sedangkan Alvin menunggunya berbicara, bengongnya pasti memiliki alasan. Hingga akhirnya Reval membuka percakapan. "Tadi dia ke kamar gua." “Terus?” "Dia bawa makan sama minum buat gua. Dia juga kayaknya ngajak makan bareng, Vin," lanjut Reval. "Terus? Lu terima?" tanya Alvin. "Sayangnya nggak. Gua terlalu pengecut, Vin. Gua usir dia," sahut Reval. "Gimana?" tanya Alvin. "Kakinya gua jepit sama pintu. Gua gak mau ketahuan Ayah kalau Revan ke kamar gua. Gua ... gua belum siap buat nggak lihat dia lagi, Vin. Gua belum siap tanpa dia ...," sahut Reval lirih. Terasa perih mendengar pengakuan Reval. Hidup seorang diri tanpa ada sosok Ayah yang seharusnya menjadi tempat dia berkaca. Hidup seorang diri tanpa diizinkan untuk berbicara bahkan berada di ruangan yang sama dengan kembarannya. Hidup seorang diri di saat dia memiliki Ayah dan kembaran yang seharusnya bisa membuatnya tersenyum. “Sepuluh hari lagi, Vin. Gua mau sepuluh hari itu ada dia, bukan gua yang sendirian. Gua mau manfaatin waktu itu buat terus deket sama dia.” "Lu gak akan kehilangan dia, Val. Dia justru yang takut kehilangan lu. Revan itu peduli sama lu, tapi lu yang selalu menghindar.” Menghindar, memang itu yang dia lakukan selama ini. Tentu saja bukan atas kemauannya sendiri. Siapa lagi yang membuatnya melakukan itu kalau bukan ayahnya, Rangga. "Seandainya tadi masih siang, mungkin gua bisa bareng sama dia, Vin. Gua nggak perlu takut kalau ....” Reval menghentikan ucapannya. “Kalau apa?” tanya Alvin. “Kalau bokap gua pulang.” Alvin tidak bisa berkomentar banyak tentang hal itu. Dia sangat tahu alasannya. “Besok masih bisa, Val.” "Dia bilang dia kangen sama gua, Vin," kata Reval. Alvin melihat senyum itu lagi. Setelah sekian lama dia tidak melihatnya. Bersyukur temannya masih bisa merasakan kebahagiaan yang tertutup penderitaannya. "Dia nangis depan gua, buat gua makin merasa bersalah tadi." "Lu sendiri kangen dia nggak?" tanya Alvin. "Banget. Setiap malam gua nggak pernah absen datang ke kamarnya cuma untuk lihat keadaannya," sahut Reval yang terus menatap Alvin. “Setiap malam dia juga ngerintih dan manggil nama Nyokap terus. Gua takut penyakitnya makin parah, Vin.” "Gua paham. Lu sendiri tapi lagi sakit juga, kan? Walau lu nggak cerita, ada yang lu umpetin dari gua dan gua tau itu, Val. Pikirin kondisi tubuh lu dulu baru pikirin Revan. Percuma kalau Revan sembuh tapi lu tumbang, kan?" tanya Alvin. Reval tidak menikmati hidangannya, seperti ada hal yang aneh yang ia rasakan. Reval mencoba menyembunyikannya dari Alvin, Reval tidak mungkin membuat temannya khawatir. "Lu udah tau, ya? Nggak pandai bohong emang. Cukup lu yang tau, ya. Sarah jangan tau kalau gua sakit." "Val, besok jogging mau gak? Ajak sarah nanti," ajak Alvin. Reval hanya menjawabnya dengan anggukan, mencoba untuk tenang sambil memakan pesanannya. Rasanya dia ingin segera pergi dari tempat itu. "Mau pulang atau mau ke mana?" tanya Alvin setelah makanan mereka habis. "Mau pulang. Terima kasih, ya." Reval semakin merubah ekspresinya menjadi semakin murung. Tentu Alvin khawatir. "Lo nggak apa-apa?" tanya Alvin. Reval tidak menjawabnya, ia langsung menaiki sepeda motornya dan memakai helm. Membuat Alvin mengikutinya juga. "Gua oke. Terima kasih, ya." Reval langsung pergi meninggalkan Alvin, menarik gas sepeda motornya dengan kencang karena sakitnya tidak bisa ditahan lagi. Reval berusaha menahan sakit pada kepalanya yang kian mengganas, Reval seperti kehilangan keseimbangannya beberapa kali. Seharusnya ia pulang sejak awal, seharusnya ia tak perlu ikut ke pertandingan itu. Sakit di kepalanya tak kunjung berhenti, sungguh Reval sangat tidak tahan dengan sakit ini. Pemuda itu menghentikan laju motornya dan bersender di pohon dekat tepi jalan. Sakit ini benar-benar menyiksanya, tolong, siapapun bantu Reval kali ini. Reval benar-benar tidak sanggup. Mata itu kembali berair, menahan sakit yang tak kunjung mereda di kepalanya. Bahkan sekarang tangan Reval mati rasa, tidak bisa digerakkan walau hanya ujung jarinya. Pemuda itu mulai tak sanggup, sakit sekali, air matanya turun membasahi wajahnya dan keringat juga ikut andil membasahi seluruh badannya. Ibu, bantu Reval, Bu. Reval mohon. Ini sangat sakit. Hingga tak sadar bau anyir mulai tercium sekarang, bau yang tidak lain justru keluar dari hidung sang pemilik. Entah apa yang Tuhan inginkan saat ini, tetapi Reval berharap jangan berikan lebih sakit daripada ini. Reval hanya ingin mewujudkan satu keinginannya. Reval berusaha mengambil smartphone miliknya di tas, tangan itu benar-benar sulit untuk digerakkan. Namun, Reval terus menahan sakitnya dan bisa menggapai smartphone di dalam sana. Sorot lampu yang amat terang itu membuat Reval menyipitkan matanya. Reval berharap orang baik yang menemukannya sekarang, bukan sekelompok Polisi yang hendak menangkap pemuda yang kesakitan di bawah pohon tepi jalan. Reval sungguh tak kuat lagi menahan sakitnya, Reval menyerah kali ini. Matanya mulai tertutup, tangannya terkulai lemas dan darah yang keluar dari hidung pemuda itu mengalir. "Maaf ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD