Part 4

2220 Words
Sakit? Tidak perlu dia pikirkan. Lebih baik Reval merasakan sakit di sekolah daripada harus libur dan istirahat di rumah ayahnya. Itu justru lebih membuatnya kesakitan. Prinsip dia selama ini sebenarnya simpel, menyelesaikan janji yang sudah dia buat dengan ayahnya. Lalu ... dia bisa tenang dan bahagia  ... mungkin (?) Tidak mau dia berharap pada dunia lagi. Hal yang dia harapkan selalu saja berakhir pada kekecewaan. Lalu, untuk apa dia berharap? Pribadinya yang terbentuk karena masalah yang dia terpa sejak kecil membuat Reval menjadi sosok yang begitu tegar, kuat. Namun, dia tetap saja masih seorang remaja yang butuh bimbingan. Saat sosok kembarannya bisa memiliki quality time dengan ayahnya, Reval hanya bisa mendengarkan dari balik jendela kamar kembarannya. Saat Revan sedang makan di dapur dan hanya berdua dengan ayahnya, Reval hanya bisa makan roti yang dia beli sendiri dan makan di lantai dua, sambil mendengar obrolan yang dua orang itu bicarakan. Saat Revan bisa bebas melakukan apa yang dia mau, Reval justru yang terkurung di dalam penjara keterbatasan dirinya. Sudah jam lima sore sekarang dan sosok itu belum datang juga. Hari ini seluruh siswa pulang cepat, group w******p-nya bilang hanya sampai jam dua. Guru-guru akan melakukan rapat tentang ujian sekolah kelas XII katanya. Seharusnya Reval sudah sampai rumah sejak tadi, tetapi yang terjadi adalah dia baru saja tiba. Reval yang masih kelelahan sudah mendapatkan senyum Revan di dekat pintu dapur. Kembarannya tidak sekolah, kondisinya masih belum memungkinkan dia untuk sekolah karena kelelahan bermain basket kemarin. Itu juga yang membuat Reval mendapatkan hadiah yang sangat berarti lagi dari Rangga. Dia berdiri di sana dan berharap kalau Reval menyadari kehadirannya. "Hai!" sapa Revan, senyum tulus sangat terlihat pada wajahnya. Padahal dalam hati Revan sangat mengutuk dirinya sendiri. Batinnya menjerit mengapa begitu canggung kepada adik sendiri? Ayolah Revan, itu Reval saudaramu, bukan orang lain. “Lu ... lu baru pulang, Val? Gua pikir lu bakal pulang cepet. Hari ini guru rapat, kan?” tanya Revan dengan sangat canggung. Senyumnya perlahan menghilang dan digantikan dengan wajah yang membeku. Reval justru mengabaikan pertanyaan Revan. Dia mengambil gelas dan menuang air dingin dari dalam kulkas. Berusaha untuk tetap tenang walau dirinya bersorak karena berhasil melihat kembarannya tersenyum lagi. "Udah minum obat?" tanya Reval setelah menenggak habis minumannya dan menaruh gelas itu di meja makan. "Tadi siang, sih, udah. Kalau sore ini—" Brak! Reval menutup pintu dapur dengan sedikit hentakan. Suaranya hingga membuat Revan terkejut dan menghentikan ucapannya. Kemudian Reval berbalik dan menatap kembarannya dengan geram. "Minum segera dan jangan lupa makan!" titah Reval seraya meninggalkan Revan di dapur sendirian. Revan kembali kecewa, tetapi Revan sudah sangat bersyukur. Akhir-akhir ini Reval mulai membuka obrolan dengannya walau hanya canggung yang ia dapat. Berbeda dengan sebelumnya, Revan yang hanya dianggap angin kosong. Reval selalu meninggalkan dirinya tanpa menjawab omongan darinya. Setelah Reval pergi dari sana, Revan langsung ke meja makan dan menyiapkan makanan ke dalam dua piring, yang satu untuk dirinya sendiri dan yang satu lagi untuk Reval. Revan tidak kapok dengan pertemuannya di dapur, siapa tahu Revan bisa memasuki kamar itu dan makan bersama di sana. Walaupun Revan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi nanti, tidak akan semudah bayangannya untuk membujuk Reval. Bisa jadi hanya penolakan yang didapat. At least, Revan sudah berusaha dan Revan tidak ingin berspekulasi negatif kepada adiknya. Dibawanya nampan itu perlahan-lahan menuju lantai dua tempat di mana kamarnya dan kamar Reval berada. Canggung rasanya berdiri di depan kamar ini. Sudah sebulan sejak aksi Reval yang marah-marah karena Revan masuk ke kamarnya, dia tidak pernah lagi masuk ke dalam kamar kembarannya. Sekarang dia mengetuk pintu pun sangat enggan. Rencananya di bawah dan segala pemikiran yang sudah terpikirkan menjadi sangat sulit dilakukan saat ini. Dia takut kalau kembarannya marah. Dia takut kalau Reval akan mengusirnya. Dia takut kalau Reval membencinya. Ketakutan terbesarnya, dia takut kehilangan Reval. Namun Revan harus mencoba, diketuknya pintu itu dengan pelan. Tidak ada jawaban dari dalam. Kedua kalinya lebih dia keraskan pukulannya. Sampai ketukan ketiga, Revan masih belum juga mendapatkan jawaban. Dia sudah rela dan ingin berbalik ke dapur untuk mengembalikan isi piringnya. Hal itu ditunda karena kenop pintu bergerak. Pintu itu perlahan terbuka, hanya sedikit sekali bahkan tidak bisa melihat keadaan di dalam sana yang begitu gelap. Revan langsung berusaha memasukkan kakinya ke dalam kamar itu, berjaga-jaga kalau pintu akan ditutup. Benar saja dugaannya, pintu kamar langsung tertutup saat kaki Revan sudah masuk. Revan menahan sakit di kakinya. Dia tarik tidak keluar, tetapi dia tahan juga sakit. Sementara di dalam kamar, Reval berusaha untuk menahan emosinya yang sejak tadi sudah sangat tidak stabil. "Gua bawain makanan buat lu, Val. Lu pasti belum makan siang, kan?" tanya Revan sambil menahan sakit di kakinya. Reval tidak main-main, jepitan pintu itu semakin diperkuat. Revan harus kuat menahannya, selangkah lagi dirinya akan masuk ke kamar kembarannya dan dia bisa berbicara banyak dengannya. Namun, tetap saja Reval menolaknya. "Gua juga belum makan, sengaja gua nunggu lu pulang. Tadi lu suruh gua buat minum obat sama makan, kan? Makan bareng sama gua ...." Revan semakin tidak kuat menahan perih di kakinya. Indahnya perjuangan akan terasa jika prosesnya sakit, kata orang. Revan terus menahannya, berpura-pura menunjukkan senyuman tulus kepada adiknya walau Reval terus menunjukkan wajah dinginnya. Revan mulai merasakan keram pada kakinya. Impitan pintu itu sangat keras ternyata. Revan bukan menyerah, tetapi kalau diteruskan seperti ini kaki Revan akan terluka parah nanti. "Oke. Gua taruh di depan ya. Tolong renggangin pintunya bisa, Val?" tanya Revan dengan suara tertahan. Perlahan impitan pintu itu mengendur, membuat Revan bisa menarik kakinya perlahan. Bekas jepitan yang begitu terlihat dan perlahan kulitnya mulai sobek. Darah juga mengalir dari garis di sana dan mengubah warna putih kaki Revan menjadi kemerahan. "Maaf ya udah ganggu. Selamat makan, Val (Dik)," kata Revan. Jangan harap panggilan Adik keluar dari mulutnya. Panggilan itu hanya terucap di hatinya. Sangat ingin terucap dari mulut Revan. Terakhir panggilan itu keluar, teriakan Reval lah yang mendominasi rumah ini, yang membuat Revan bergidik ngeri, ketakutan, dan terkejut. Revan selalu bertanya apa kesalahannya, mengapa sampai separah ini hubungannya? Tidak ada jawaban juga. Revan meninggalkan kamar itu dengan kaki yang kesakitan. Reval menatap lantai yang di belakang pintu tadi. Masih basah dan berwarna merah terlihat di sana. Separah itu kah perbuatan Reval terhadap kakaknya dan sebesar itukah pengorbanan Revan terhadapnya? Reval ingin sekali meminta maaf. Reval ingin sekali bilang maaf kepada kakaknya. Namun. siapa dia di sini? Perbuatannya tadi mengundang kegelisahan dalam dirinya. Seperti merasakan kesakitan yang lain saat ini. Reval mungkin akan mendapatkan hukuman dari perilakunya, dan mungkin dia akan kesakitan juga malam ini. Namun, Reval lebih tidak bisa merasakan sakit ketika Revan kesakitan. Revan meninggalkan makanan yang tadi kembarannya bawa dan segera berjalan ke arah balkon kamarnya. Dia melihat Revan yang sedang meringis kesakitan karena mengobati kakinya. Reval segera melompati balkon itu, masuk melalui jendela yang terbuka dan menarik kapas serta obat merah yang di pegang Revan hingga membuatnya terkejut. “Aaaw!” "Nggak usah lebay! Itu hanya luka kecil," ucap Reval dengan nada dinginnya. Membuat Revan tersenyum dibuatnya. "Tahan sebentar aja," kata Reval selanjutnya. Selepas itu Reval langsung mengobatinya dengan telaten. Luka memanjang yang Reval lihat di sana lumayan dalam, kulitnya yang mengelupas mungkin yang membuat Revan kesakitan. Itu bukan keinginan Reval. Bukan kemauan dia melukai kembarannya. Reval hanya menjalankan tugas yang ayahnya berikan. Dia tidak bersalah. Sementara Revan mengamati kembarannya yang berada di depan dia. Melihat sosok yang tidak ada mirip-miripnya dengan dia. Revan tersadar, banyak sekali perubahan yang Revan lewati. Reval sudah semakin berbeda sekarang, kembarannya sudah sangat dewasa sementara dirinya masih saja merengek bahkan kepada Reval juga. Dia masih ingat dulu ... sangat dulu sekali waktu mereka masih awal-awal bertemu. Pertama kali Reval menganggap kalau Revan adalah saudara yang sangat dia butuhkan. Reval sering kali menghampiri Revan jika ayah membentaknya, memarahinya, menghukumnya. Sekarang kembarannya sudah jarang sekali menghampiri dia. Bahkan, bisa dibilang mereka tidak berbicara hampir lebih dari empat tahun terakhir. Revan rindu pada kembarannya, rindu senyuman Reval, rindu tawa Reval yang terkesan peit, rindu manja Reval seperti dulu, dan rindu segalanya tentang Reval. Kini, sosok di hadapannya tidak lagi anak manja yang sering menangis di hadapannya, tidak lagi merengek untuk dibela jika memiliki kesalahan. Revan sadar, ada yang tidak beres pada saudaranya. Reval bukan sosok yang tertutup, justru sosok yang sangat ingin masuk ke dalam kehidupan Revan dan membuka lebar gerbang kehidupannya untuk Revan. Namun, semuanya berubah. Revan selalu berusaha membongkar semua itu, menemukan hal janggal yang selalu ia curigai. Namun, kejeniusan Reval bukanlah tandingan untuknya. Permainan pikirannya sungguh rapi, tidak ada kegagalan walau sedikit. "Jangan lupa dimakan! Nanti lu sakit kalau gak makan," kata Revan. "Bagaimana hari ini? Is everything okay? Maafin gua, Val. Kasih gua kesempatan untuk menebus kesalahan gua, jangan seperti in terus ...!" Kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa Revan kehendaki. Suara hati yang dia wujudkan. Setelah itu Revan menyesal. Sosok yang sedang mengobatinya bahkan tidak peduli dengan semua ucapannya. "Gua kangen sama lu ...." Revan memalingkan wajahnya dari Reval, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya, berusaha untuk biasa saja pada kondisi ini. Padahal, matanya telah berkaca-kaca dari tadi, suaranya mulai bergetar saat dirinya memutuskan untuk berbicara. "Nggak usah berpikiran yang enggak-enggak!" Tidak mungkin Revan tidak memikirkan adiknya. Hanya orang yang tidak sayang dengan keluarga yang tidak memikirkan mereka dan itu jelas bukan Revan. "Cuma berpikir ada salah apa gua sama lu? itu aja," sahut Revan. "Nggak ada." Reval menyudahi kegiatannya, membuat Revan kembali menatap adiknya sekarang. Reval sempat terkejut dengan wajah basah di hadapannya, mencoba untuk tenang sebisa yang ia lakukan. "Ngapain lu nangis? Enggak usah cengeng! Lukanya udah gua obatin. Maknya jangan lemah jadi cowok!" Revan baru sadar bahwa dirinya baru saja menangis, dan sekarang aksi bodohnya sudah ketahuan oleh adiknya sendiri. Revan sungguh mengutuk dirinya sekarang, buru-buru ia menghapus jejak di wajahnya dan kembali tersenyum. "Maaf gue harus jadi orang yang cengeng kalau sama lu. Udah gua coba untuk tetap tenang, tapi kalau sama lu gua nggak bisa, Val. Bukannya empat tahun ini udah cukup buat kita diem-dieman? Baru aja kemarin lu ajak gua naik bus ke sekolah, kenapa lu nyuekin gua lagi?" Reval yang mendengar ucapan Revan tampak tidak peduli. Tangannya masih asyik membereskan P3K di hadapannya, seolah ucapan Revan adalah angin lalu. Padahal di dalam hatinya, dia sama kecewanya dengan Revan terhadap dirinya sendiri. Dia tidak lebih dari sekedar pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya. "Bisa gue tahu kesalahan gua apa?" tanya Revan. Revan menunggu jawaban adiknya, berharap bisa mendapatkan miliknya sekarang, berharap hubungannya membaik sekarang. Namun, Reval seperti mengabaikan ucapan darinya, ia justru mengembalikan P3K ke atas nakas milik Revan. "Lu nggak punya salah," sahut Reval menatap wajah Revan dari jauh. "Cukup bersikap biasa aja, Jadi Revan yang pecicilan di sekolah dan jadi anak yang nurut sama orang tua! Jauhin gua! Lupakan kalau lu punya sosok kembaran dan jangan pernah ingat tentang gua seolah kita nggak pernah kenal! Bersikap seolah lu bukan saudara gua!" Reval meninggalkan kamar ini, masih bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Padahal, ucapannya sangat menusuk di dalam hati Revan, membuat rongga besar di dalam sana yang membuat Revan kehilangan dunianya. Reval tidak peduli, Reval hanya ingin seperti ini, dirinya masih butuh Revan, masih butuh untuk melihatnya setiap hari, masih butuh untuk dipastikan kalau keadaannya baik-baik saja. Hanya dengan cara ini dia bisa mendapatkan semua itu. Dia mengunci pintu balkon, menutup jendela, lalu menyibak gorden hinga tak tersisa jejak cahaya dari luar. Dirinya sudah tidak sanggup, badannya seperti tidak ada daya saat ini, berusaha menjadi yang paling kuat memang bukan keahliannya. Lihat saja sekarang, Reval sudah duduk bersandarkan kasur kamarnya, menangis dalam diam, menumpahkan seluruh kepedihan dalam hidupnya. Tangannya mengepal, mencoba untuk menguatkan dirinya untuk menghadapi hari ini. Namun, justru membuatnya terisak semakin dalam, semakin membuat dirinya lemah saat ini. Reval ingin menyerah saat ini, ingin bilang bahwa dirinya juga kesakitan, ingin berucap bahwa dirinya juga lebih rindu sama sosok kakak kembarnya, ingin memeluk Revan juga dari tadi. Namun, tembok yang ia bangun seolah tak memiliki celah untuk ditembus dan Reval tidak mau membobolnya. Dirinya berusaha menggapai laci nakasnya, mencari benda kesayangan yang selalu mengerti keinginannya. Reval menggenggam benda itu dengan erat, mencoba mengingat kembali ucapan kakaknya, ucapan yang mampu membuat Reval lupa dengan dirinya. Reval salah, Reval pengecut, Reval cengeng, Reval penyakitan, Reval bodoh, Reval tidak lemah, Reval tidak pantas tinggal di rumah ini, bahkan Reval tidak pantas untuk hidup. Ingin sekali ia berteriak begitu di depn Revan, tetapi dia tidak bisa. Dia terus genggam benda pipih dari logam hingga tak sadar benda itu telah melukai telapak tangannya. Perih, tetapi tidak bagi Reval, itu adalah kesenangan baginya. "Gua yang lebih kangen sama lu," kata Reval. "Gua yang lebih rindu sama lu, Van! Balik, please, tolongin gua ...." Semakin erat genggamannya pada benda itu, darah yang keluar juga semakin banyak, membasahi baju dan celana yang berada di bawahnya. "Maafin. Gua sakit, Van. Bilang sama Ayah kalau gua juga sakit. Gua juga capek seperti ini, Gua juga pengen makan bareng sama lu, tapi gua nggak boleh ...." Tidak peduli dengan keadaannya, cutter itu semakin menancap dalam di kulitnya, memotong kulit yang bergesekan dengannya. Seolah tidak merasakan sakit, Reval justru semakin erat menggenggamnya. Balik, Van! Jangan pergi terlalu jauh, jangan lupain gua karena gua masih butuh lu ...." Reval mulai melemah, darah yang keluar semakin banyak, semakin mengotori lantai kamar itu. Pandangannya mengabur, perlahan mengubahnya menjadi gelap. Reval pikir dirinya akan pergi, dirinya bahkan tersenyum sebelum menutup matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD