Bab 1. Apakah Dia Masih Perawan?
Luna tak mendengar apa pun kecuali detak jantungnya sendiri yang menggila. Sejak beberapa menit yang lalu ia berbaring di atas sebuah ranjang asing di vila keluarga Erlangga. Ia menoleh ke kanan-kiri, tetapi tak banyak yang bisa ia lihat karena ruangan yang gelap. Hingga akhirnya, suara detak jantung itu terusik oleh derit pintu yang terbuka.
"Apa dia pria itu?" batin Luna bertanya. Ia tak bisa melihat jelas wajah pria itu karena ia berdiri membelakangi cahaya dari bukaan pintu.
Lalu, pintu tersebut kembali tertutup diikuti bunyi klik sebagai tanda bahwa pintu telah dikunci. Seluruh tubuh Luna menegang, ia menarik diri ke atas ketika pria itu berjalan mendekat.
Luna menelan keras. Ia tahu, pria itu adalah Dimas Erlangga, pria yang menjadi tunangannya sejak malam ini. Aroma alkohol yang menguar dari tubuh Dimas membuatnya dua kali lebih gugup. Karena sesungguhnya, Luna tak pernah mengenal siapa Dimas. Hanya namanya—dan juga rumor mengerikan tentangnya—yang ia dengar.
"Papa ... yang ngirim aku ke sini ... buat Om," kata Luna terbata.
"Aku tahu." Suara berat Dimas membelah ruangan. "Pak Rahmat udah ngasih kamu ke aku. Ini malam pertunangan kita."
Luna mengangguk berat. "Ya."
Luna sangat ingin menangis saat ini. Jika saja perusahaan ayahnya tidak bangkrut, ia tak akan diberikan kepada keluarga Erlangga, keluarga kaya raya di ibukota. Ayahnya, Rahmat, membutuhkan uang banyak untuk mengatasi krisis perusahaan hingga ia harus menjadi tunangan Dimas. Padahal yang ia dengar tentang Dimas sangatlah buruk. Pria itu dingin, kasar, aneh dan memiliki wajah jelek.
"Siapa nama kamu?" Dimas bertanya dengan kasar. Ia mendekati ranjang lalu menjulurkan tangannya ke wajah Luna.
"Lu-Luna." Luna menjawab takut-takut.
Luna menarik wajahnya ke kiri ketika ia merasakan tangan besar Dimas mendarat di sana. Napasnya naik-turun tak terkendali karena ia sangat ketakutan.
"Jangan!" cicit Luna. Aroma alkohol itu semakin tajam menusuk hidungnya hingga Luna mengernyit. "Jangan, Om!"
"Nggak ada gunanya kamu teriak," kata Dimas dengan nada dingin. "Kita hanya berdua di sini."
Dimas tersenyum miring dalam kegelapan. Tampaknya, gadis itu terlalu takut. Jadi, ia pun menarik tangannya. Ia lalu mulai melepaskan kancing kemejanya satu persatu di depan Luna.
Luna menggeleng. Meskipun ruangan itu gelap, ia bisa melihat samar-samar pria yang berdiri di sebelah ranjang. Dimas tengah sibuk melepaskan kancing kemejanya lalu membiarkan kain putih itu meluncur bebas ke lantai. Hal berikutnya lebih menakutkan bagi Luna, ketika pria itu membuka sabuk celananya.
"Om mau ngapain?" Luna kembali menarik tubuhnya ke atas hingga ia bisa setengah duduk. Luna merasakan Dimas semakin dekat lalu duduk di tepi ranjang dengan d**a terbuka. Wajah Luna memanas, andai saja ruangan ini tak gelap, ia yakin Dimas bisa melihatnya memerah.
"Bukannya kamu tunangan aku," ujar Dimas. Ia merangkak di ranjang, mengikis jarak di antara ia dengan Luna.
Dimas kembali menjamah pipi Luna. Ia menahannya kali ini karena tak ingin gadis itu berpaling. Ia lalu meraba bibir lembut Luna dengan ujung jempolnya. Sungguh menarik, gadis ini tampaknya begitu cantik meskipun mereka di bawah kegelapan. Dan ia cukup terkejut karena gadis ini kelihatannya begitu kecil dan masih belia.
"Om nggak akan bohong, 'kan? Keluarga Om bakal kasih investasi ke perusahaan papa aku?" tanya Luna di sela ketakutan yang menderanya. Ia tak ingin merugi, entah apa yang akan ia alami malam ini.
Dimas mendengkus. "Kamu nggak perlu khawatir."
Dimas menurunkan tangannya dari wajah Luna, ia membelai leher dan bahu Luna. Tangan Dimas berhenti di blus Luna hingga ia bisa menemukan kancing teratasnya. Dimas kembali tersenyum miring ketika Luna berusaha memberontak dengan menggeliat. Ia bisa merasakan tangan kecil Luna mendorong tubuhnya, tetapi ia tak peduli.
"Rileks!" Dimas memerintah hingga tubuh Luna kembali membeku.
Luna mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah upaya terbaik agar keluarganya tidak bangkrut. Ia harus berkorban demi keluarganya.
"Kamu nggak perlu melawan, kamu udah diberikan sama aku," bisik Dimas di telinga Luna.
Karena Luna dalam posisi terduduk, Dimas lebih mudah melepaskan blus gadis itu. Kedua tangannya lalu menyusup ke belakang punggung Luna.
"Ah, jangan!" pekik Luna ketika ia merasakan Dimas melepaskan kaitan bra yang ia kenakan. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan d**a sebagai pertahanan terakhir. Sayang, Dimas jauh lebih kuat dibandingkan dirinya. Detik berikutnya, d**a lembutnya yang membusung telah terpapar di depan wajah Dimas.
"Aku mohon ... Om, jangan dong!" rintih Luna. Napas Dimas terasa di wajahnya kali ini. Selama beberapa detik sebelum akhirnya Dimas bergerak ke bawah. Selama beberapa detik itu pula, Luna mencoba menelaah seperti apa tampang Dimas. Oh, ia tak bisa!
Dengan mudah, Dimas kini melucuti setiap lembar kain yang menempel di tubuh bawah Luna. Ia menekuk kedua kaki Luna lalu menarik turun kain terakhir yang ada di tubuh Luna. Ia merasakan perlawanan ketika gadis itu merapatkan kedua pahanya, tetapi ia tak akan kalah. Akhirnya, ia bisa membuat tubuh Luna benar-benar polos.
"Plis, aku mohon, jangan kayak gini, Om!" pinta Luna frustrasi. Ia tahu takdirnya sudah ditentukan sejak ia dikirim ke vila ini. Ia akan menjadi mangsa empuk Dimas, begitu yang ia pikirkan.
Tubuh Luna tersentak, karena tampaknya Dimas tak peduli ketika ia memohon. Dimas menarik tubuhnya hingga ia kembali terbaring. Namun, kini ada tubuh Dimas yang memenjara. Dimas menindih tubuhnya tanpa ampun hingga Luna bisa merasa d**a kokoh Dimas menempel di dadanya—yang sama-sama terbuka.
Kedua tangan Luna tergeletak lemas di sisi wajah. Tentu saja Dimas mencengkeram kedua tangan itu.
"Kamu punya tubuh yang indah," bisik Dimas di telinga Luna.
Ketika itu, salah satu tangan Dimas melepaskan cengkeramannya. Tangan itu mulai menari di setiap inchi tubuh Luna. Leher, tengkuk , bahu, d**a, pinggang dan perut. Semuanya tak luput dari sentuhan Dimas yang memabukkan. Dimas bisa mendengar desah lirih Luna setiap kali ia bergerak dan itu membuatnya tersenyum diam-diam.
Luna menggeleng keras ketika tangan Dimas berhenti di tubuh bawahnya. Ia mencoba menendang, tetapi jemari Dimas lebih terampil bermain. Dimas kembali melebarkan kedua kaki Luna agar jarinya bisa menerobos.
"Jangan! Jangan, aku mohon!" Luna tak percaya dengan semua ini, ia masih 19 tahun sementara yang ia dengar tentang Dimas adalah pria itu telah berusia 35 tahun. Akankah ia kehilangan mahkotanya untuk Dimas malam ini?
"Kamu nggak perlu melawan," desis Dimas. Ia mulai mencium bibir Luna untuk membuat gadis itu lebih tenang.
"Ugh!" Luna merintih di bibir Dimas dan pria itu melepaskan ciuman. Mereka bertatapan meskipun Luna tak bisa melihat wajah Dimas. Ia terlalu gugup saat ini untuk memikirkan pria seperti apa yang tengah bergerilya di atas tubuhnya—dan di inti tubuhnya.
"Ah, ini ... sakit, Om!" rintih Luna. "Jangan! Sakit!"
Dimas melebarkan kedua matanya. Ia menatap Luna tengah menggigit bibirnya, menahan sakit dengan wajah yang pastinya memerah.
"Ah! Sakit!" pekik Luna lebih keras. Ia tak kuasa lagi menahan pedih hingga air mata pun mengalir di wajahnya. Rasa sakit yang tak terperi menjalar di tubuh Luna akibat ulah Dimas.
Dimas mengabaikan reaksi Luna karena ia masih ingin memeriksa. Jari Dimas bergerak lebih dalam di tubuh Luna. Ia tahu, ketika gadis ini menekuk lututnya lebih rapat dan mencengkeram bahunya, ia bisa menilai. Senyum miring Dimas terpampang di wajahnya ketika jarinya lebih dalam menjangkau liang sempit itu.
"Gadis ini ternyata masih perawan!" batin Dimas.