Bab 8. Kasih Sayang Dimas

1206 Words
"Bawa dia pergi dari sini! Aku nggak mau ada pelayan yang bertingkah di rumah ini. Udah seharusnya dia dipecat karena coba-coba godain tuan muda keluarga Erlangga!" seru Fabian seraya menunjuk ke arah Luna yang menangis gemetar di atas rerumputan. "Bisa-bisanya dia godain aku biar dia dijadikan nyonya rumah ini!" Ika hampir menyuarakan siapa sebenarnya Luna, tetapi ketika itu Hendra terlihat sudah datang bersama Dimas. Kedua pria itu terkejut melihat kerumunan yang ada di taman. "Apa yang terjadi?" suara besar Hendra membelah keheningan. "Pelayan ini bertingkah, Kek!" jawab Fabian seraya menuding Luna. Dimas menatap sengit Fabian, ia lalu menunduk pada Luna yang tergolek di atas rumput dengan wajah basah. Meskipun hari telah malam, ia bisa melihat bercak darah di ujung bibir Luna. Seketika, darah Dimas pun mendidih. Ia langsung mendekati Fabian lalu mencengkeram kerah bajunya. "Apa yang kamu lakukan sama dia?" hardik Dimas keras-keras. Fabian menepis tangan Dimas. Meskipun Dimas adalah pamannya, ia tak sudi didekati seperti ini oleh pria berwajah cacat mengerikan. "Dia godain aku, Om! Dia pengen bisa nikah sama orang tajir melintir, makanya aku kasih dia pelajaran biar dia ngerti! Dasar pelayan murahan!" "Berengsek!" Dimas mendorong tubuh Fabian. Ia melayangkan pukulan ke wajah Fabian karena ia yakin Luna bukan gadis seperti itu. Fabian yang kebingungan pun langsung limbung, pada saat itu Dimas memberikan tendangan keras hingga Fabian terlontar ke tanah keras-keras. "Kamu nggak apa-apa, Luna?" tanya Dimas seraya berlutut di depan Luna yang menangis. "Kenapa Om ...." Fabian duduk di tanah dengan napas tersengal. Ia menatap bingung Dimas yang sedang membopong tubuh lemas Luna. "Fabian! Jaga kelakuan kamu!" hardik Hendra pada cucunya. Ia ingin makan malam dengan tenang, tetapi Fabian justru membuat masalah. Ia menunjuk ke arah Luna yang ada di gendongan Dimas. "Dia adalah tunangan Dimas. Kamu harus menghormati bibi kamu!" Fabian langsung kelu mendengar ucapan kakeknya. Ia menatap Luna tak percaya. Gadis itu masih sangat muda untuk disandingkan dengan Dimas. Tak mungkin! "Aku nggak bohong, Kek. Cewek itu godain aku. Dia bera—" Dimas menatap dingin Fabian hingga pria itu bungkam. Dengan geram, Dimas pun membawa masuk Luna. Ia menatap cemas wajah Luna yang merah dan basah itu. Ia benar-benar tak terima dengan perlakuan Fabian pada Luna. "Ada apa, Tuan?" tanya Reza yang ada di dalam rumah. "Kurung Fabian di gudang!" perintah Dimas. "Jangan biarin dia lolos malam ini. Aku bakal kasih dia pelajaran nanti." "Baik, Tuan." Reza menatap Dimas yang berjalan cepat menuju anak tangga. Ia juga mengkhawatirkan Luna yang menangis sesenggukan itu. "Apa yang udah dilakuin sama Fabian kali ini?" Sementara itu, Luna yang begitu takut dan kesakitan pun mendekap tubuh Dimas. Ia melingkarkan lengannya di leher Dimas dengan erat seolah ia takut jika ia akan dilepaskan. Ia takut jika seseorang akan menghajarnya lagi dengan brutal. "Tenang, Luna. Aku di sini. Kamu aman sekarang," kata Dimas dengan nada meyakinkan. Ia membawa naik Luna melewati anak tangga dan ia merasakan Luna semakin menempel padanya. Gadis ini pasti sangat ketakutan. Dimas membawa Luna ke kamar dan membaringkannya di atas ranjang. Ia mengusap wajah Luna yang basah dengan air mata juga darah yang mengalir di ujung bibirnya. Ia menarik tisu dari atas nakas dan mulai menyeka wajah Luna. Ia meringis ketika Luna merintih sakit. Luka di ujung bibirnya cukup besar hingga pasti terasa begitu pedih. "Dasar Fabian sialan!" umpat Dimas. Ia berdiri lalu mencari kotak obat yang ada di laci meja kerjanya. Segera, Dimas kembali untuk melihat kondisi Luna. Ia begitu tak tega karena Luna yang terluka. "Tenang aja, kamu jangan nangis lagi, aku di sini, Luna." Namun, Luna dalam kondisi setengah tak sadar. Tubuhnya begitu sakit akibat tendangan dari Fabian. Ia juga merasa terlalu pusing untuk membuka mata. Ketika ia mencoba melakukannya, pandangannya begitu buram. Dimas dengan hati-hati mengobati luka di bibir Luna. Ia tak akan membiarkan Fabian lolos begitu saja. Ia pasti akan membalas apa yang sudah dilakukan Fabian pada Luna. Apalagi, Fabian berani memukul wajah cantik Luna. Dimas menyingkirkan kotak obat ketika ia selesai mengobati. Ia lalu menyelimuti tubuh Luna, tetapi ia tak meninggalkannya. Ia terus duduk di sebelah Luna kalau-kalau Luna bangun dan butuh sesuatu. Namun, Luna masih dalam kondisi yang sama. Malam bergulir, Luna hanya menggeliat sesekali. Dan itu membuat Dimas semakin cemas. "Kenapa dia kayak gini? Apa dia mimpi buruk lagi kayak semalam?" Dimas tak tahu kehidupan semacam apa yang telah dilalui oleh Luna, tetapi ia yakin itu tak begitu baik hingga ketika tidur Luna sering bermimpi buruk. Ditambah, malam ini ia mendapatkan kekerasan dari Fabian. Dengan khawatir, Dimas meletakkan tangannya di kening Luna hingga ia sadar Luna sudah mengalami demam. Kemarahan Dimas semakin memuncak. Ia sudah sangat ingin menghajar Fabian, tetapi karena kondisi Luna yang memprihatinkan, ia memutuskan untuk menemani Luna lebih dulu. "Jangan ... tolong ... jangan pukul lagi, tolong ...." Luna mengigau dalam tidurnya. Itu mengusik hati Dimas. Dimas bersumpah dalam hati bahwa ia tak akan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi pada Luna. Ia akan menjaga Luna dengan baik mulai hari ini. Dimas meninggalkan kamarnya hanya untuk mengambil baskom dan air hangat. Ia segera kembali ke sisi Luna dan meletakkan kompres hangat di kening Luna. Sesekali, ia menyeka keringat dan air mata di wajah Luna. Gadis ini masih meracau, entah karena takut atau sakit. Mungkin keduanya. Melihat itu, Dimas semakin tak tega. Ia sudah berniat untuk memanggil dokter keluarga mereka, tetapi tak lama Luna terlihat lebih tenang. Suhu tubuhnya menurun dan ia tak mengigau lagi. Dimas membuang napas lega. Ia menoleh ke jam dinding dan baru sadar, ia sudah berjam-jam mengurus Luna. Ini bahkan sudah lewat tengah malam. Dimas mengusap pelan puncak kepala Luna dengan harapan, Luna akan sembuh besok pagi. Ia memutuskan untuk mematikan lampu lalu turut berbaring di sebelah Luna. "Besok pagi ... setelah kamu lebih baik, aku bakal kasih pelajaran bagi Fabian. Kamu tenang aja, dia bakal dapat balasan yang setimpal dari aku." Dimas tak lantas tidur, ia masih mengecek kondisi Luna hampir setiap menit. Ia cemas jika Luna akan menangis ketakutan lagi. *** Keesokan harinya, Luna terbangun dalam keadaan pusing. Ia menjatuhkan kompres yang semula menempel di keningnya. Ia masih tak ingat ia berada di mana. Namun, ia ingat semalam ia sudah bertemu pria tak dikenal yang menuduhnya macam-macam. Lalu tamparan dan tendangan itu! Luna menggeleng, ia terlalu takut dan merasa ia harus kabur. Dengan tangan memegangi kepalanya, Luna pun memiringkan badannya dan hendak bangun. Ia tak sadar bahwa ia tidur dengan posisi berada di pinggir ranjang. Hingga akhirnya, alih-alih bisa terbangun, ia justru terjatuh ke lantai. "Ah!" Luna memekik keras karena rasa kaget dan sakit yang mendera tubuhnya. "Aduh. Sakit banget!" Luna mengusap punggung dan bokongnya yang pedih akibat jatuh dari ranjang besar Dimas. Ia mengernyit lalu menangis bingung. Sementara itu, Dimas yang sedang mandi di bawah guyuran shower langsung mematikan aliran air. Ia mendengar sesuatu dan ia panik! Ia menajamkan telinganya untuk mendengarkan. Itu jelas teriakan Luna. Gadis manis itu sudah bangun dan kesakitan? "Apa yang terjadi?" Dimas mengusap rambut basahnya ke belakang. Dengan tergesa-gesa, ia menyambar handuk lalu melingkarkannya di pinggang. Ia terlalu khawatir dengan kondisi Luna saat ini. Setengah berlari, ia keluar dari kamar mandi dan ia terkejut melihat Luna yang tergeletak di lantai sambil menangis. "Luna! Kamu kenapa?" tanya Dimas. Dimas mempercepat langkah, tetapi ia tak sadar bahwa kaitan handuknya baru saja terlepas dan ia mendekati Luna tanpa mengenakan apapun lagi saking paniknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD