bc

Kisah Reval

book_age18+
197
FOLLOW
1.2K
READ
BE
student
twisted
heavy
icy
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

Reval tidak pernah meminta untuk dilahirkan menjadi anaknya. Takdir yang membuatnya, takdir juga yang membuat dirinya menderita sepanjang hidup.

Dia selalu bahagia ketika berada dengan saudara kembarnya. Hidupnya seolah dianggap, dipedulikan, dan diperhatikan oleh Revan. Namun, dia juga dilarang untuk berdekatan dengan sumber kebahagiaannya.

Reval lelah.

Andai dia bisa pergi dan melupakan tentang ayahnya. Dia pasti sudah berlari, mengejar kebahagiaanya yang lain. Sayangnya, hatinya terlalu menginginkan kata maaf dari ayahnya.

“Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi harapan yang aku miliki.”

“Hebat. Kau memang hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkan kehebatanmu, Ayah.”

“Reval ringu ... sungguh ....”

“Tolong datang hari ini, panggil namaku dan peluk aku.”

“Tolong datang ke sini, katakan kalau aku anakmu.”

Apakah Reval berhasil mendapatkan kata maaf dari ayahnya? Atau justru penolakan sampai akhir hidupnya?

Cover by: Devia

chap-preview
Free preview
Part 1
Semua orang berhak merasakan kebahagiaan, termasuk dia. Perkenalkan, namanya Revalio, panggil saja Reval. Tidak perlu mengetahui nama belakangnya, tidak penting kata Reval. Mungkin juga akan terhapus suatu saat nanti. Jika semua orang menganggap dunia ini adalah sebuah tempat merasakan berbagai perasaan, satu-satunya yang cowok itu rasakan sebagai sebuah perasaan buruk. Hidup di dunia yang fana adalah suatu kekejaman alami. Dunia yang dilihat selama ini tidak melulu kenyataan, bisa jadi hanyalah gurauan. Terlebih lagi kalau semua yang terjadi hanyalah sebuah sandiwara belaka, itu akan menyakitkan hati setiap orang yang terlibat. Semua yang terjadi sudah dirancang sedemikian rupa, sudah diperkirakan apa yang terjadi berikutnya, bahkan sudah ditetapkan akhir apa yang akan terjadi. Ironi. Tiga hal yang ada dalam hidup Reval, yaitu janji, hidup, dan mati. Mungkin beberapa orang memiliki banyak hal, termasuk senang dan sedih. Mungkin hal itu sudah ia temukan juga, tetapi tidak terlalu ada artinya bagi Reval. Sekarang, cowok itu hanya harus menjalani hidup dan menepati janjinya suatu saat nanti. “Espresso-nya sudah siap, Val?” Orang yang baru saja berbicara adalah Alvin, teman dekat Reval. Mungkin kalian akan heran dengan pertemanan mereka. Siapa yang mau menemani temannya untuk bekerja saat ekonomi dirinya telah tercukupi bahkan lebih dari cukup? Jawabannya Alvin. Dia rela menemani Reval bekerja sebagai barista di kedai kopi, padahal keadaan ekonominya sangat tercukupi.  “Sedikit lagi, Vin!” Hal yang paling membahagiakan, tetapi menyulitkan dalam hidupnya adalah memiliki seorang kembaran. Dia adalah Revanio, sosok yang bisa dibilang sering hadir dalam hidup Reval. Walaupun mereka tidak mirip. Revan itu humble, tidak seperti Reval yang kuper. Di kalangan murid SMA Angkasa, pasti semuanya mengetahui Revan si mantan ketua OSIS yang pintar. Medali dan plaketnya  saja berjajar rapi di ruang tamu, mulai dari juara catur, juara tenis meja, olimpiade astronomi, fisika, dan masih banyak lagi yang kemungkinan tidak bisa Reval kejar. Terkadang, Reval iri kepada Revan. Ia ingin ada satu piala atau satu medali yang bertuliskan namanya. Sayang, itu semua hanya sebatas mimpi Reval. Tidak mungkin seorang Reval bisa memenangkan perlombaan. Kalau di negeri dongeng, bisa dipikirkan. “Pesanan nomor 273 take away atas nama Mbak Karin!” Reval tersenyum tipis. Suara rekan kerja yang semangat menyadarkan kalau ia masih hidup di dunia yang jahat padanya. “Dapat orderan lagi! Tiga gelas machiato sama frape chocolate tanpa gulanya satu. Semangat, guys!” Putri memang selalu bersemangat kalau bekerja. Apalagi kalau sedang ramai, dia ingin menjadi satu-satunya orang yang diperhatikan di sini. “Semangat, Val!” teriak Alvin. Reval masih tersenyum tipis, tanpa hendak menyahut dengan teriakannya. Lagi pula, itu bukan tipe Reval banget. Reval dan Alvin mulai menjalankan perintah Putri. Frape chocolate mulai jadi karena tangan Reval, sedangkan machiato masih dibuat oleh Alvin. Tampaknya mereka berdua adalah rekan kerja yang keren. Tidak perlu waktu yang lama untuk menyiapkan beberapa pesanan tadi. “Eh ... Val!” panggil Putri. “Sepertinya gua kenal siapa wajah itu.” Reval menoleh ke arah Putri. Ia mengikuti arah pandang Putri. Di sana, di bangku ujung, Reval melihat seorang pria tua berjas rapi dengan dasi merah yang terpasang rapi. Ia sedang tertawa dengan rekan-rekannya. “Ayah lo, kan?” Reval menunduk, ia merasa canggung sekarang. Buru-buru ia mengenakan masker penutup mulut. “Mau gua kenalin?” Alvin yang sadar dengan perubahan sikap Reval langsung menyela. “Acara keluarganya nanti aja! Kita harus bekerja!” Mereka kembali pada pekerjaannya masing-masing. Putri mulai melayani orang yang memesan, Alvin juga sudah membuat beberapa kopi pesanan, sedangkan Reval masih menatap gelas kopi di depannya. Pikirannya melayang ke beberapa tahun silam.  “Tolong tiga cangkir chapucino, berikan tiga potong kue cokelat juga.” Reval menegang di tempatnya. Suara ayahnya terdengar keras di telinga. Ia memejam sebentar, lalu menarik napas dalam. “Baik, ini tagihannya.” Putri menunjukkan layar monitornya. “Mau tunai atau non tunai?” Rangga, ayah Reval, langsung mengeluarkan dompet. “Silakan ambil kembaliannya untuk kamu. Seorang anak muda sepertimu seharusnya tidak perlu bekerja seperti ini. Ke mana orang tua kamu?” Reval mendengkus pelan, kemudian tersenyum getir dari balik masker hitam yang dia pakai. “Terima kasih, Pak. Namun, sepertinya tidak perlu. Anda berikan saja kepada yang lebih membutuhkan.” “Tidak perlu. Kalau kamu tidak bisa menerima uang ini, bisa kamu berikan uang itu pada orang lain yang lebih membutuhkan.” Rangga tersenyum lebar. Reval mulai membuat pesanannya sambil melupakan perkataan ayahnya tadi. Hati pemuda itu memanas mendengarnya, tetapi ia tidak bisa berbuat apa pun. Jangankan berbuat, membalas ucapannya saja tidak bisa. “Biar gua antar pesanan yang tadi,” kata Alvin. Reval hanya mengangguk, tidak bisa menolak karena Alvin belum mahir membuat chapucino. Artinya, memang harus Reval yang membuat. Setelah selesai meracik kopi tadi, Reval langsung meletakkan di atas nampan saji. Ia tampak berpikir, matanya menatap cangkir kopi untuk waktu yang lama. Membuat Putri jadi bingung. “Gua aja yang anter, gimana?” tanya Putri berbisik. Dia mengelus-elus pundak Reval. “Lu bisa diem di sini aja!” Reval tampak berpikir. Dia tidak mungkin menghadapi ayahnya sekarang. Pasti dia akan membuat malu ayahnya. Walaupun Reval tidak pernah dikenalkan kepada siapa pun kenalan ayahnya, wajah Reval yang tidak mirip dengan Revan pasti tidak akan membuat mereka sadar kalau Reval anaknya. “Permisi, mau pesan!” teriak seseorang. Reval menatap dalam wajah Putri. “Gua aja, masih ada pembeli yang harus dilayani.” Reval mulai mengangkat nampan sajinya. Kemudian dia mulai melangkah keluar dari area dapur ke arah bangku pojok tempat ayahnya dan rekannya duduk. Perasaan canggung mulai menyelimuti hati Reval. Rasa kesal semakin menjadi setelah melihat wajah ayahnya yang bahagia sedang berbicara dengan anak seorang rekannya. “Permisi, silakan dinikmati!” Reval letakkan kopi-kopi tadi di depan mereka satu per satu. Kemudian ia meletakkan kue pesanan mereka. Sesaat ia melihat wajah pemuda di hadapannya. “Permisi.” Setelah itu Reval mulai berjalan dengan tergesa-gesa ke arah dapur. Sesampainya di sana, tubuhnya langsung lemas dan terjatuh di dekat mesin pembuat kopi. Ia menundukkan kepala di balik kedua kakinya. “Lanjut kerja, Vin!” tegur Putri dengan suara pelan. Sedih. Ia kembali merasakan perasaan itu, perasaan yang sudah bersahabat dengannya sejak lama. Andai dia bisa memilih, dia lebih baik tidak mengenal rasa sedih dari pada harus bersahabat. ^^^ Dinginnya malam sudah menembus kulit kepalanya. Dia masih setia duduk dengan kedua lutut yang dia rengkuh, di samping gerbang besar rumahnya. Tidak ada hal yang bisa dia lakukan selain menatap jalanan yang sepi. Raut wajahnya masih datar, tidak ada ekspresi. Alvin sudah pulang dari tadi. Setelah diusir oleh Reval, tentunya. Reval jadi menyesal, seharusnya dia tidak perlu mengusir Alvin. Sekarang, ia jadi bingung untuk masuk ke rumahnya, atau justru pergi untuk semalam. “Anak muda tidak perlu bekerja, ya?” tanya Reval miris. Dia tersenyum kecil, lebih terkesan meringis. “Lalu Reval apa?” Perlahan dia mulai berdiri, lalu menarik napas dalam. “Tidak perlu khawatir. Sedikit lagi waktunya.” Reval tersenyum. Dia mulai bergerak untuk menggeser gerbang rumah. Lalu, ia berjalan dengan langkah gontai ke dalam rumah. Satu harapan yang harus terwujud malam ini, biarkan ia beristirahat saja. Kakinya mengarah ke pintu dapur. Bukan karena pintu utama ditutup, melainkan Reval sadar dirinya tidak pantas untuk menggunakan pintu utama. Didorongnya perlahan pintu itu. Ia sadar, ruang keluarga masih terang sekarang. Jantungnya mulai berdegup kencang. Reval tersenyum sebentar, lalu ia berjalan ke arah ruang keluarga. Ia berhenti, bukan karena berubah pikiran, melainkan ada sosok pria tua yang berdiri di sana. Seharusnya ia menyapa, atau setidaknya mengucapkan salam. Namun, Reval justru memandang ujung sepatunya dengan lekat. Cukup lama Reval bergeming, sampai-sampai kakinya keram karena tidak bergerak sedetik pun. Kemudian pria tua itu mulai berjalan ke arahnya, dengan langkah cepat. Satu tamparan kencang Reval terima. Pipinya mulai terasa panas sekarang. Dia tidak bergerak lagi, justru menatap anak tangga di depan arah pandangnya. Reval terlalu takut untuk menghadap ayahnya. “Apa kamu tahu obat Revan habis?” Reval bergeming, ia menimang-nimang jawabannya. Akhirnya, ia menggelengkan kepala sekali. Sesekali ia menelan ludah, mungkin untuk menghilangkan rasa takut. Rangga meninju perut anaknya. Keras sekali, sampai Reval mengeluarkan darah dari mulutnya. Dia tidak berani memuntahkan darah itu, akhirnya ia telan kembali, bersamaan dengan rasa sakit yang ia dapat. “Maaf ....” Hanya itu yang keluar dari mulut Reval, dengan suara yang sangat lirih. Mungkin jika ada pilihan tidak menjawab, Reval akan memilihnya. “Apa kamu tidak tahu kalau Revan kesakitan sepanjang hari?!” bentak Rangga. Reval tersentak, dia menelan ludahnya kembali. Ia bingung harus berbuat seperti apa sekarang. Tidak ada harapan untuk dia pergi. Sudah terlambat, Reval harus menanggung semua kesalahannya. “Maaf ...,” lirih Reval. Hatinya teriris saat Rangga kembali menampar wajahnya. Pelupuk mata Reval mulai bergenang air. Namun, ia tahan sebisa mungkin. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan ayahnya sendiri. “Saya harap waktu berjalan cepat.” Rangga melangkah menjauhi Reval. Akhirnya, tangisan Reval tumpah saat sosok itu berjalan. “Selamat malam ....” Reval berkata lirik. “Ayah,” sambungnya. Reval masih sempat tersenyum saat sosok itu berhenti. Reval mulai menaiki tangga rumahnya. Buru-buru ia berjalan, menahan sakit di sekitar area badannya agar bisa masuk ke kamar secepat mungkin. Ia tutup pintu kamarnya keras-keras. Reval terduduk di belakang pintu. Ia kembali menyembunyikan wajahnya di balik lipatan kakinya. Tangis sesenggukan mulai terdengar. Andai dia boleh berteriak, mungkin ia akan berteriak saat itu juga. Kecewa. Bertahun-tahun ia bertahan, berharap kalau semua yang diperjuangkan akan tercapai. Namun, semuanya sama saja. Reval kembali menghadap takdir yang kian membuat hatinya terluka. “Reval harap waktu berjalan lambat, Yah.” Reval menangis tanpa suara. Ia mulai berdiri, menghampiri meja belajarnya. Diambilnya liontin dari laci sana. Ia buka perlahan, lalu mengeluarkan air mata lagi setelah melihat isi liontin itu. Ia cium benda dingin itu dan memeluknya erat. Kemudian ia meletakannya kembali dengan rapi. Reval ambil buku cokelat yang bertuliskan “My words” di sampulnya. Satu persatu ia buka buku tersebut, sambil membacanya dalam hati. “Sudah hampir tujuh tahun ...,” kata Reval. Ia meneruskan membacanya lagi. “Reval pikir akan tiba waktu saat semuanya berubah.” Buku itu menjadi saksi kesakitan selama hidup. Reval mulai menuliskan beberapa kalimat di sana. Tidak ada hal buruk yang keluar dari mulutnya kepada orang lain. Namun untukku, semuanya berubah. Tidak ada hal baik yang keluar dari mulutnya untukku. Memang tidak akan pernah ada. Reval tatap tulisan itu, masih sama seperti halaman yang lain. Kalimat kecewa yang selalu tertulis, tidak pernah kalimat senang atau bahagia. Reval balik lembar tersebut, lalu ia kembali menulis. Dear Revan, Haruskah aku iri padamu? Reval menutup bukunya, lalu ia letakkan buku itu kembali. Embusan napasnya masih tersendat-sendat. Ia mengambil sebuah benda tajam di dalam sana. “Janji?” Goresan memanjang mulai terukir sempurna di lengan kirinya. Perlahan darah mulai keluar, banyak. Rasa perih goresan itu menjalar ketika pisau semakin dalam menusuknya. “Sorry, Vin! Gue ingkar janji!” *** To be continue

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.7K
bc

Head Over Heels

read
16.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
285.5K
bc

Marriage Aggreement

read
81.9K
bc

DENTA

read
17.4K
bc

Menantu Dewa Naga

read
178.3K
bc

Scandal Para Ipar

read
696.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook