Part 6

1855 Words
Satu malam terlewati karena harus bermalam di rumah sakit. Perasaannya kembali kecewa dengan keadaan yang terus tidak pernah berpihak padanya. Mencoba pun rasanya sudah semakin sia-sia. Tidak ada celah pikirnya, hanya ada jalan buntu yang berujung pada kematiannya. Padahal semalam dia sudah yakin kalau itu adalah detik terakhir dia bernapas. Dia tidak akan membuka matannya setelah dia merasakan sakit yang begitu hebat di bagian belakang kepalanya. Rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan paku yang tajam. Namun, ternyata sore ini masih bisa merasakan hangatnya sinar matahari yang menembus melalui jendela kamar rumah sakit yang dia tempati. Mata Reval perlahan-lahan mulai terbuka, salah satu jari tangannya terangkat sedikit, membuat pria di sampingnya tersenyum karena orang yang dia tunggu sudah sadar. Sangat tidak sabar melihat pemuda di depannya sadar. Semalaman, bahkan hampir seharian juga pria itu menunggu, hanya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Dokter itu sudah berpikir kalau pengobatannya tidak berhasil karena keadaan Reval terus menurun. "Syukurlah, kamu berhasil sadar," ucap pria itu tulus dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Reval tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia melengos dan kembali terpejam. “Kamu di rumah sakit. Semalam saya menemukan kamu di bawah pohon dekat jalanan depan komplek. Bagaimana keadaan kamu sekarang?” Cukup lama Reval mengamati ruangan ini dan langsung sadar ketika merasakan sakit di lengan kirinya, ternyata ada infusan di sana. Dia mencoba mengingat kejadian yang dia alami sebelumnya, mengapa begitu aneh. Reval ingat dia tengah sekarat di bawah pohon tepi jalan, mengapa bisa sekarang dirinya telah tidur di ranjang rumah sakit. "Ada apa dengan saya?" tanya Reval dengan nada datar. “Kenapa bawa saya ke sini?” "Kamu sakit," jawab dokter itu. Jawaban dokter itu membuat Reval berdecak malas. Ia juga tahu bahwa seseorang dengan selang infus yang menempel di tangannya apalagi tidur di pembaringan rumah sakit bukan orang yang sedang sehat. Ditambah tenangnya dokter di depan dia membuat Reval berpikiran bahwa justru sebenarnya dokternya ini sedang sakit atau tidak? Mengatakan pasiennya sakit dengan tenang, tanpa ada rasa sedih dalam kalimatnya. “Kenapa bawa saya ke sini?” Ini bukan pertama kali dokter itu dan Reval bertemu. Satu minggu yang lalu, Reval pernah mengunjungi rumah sakit yang sama dan menemui dokter yang sama juga. Mereka melakukan segenap pemeriksaan terkait dengan keluhan yang Reval buat. Sampai akhirnya dokter bernama Surya mendapatkan hasil bahwa Reval menderita suatu penyakit yang langka. “Saya tidak pernah mau dirawat,” sambung Reval sambil berusaha untuk bangkit. Dia berhasil duduk dan tangan kanannya langsung ingin menarik infusan di lengan kirinya. Doket Surya menahan aksi itu. “Saya mau pulang. Tolong Anda jangan larang saya untuk pulang!” "Reval kamu harus sadar! Apa yang saya ucapkan sebelumnya itu tidak main-main. Saya tidak mungkin membohongi pasien saya," kata Dokter Surya dengan tenang. Dia rela duduk menemani Reval saat jam kerjanya sudah selesai. Seharusnya Reval bersyukur karena ada dokter yang bersedia menemaninya. Namun, Reval justru menolaknya. Dia membutuhkan orang lain, ayahnya sendiri. “Di mana obatnya Revan?” tanya Rangga dengan suara yang meninggi. Dia sedang emosi karena obat yang Revan konsumsi sudah habis dan Revan sedang drop. “Kamu sudah beli?” “Belum,” sahut Reval singkat. Tidak seperti biasanya yang banyak bicara jika berhadapan dengan ayahnya. “Kurang ajar!” Rangga memberikan satu hadiah di dadanya Reval, membuat Reval melenguh dan meringkuk di atas lantai. “Sekarang kamu beli!” “Di luar sedang hujan,” jawabnya. Reval juga lagi sakit, Yah. Kepala Reval juga sakit. Kenapa hanya Revan yang Ayah perhatikan? batinnya. “Saya tidak mau tahu. Kamu pergi beli obat itu sekarang!” Yang dia butuhkan adalah perhatian dari ayahnya. Hampir tujuh belas tahun dia hidup, dia menginginkan hal yang sama seperti Revan. Dia ingin diperhatikan, dirawat, jangan hal yang berat seperti itu, ditanya keadaannya saja dia sudah sangat senang. "Saya hanya kelelahan, Anda tidak perlu menakuti saya! Kalau Anda butuh pasien, silakan cari orang lain untuk Anda tipu!" jawab Reval dengan beraninya. Reval mulai membalikkan badannya, menghindari tatapan Dokter Surya yang menertawainya. Keadaan yang sangat Reval hindari, berlama-lama dengan seorang dokter yang selalu menakuti dirinya. Reval hanya kelelahan, Reval tidak seperti yang ia pikirkan. Tidak perlu menduga-duga, berikan saja hasil lab yang sudah mereka uji, biarkan Reval yang memutuskan untuk percaya atau tidak selepas itu. "Bagaimana keadaan kamu? Masih sakit kepalanya?" tanya Dokter Surya. "Tidak." Bohong jika Reval berkata demikian, sakit itu masih terasa sedikit sampai sekarang, ditambah lemas pada badannya membuat dirinya seperti orang tidak berdaya. Dia sudah biasa menahan sakit. Bukan kali ini saja dia menahan rasa sakit, sudah sangat sering dia menahannya. "Kamu belum makan dari pagi, akan saya ambilkan makanan terlebih dahulu," kata dokter itu. "Tidak perlu." Dokter itu hanya tersenyum melihat pasiennya, mengingatkan dirinya dengan pasien-pasien lainnya yang sangat berbeda dengan Reval. Dokter Surya segera pergi dari ruangan dan meninggalkan Reval yang masih merenungi harinya ini. Reval tidak menyangka, harinya akan seburuk ini. Bangun di ranjang kesakitan, dengan selang infus di tangannya serta seorang dokter yang mengatakan bahwa dirinya sakit. Apa dokter itu tidak waras? pikirnya. Sejak kapan seorang dokter mengatakan hal yang bisa saja membuat pasiennya merasakan jatuh ke dalam jurang penderitaan. Dia putuskan untuk keluar dari sini, Reval harus pergi. Namun, tenaganya seperti habis begitu saja. Reval baru saja membuat dirinya duduk, tenaganya begitu lemah sekarang, padahal baru dipakai untuk duduk. Dia berusaha mencari tas miliknya, mengedarkan bola matanya ke setiap sudut di ruangan ini, tidak ada tas miliknya di sini. Sampai akhirnya dia menyerah saat satu perawat memunculkan dirinya dari balik pintu. "Mencari ini?" tanya perawat itu, dengan hidangan makanan yang dia bawa dan tas yang dia sampirkan di punggung. “Saya tahu kalau kamu cari ini untuk cari HP, kan? mau ngehubungin pacar atau mau ngehubungin mantan, nih?” Reval sontak menatap perawat di depannya tidak suka. Perawat itu menyita barang milik Reval seolah itu adalah hal yang biasa saja. Niat Reval untuk pergi tampaknya gagal kali ini, perawat di depannya sudah datang dengan sepaket makanan orang sakit. Perawat itu tidak mungkin membiarkan dirinya makan seorang diri, pasti perawat itu akan memaksa dirinya menghabiskan makanannya. "Perkenalkan nama saya Julia, kamu bisa panggil saya Suster Julia. Saya diamanahkan merawat kamu di sini hingga kamu sembuh. Bagaimana keadaan kamu Reval?" tanya Julia dengan senyuman yang indah di wajahnya. "Kembalikan barang milik saya!" titah Reval. Suster Julia hanya terkekeh pelan mendengarnya. Ia langsung melangkah memasuki kamar itu dan meletakan tas pasiennya di ujung sudut yang sangat sulit dijangkau. Membuat Reval mendengus tidak suka sepertinya, tatapan matanya saja semakin tajam. "Dokter Surya sudah bilang sama saya, kamu bukan pasien yang mudah untuk dirawat. Sepertinya dia salah, dia saja tidak tau cara merawat pasien nakal seperti kamu," jawab Julia. "Kamu harus makan! Nggak punya tenaga kan sekarang? Duduk aja pasti sulit. Iya, kan?" Sial, mengapa ucapan itu benar semua pikir Reval. Dia sangat sulit bahkan untuk sekedar duduk. Ada apa dengan dirinya, ke mana perginya Reval yang tidak lemah, Reval tidak ingin dirawat oleh sekelompok orang yang menyangka dirinya sakit. "Mau makan sendiri atau saya suapin?" tanya Julia. "Sepertinya boleh saya melihat kamu makan sendiri. Soalnya kamu cowok dan masih remaja. Pasti kuat. Ayo silakan!” Julia menempatkan makanan itu di atas tangan Reval. Melihat reaksi pemuda di depannya yang semakin menahan amarahnya sontak membuat Julia tertawa. Begitu keras kepala pemuda di hadapannya. "Makanya jangan keras kepala, Dokter Surya itu baik, jarang ada pasien yang ditunggu macam kamu, eh malah bersikap tidak peduli. Ada apa?" kata Julia. "Saya jadi makan atau tidak?" sahut Reval. Julia sontak tersenyum setelah melihat Reval yang menyerah dengan keadaan. Dalam hatinya dia iba karena perilaku Reval pasti ada penyebabnya. Namun, Julia tidak mau ikut campur bahkan sampai mengorek hal-hal yang membuat Reval semakin sedih. Suster itu hanya ingin menjalankan tugasnya. Julia langsung menyuapi pemuda di depannya dengan telaten. Begitu sulit pemuda itu menelan makanan tak berasa di hadapannya. Ekspresi muka yang menolak semakin terlihat sampai akhirnya Reval ingin memuntahkannya. "Kamu parah semalem, ngebuat perawat di IGD panik. Denyut nadi kamu juga hampir hilang. Kalau sakit itu berobat, bukan bertingkah seolah-olah kamu itu manusia super yang tidak merasakan sakit. Segala ngukir di tangan sampe berbekas begitu. Emangnya nggak ada kertas buat gambar? Sampai pakai tangan segala. Dokter Surya tidak mau memberikan hasil lab kamu, kalau kamu sendiri aja tidak percaya kamu itu sakit, itu ngebuat kamu—" "Haus. Saya ingin minum." Reval memotong ucapan perawat itu dengan cepat, membuat perawat di depannya menatap Reval dengan senyuman kembali. Dokter Surya benar, anak ini sangat tidak mudah untuk di dekatkan. "Ambil dong sendiri," jawab Julia yang mencoba jahil. Reval pun berusaha menjangkau air mineral di nakas samping tempat tidurnya. Tubuhnya lemas sekali hingga tidak bisa menggerakkan badan. Alhasil, Reval hanya tertidur dan menghela napas kasar. "Anda bilang Anda perawat, mengapa Anda tidak merawat saya dengan baik?" tanya Reval yang jengkel dengan sikap perawat di hadapannya. "Kamu bilang kamu nggak sakit, masa mau dirawat sih?" balas Julia. Got you! Reval langsung terdiam dibuatnya. Julia yang melihat itu lantas tertawa pelan, lalu memberikan air mineral itu dan membantu pemuda di hadapannya meminum. "Mau sampai kapan kamu mengelak?" tanya Julia. "Kamu harus lihat hasil itu agar kamu tahu seberapa bahayanya penyakit kamu." "Sampai saya mati." Jawaban Reval seolah tanpa berpikir panjang. Perkataannya seolah kematian adalah hal yang paling dia tunggu. Membuat Julia diam, apa yang terjadi pada pemuda di hadapannya ini pikirnya. Terdengar seperti orang putus asa, bagaimana mungkin anak berusia 16 tahun sudah berpikiran seperti itu. "Saya tidak tahu apa yang kamu alami Reval. Saya juga tidak berharap kamu menceritakannya, kamu pasti menolaknya. Saya hanya tahu, bahwa Dokter Surya menginginkan kesembuhan kamu, menginginkan kamu berobat untuk sembuh. Memang berat untuk kamu percayai, tetapi kamu sendiri yang bilang kamu tidak ingin siapa pun mengetahui penyakit kamu. Kita harus bilang ke siapa selain kamu sendiri?" jelas Julia dengan halus, berusaha menenangkan pemuda di depannya. “Kalau kamu memang punya impian, lawan penyakit kamu! Dengan cara pasrah aja tidak buat kamu sembuh, Val! Justru kamu akan menyesal karena kamu semakin sakit sementara impian kamu mulai menjauh. Apa kamu mau hidup sia-sia karena menyerah?” “Sebaiknya Anda diam! Tidak perlu menyebut kata menyerah di depan saya” Hampir tujuh belas tahun berjuang untuk mendapatkan haknya bukan sebuah tindakan orang yang menyerah. Reval berusaha bahkan membuat keputusan dengan ayahnya sendiri. Merelakan kebahagiaan, masa kecil dan masa remajanya hanya untuk kembaran, menjadi orang asing, dan merasakan hal yang sangat tidak ingin orang lain rasakan. Itu tidak bisa disebut menyerah. Reval sudah sangat berjuang, tetapi memang takdir yang terus menyiksa dirinya. “Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya.” “Saya memang tidak mengerti siap kamu, apa yang kamu hadapi. Saya hanya tau kalau kamu menyerah bukan berarti itu keputusan yang terbaik. Pasti ada jalan keluar dari semua masalah. Kamu harus sadar kalau Tuhan tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan diri kita, semuanya sudah digariskan dan Tuhan pasti sudah tahu kalau kamu mampu melewatinya. Lalu kenapa kamu ingin menyerah? Kamu tidak percaya Tuhan kalau begitu?” Reval terdiam mendengar teguran dari Suster Julia. Batinnya menolak pernyataan itu, tetapi semuanya memang benar tentang Reval. Dia sudah lelah, hanya lelah, bukan tidak percaya dengan Tuhan. Dia ingin haknya dan kebahagiaan, tetapi sangat sulit untuk dia dapatkan. "Apa penyakit saya ...?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD