Bab 9. Luapan Kemarahan

1505 Words
Dimas tak membuang waktu, ia langsung mengangkat tubuh Luna lalu membawanya ke tempat tidur. Ia memeriksa wajah dan seluruh tubuh Luna untuk memastikan apa yang membuat gadis itu kesakitan. "Apa yang terjadi? Apa kamu mau pingsan? Kenapa kamu berbaring di lantai? Apa kamu kesakitan?" tanya Dimas bertubi-tubi. Ia menunduk di atas tubuh Luna dengan cemas. Luna menggeleng pelan. Ingatannya baru terasa normal. Semalam, ia sudah ditolong oleh Dimas dan dibawa ke dalam rumah. Ah, rupanya ia ada di kamar Dimas. Itu artinya ia aman dari pria semalam, pikir Luna dalam hati. "Aku cuma pusing, Om. Aku mau bangun tapi tahu-tahu aku jatuh," kata Luna menerangkan. Dimas mengangguk lega. Dengan lembut ia memeriksa kening Luna. Sudah tak panas. Ia pun membuang napas panjang. "Untung aja. Aku udah panik banget kamu kenapa-kenapa." Luna tersenyum tipis menatap wajah Dimas. Separuh wajah Dimas membiusnya. Benar-benar tampan, kedua mata tajam itu sungguh indah dan rambut basah yang beraroma segar itu membuat wajah Luna langsung memerah. Ia yang malu langsung mengalihkan tatapannya ke bawah, tetapi alih-alih merasa tenang, ia justru melihat d**a terbuka Dimas. Basah! Luna mendorong pelan d**a Dimas agar pria itu menjauh. Sayangnya, ia justru melihat sesuatu yang tak ingin ia lihat. Tubuh polos Dimas! "Om ... kenapa Om nggak pakai baju?" tanya Luna terbata. Ia masih berusaha mendorong d**a Dimas dengan tangan kecilnya. Luna memejamkan matanya karena tak mau melihat tubuh Dimas. Dimas menatap ke tubuh bawahnya dan ia pun baru sadar. Sepertinya ia sangat panik tadi hingga tak sadar ia berlari keluar seperti ini. "Ah, kamu gemetar karena ini?" tanyanya sambil menahan tawa. Luna menghindari tatapan Dimas. Ia berharap pria itu menyingkir lalu memakai baju. Itu lebih aman untuknya—dan jantungnya. Sungguh gila, jantung Luna memompa dengan liar saat ini. "Kamu malu?" tanya Dimas lagi. Ia mengulurkan tangannya ke rahang Luna dan membuat mereka bertatapan lagi. Wajah Luna sungguh menggemaskan ketika seperti ini. "Om buruan bangun dan pakai baju!" pinta Luna. Namun, Dimas menggeleng. Ia langsung mencium bibir Luna karena ia tak tahan lagi. Luna mencebik ketika Dimas menarik wajahnya. Luna semakin kepanasan saja, apalagi tubuh Dimas semakin terdorong ke atas tubuhnya. Tubuh polos Dimas! Luna tak menolak ketika Dimas kembali menciumnya. Kali ini dengan lebih panas dan kasar. Namun, Luna yang beberapa kali dicium Dimas sudah merasa terbiasa. Ia membalas ciuman itu dan melingkarkan lengannya di bahu Dimas. Dimas tersenyum sambil terus melumat bibir Luna. Ia meraba lekukan tubuh Luna lalu menyelipkan tangannya di bawah punggung Luna. Ia ingin mendekap tubuh Luna lebih erat. "Ahh!" Luna mengerang. Dimas langsung menjeda ciuman. Ia menatap Luna dengan bingung karena Luna tampak kesakitan. "Apa yang terjadi?" "Sakit, Om," jawab Luna. "Punggung aku sakit banget." "Apa?" Cepat-cepat, Dimas menarik tangannya dari punggung Luna. Ia berdiri untuk mengambil handuknya yang tergeletak di lantai. Dengan cepat ia kembali ke ranjang, tentu saja dengan tubuh bawah yang sudah tertutup. "Kamu sakit di situ? Coba aku periksa. Apa Fabian yang udah bikin kamu nyampe sakit gini?" tanya Dimas. "Fabian?" Luna bertanya balik. Dimas mengangguk. "Bocah sialan yang udah kurang ajar sama kamu tadi malam." Luna baru paham. Jadi, itu Fabian yang dimaksud oleh Mira kemarin. Cucu keluarga Erlangga yang digadang-gadang akan menjadi pewaris di masa depan. "Cepat buka baju kamu, aku mau liat punggung kamu," kata Dimas. "Apa?" Luna terkesiap. Ia mendudukkan dirinya dengan malu. "Aku bisa liat sendiri di kamar mandi." "Buka baju kamu sekarang, Luna! Aku mau periksa sendiri!" perintah Dimas. Luna menelan keras. Ia memutar tubuhnya lalu mengangkat blus krem yang ia kenakan. Ia tak tahu seberapa parah lukanya, tetapi ia bisa mendengar Dimas menggeram. Ia juga merasakan tangan Dimas menjangkau ujung blusnya agar bisa mengangkat lebih tinggi. "Sial! Fabian bener-bener keterlaluan!" umpat Dimas dengan nada tak terima. Melihat lebam besar di punggung Luna membuatnya semakin marah saja. "Berapa kali dia nendang tubuh kamu?" Luna menggeleng pelan. "Aku nggak inget. Tapi, ini sakit." "Aku tahu ini sakit. Ini pasti sakit banget. Lagian ... kenapa dia ngelakuin ini sama kamu?" tanya Dimas dengan nada menyelidik. Luna menurunkan blusnya, ia lalu duduk kembali menghadap ke arah Dimas yang begitu mencemaskannya. "Dia ngira aku pelayan baru. Dan dia godain aku, dia mau cium dan peluk aku." "Apa?" Dimas mengepalkan tangannya. "Lalu?" "Aku nggak mau lah. Dan dia marah karena aku tolak, aku mau jelasin siapa aku tapi dia udah keburu ngamuk dan nampar aku," ujar Luna. Ia meraba pipinya. Sensasi panas dan perih itu masih menjalarinya. Ia sudah sering kena pukul ibu tirinya, tetapi ditampar di muka oleh orang asing baru kali ini alami. "Dia bilang ke semua orang kalau yang godain dia, Om. Tapi, bukan aku. Aku nggak kayak gitu." Dimas mengangguk berkali-kali. Ia tahu bagaimana tabiat Fabian. Jadi, dengan lembut ia segera memeluk Luna. Ia mencium sisi kepala Luna dengan penuh kasih lalu melepaskan tubuhnya hati-hati karena ia masih sakit. "Aku obati memar kamu. Buka aja baju kamu biar lebih leluasa." "Tapi ... aku bisa sendiri," kata Luna menolak. "Mana bisa, ini di belakang badan kamu. Kamu nggak bisa ngolesin salep sendiri," ujar Dimas bersikeras. Luna membuang napas panjang. "Aku mau ke toilet dulu, aku harus cuci muka. Om juga mendingan pakai baju dulu." Dimas menatap Luna yang terus menghindari d**a terbukanya. Lalu, ia pun mengangguk. Ia membiarkan Luna masuk ke toilet lalu ia segera berpakaian. Ketika Luna keluar dari toilet, gadis itu sudah melepaskan blusnya. Dengan memeluk blusnya, Luna berdiri di ambang pintu. Dimas pun tersenyum lalu melambaikan. Ia meminta Luna duduk di ranjang seperti tadi karena ia telah menyiapkan obat. "Bilang kalau nyeri," kata Dimas ketika ia mengoleskan salep obat di punggung Luna. "Aku nggak tahan ngeliat kamu kesakitan kayak semalam." "Ini nggak apa-apa," tukas Luna cepat. Ia merasakan hal aneh dalam hatinya karena selama ini jarang sekali ada orang yang mengkhawatirkannya. "Nggak apa-apa? Kamu kesakitan, Luna!" Dimas mengingatkan. "Kamu bahkan mimpi buruk dan mengigau nggak keruan tadi malam. Aku cemas dan hampir panggil dokter," kata Dimas lagi. "Kamu bisa sarapan di kamar setelah ini. Kamu bisa istirahat di sini sampai kamu sembuh." "Aku harus kuliah. Aku nggak bisa bolos," ujar Luna. Dimas menatap Luna dengan ekspresi bosan. Ia sangat ingin menahan gadis itu di kamarnya. Namun, ia memutuskan untuk mengangguk. "Oke. Kamu bisa pakai baju kamu lagi sekarang, bentar lagi pelayan pasti ke sini anter makanan kamu." "Om mau ke mana?" tanya Luna. Dimas tak menjawab. Ia hanya tersenyum ketika melihat Luna duduk dengan wajah penasaran. "Cuma bentar, nanti aku ke sini lagi." *** Dimas mengepalkan tangannya begitu ia keluar dari kamar. Dengan penuh amarah, ia menuruni tangga, menyeberangi ruang baca, ruang tengah dan dapur. Ia berjalan tanpa mempedulikan tatapan para pelayan yang penasaran sekaligus cemas. Dimas berhenti di depan pintu gudang. Ia merogoh kunci dari saku celananya lalu memasukkan kunci itu di lubangnya. Bunyi kunci yang diputar seolah menggema karena ruangan itu begitu sepi. Dimas langsung masuk dan kembali menutup pintu di belakangnya. "Kamu bisa tidur nyenyak?" tanya Dimas pada Fabian yang terduduk di kursi kecil dengan tangan dan kaki terikat. Ia tersenyum miring pada keponakannya itu. "Lepasin aku, Om! Aku bakal bilang sama papa kalau Om udah ngurung aku di sini!" teriak Fabian. Dengan napas naik-turun ia menatap Dimas mendekat. Rasa marah dan jijik mengisi hatinya. Dimas tak gentar dengan ancaman Fabian. Ia punya selusin hal untuk membalikkan fakta tersebut, ia sudah menyimpan banyak sekali aib Fabian dan jika Fabian berulah, ia bisa membuat Fabian dalam masalah sendiri. Jadi, dengan geram ia langsung mengangkat dagu Fabian. Ia mengeraskan genggamannya hingga Fabian meringis. "Kamu udah kurang ajar sama tunangan aku! Kenapa? Kenapa kamu berani sentuh dan godain dia?" Dimas bertanya keras hingga Fabian gemetar. "Itu ... dia yang ... dia yang udah godain aku duluan, Om," kata Fabian terbata. "Dia pasti tahu aku calon pewaris ... makanya ...." Fabian tak melanjutkan kata-katanya karena Dimas lebih dulu menendang perutnya. Fabian ambruk beserta kursi yang menopang dirinya. "Kamu pikir, aku bakalan percaya sama kamu? Dasar bocah tengik!" umpat Dimas. Ia berjongkok di depan wajah Fabian dan mengangkat dagunya lagi. "Luna bukan gadis kayak gitu! Dia milik aku! Kamu denger itu?" "Nggak mungkin! Dia cantik dan Om jelek, mana mau dia sama Om!" Fabian tak ingin kalah dari pria cacat di hadapannya. Jika ia dihina, maka ia juga akan menghina Dimas. "Kamu salah! Aku udah bertunangan sama Luna," kata Dimas dengan senyum penuh kemenangan. Ia menepis dagu Fabian dan meludah di sana. "Kamu harus dapat pelajaran yang berharga karena kamu udah berani menyentuh apa yang nggak seharusnya." Fabian menggeleng keras ketika Dimas mengangkat kakinya. "Ampun, Om! Ampun! Aah!" Dimas menjejakkan tendangan di d**a Fabian. Ia membiarkan keponakannya itu merintih karena ia tak peduli. Ia kembali menendang tubuh Fabian hingga merasa puas lalu ia berkacak pinggang di depan Fabian yang terkapar. "Kalau kamu berani nyentuh Luna lagi ... kamu bakal mati di tangan aku!" Dimas membalik badan lalu menutup pintu gudang keras-keras. Ika—kepala pelayan keluarga Erlangga—yang berdiri tak jauh dari sana membeku. Ia menatap pintu gudang dengan gemetar lalu mengalihkan tatapan pada Dimas yang begitu marah. "Udah lama banget tuan Dimas nggak marah kayak gini. Terakhir kali tuan marah ... waktu kejadian ledakan di kapal pesiar itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD