Luna kembali ke kampus pagi itu dengan diantarkan mobil mewah dan sopir keluarga Erlangga. Ia hanya sempat bicara sebentar dengan Dimas setelah sarapan tadi karena ia buru-buru pulang untuk bisa berangkat kuliah. Sementara Dimas juga disibukkan dengan persiapan ke kantor.
"Dia udah tinggal di rumah megah keluarga Erlangga."
"Ehm, nggak heran. Makanya dia dianter pakai mobil mewah terus."
"Tunangannya om-om. Gila banget, 'kan?"
Luna menoleh ke kanan-kiri ketika ia mendengar beberapa mahasiswi berbicara dengan mata tertuju padanya. Jelas sekali mereka sedang menggosipkan dirinya. Luna pun hanya bisa membuang napas panjang karena itu memang fakta. Barangkali, mereka menilai dirinya adalah gadis murahan yang menjual dirinya.
Luna dengan geram duduk di bangku kelasnya. Apakah seburuk itu menjadi tunangan Dimas? Padahal, ia terus merasa bahwa sebenarnya Dimas memiliki hati yang baik. Yah, ia tahu Dimas pernah kasar padanya. Namun, Dimas juga sangat penyayang.
"Kenapa lo galau?" tanya Cantika yang baru datang. Teman dekat Luna itu duduk di sebelahnya.
"Banyak yang gosipin gue di luar!" gerutu Luna.
Cantika dengan prihatin menepuk punggung temannya. "Lo nggak usah galau lagi. Hari ini kita ada kunjungan ke Hero Company. Lo nggak lupa, 'kan?"
"Hah? Iya ya? Hari ini?" Luna terkesiap.
"Ya ampun! Udah gue duga lo lupa!" Cantika mendesis pelan. "Ntar jam 9.00, kita duduk bareng di bus. Oke?"
Luna mengangguk. Ia paling senang dengan kunjungan perusahaan. Apalagi itu adalah Hero Company. Perusahaan besar itu bergerak di bidang seni. Mereka sering menggelar pameran luar biasa, pertunjukan teater, film pendek dan juga merekrut banyak sekali seniman untuk bekerja sama.
Luna yang tadinya merasa kesal, kini menjadi tak sabaran untuk datang ke sana. Ia membuka cermin kecil di tasnya. Beruntung, bekas luka tamparan Fabian bisa ia samarkan dengan alat riasnya.
Waktu kunjungan pun akhirnya tiba. Luna dengan riang berjalan memasuki gedung Hero Company bersama Cantika dan teman-temannya yang lain. Kedua matanya mengedar menatap lukisan-lukisan indah yang dipajang di beberapa bagian lobi. Luna semakin antusias ketika melihat para ilustrator yang bekerja di sana. Perusahaan ini tampak sangat menyenangkan dan keren.
Ketika acara kunjungan itu berakhir, Luna dan Cantika berniat untuk kembali ke bus, tetapi Luna tiba-tiba melihat seseorang yang tak asing.
"Lo liatin siapa?" tanya Cantika penasaran.
"Bentar, kayaknya itu om Dimas," jawab Luna. Ia menunjuk ke arah dua pria yang berjalan menuju lift. Ia mengenalinya sebagai Dimas dan Reza, asisten Dimas.
"Itu?" Cantika menatap lurus ke arah Dimas, tetapi ia tak bisa melihat jelas.
"Gue mau nyapa dia dulu!" Luna berlari riang ke arah Dimas. Ia tak tahu Dimas bekerja di sini dan ia tak tahu Dimas bekerja di bagian apa. Namun, karena ia sudah melihat sebagian isi perusahaan ini tadi, ia menjadi begitu bersemangat. Dimas ternyata bekerja di perusahaan yang keren!
"Om Dimas!" panggil Luna pada Dimas.
Dimas dan Reza yang sedang menunggu lift pun menoleh bersamaan. Reza mengerutkan kening melihat Luna yang cengengesan menyapa tuannya sementara Dimas tampak agak terkejut dengan kemunculan Luna.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Dimas. Ia mengedarkan matanya. Ia melihat Luna mengenakan kalung ungu sebagai tanda pengunjung perusahaan, begitu juga beberapa orang yang masih lalu-lalang di lobi. "Kamu ada kunjungan?"
"Ya. Dari kampus," jawab Luna. "Aku ngeliat Om makanya aku mau nyapa bentar."
Dimas tersenyum tipis. Gadis di depannya ini sangat manis. "Makasih kamu udah mau nyapa aku."
"Ehm ... Om kerja di sini?" tanya Luna dengan sedikit berbisik. Ia sudah mengikis jarak di antara dirinya dan Dimas.
"Ya, aku kerja di sini," jawab Dimas. Reza berdehem di belakangnya seolah ia kaget atau hendak menceploskan bahwa Dimas adalah pemilik perusahaan ini. "Kenapa?"
"Hero Company keren banget!" ucap Luna lagi. "Om kerja yang baik ya, aku harus balik ke kampus."
"Ya. Aku juga harus kerja," tukas Dimas. Ia mengusap pelan puncak kepala Luna. "Aku pasti bakal kerja keras demi kamu."
Luna mengulum bibir lalu melambaikan tangan. Dengan sedikit berlari ia meninggalkan Dimas dan Reza.
Kedua mata Dimas masih terpaku pada Luna sementara bibirnya tersenyum tipis. Gadis itu semakin pandai mencuri hatinya saja. Sungguh, ia tak menduga Luna mau menyapanya di depan umum seperti ini.
"Kita naik, Tuan," kata Reza yang tengah menahan pintu lift.
"Ya." Dimas menyeruak masuk ke lift.
"Kenapa Tuan diem aja? Harusnya Tuan bilang sama nona Luna kalau Anda adalah pemilik perusahaan ini. Anda juga memiliki perusahaan rahasia ya—"
"Dia nggak perlu tahu lebih banyak," tukas Dimas. "Untuk saat ini." Ia menambahkan.
"Dia kelihatannya tulus sama Tuan. Apa Tuan masih ragu?" tanya Reza.
"Bukannya ragu, tapi ... lucu aja ngeliat dia yang polos gitu," kata Dimas.
Reza membuang napas panjang melihat tuannya tersenyum lebih lebar. "Dia pasti mengira Anda adalah karyawan biasa dan Anda nggak punya apa-apa. Anda bahkan bukan pewaris keluarga Erlangga, seperti yang digaungkan oleh semua orang."
Dimas merapikan dasinya lalu menoleh pada Reza. "Aku nggak peduli dengan omongan orang lain. Tapi ... Luna bilang perusahaan ini keren. Ini udah cukup."
Reza mengangguk pelan. Asalkan tuannya merasa senang. Ia tak akan protes.
***
Sementara itu, ketika Luna kembali ke bus bersama Cantika dan yang lain, Luna masih merasa begitu bersemangat. Kunjungannya terasa menyenangkan dan ia juga bisa bertemu dengan Dimas. Sungguh hari yang menyenangkan!
Di sebelahnya, Cantika hanya bisa menatap prihatin Luna. Ia tak mengerti kenapa Luna terus tersenyum seperti orang gila, padahal yang ia lihat tadi hanyalah pria jelek dengan wajah cacat.
"Lun, gue sedih lo harus tunangan sama cowok kayak tadi." Cantika membuka suaranya.
"Kenapa emangnya?" tanya Luna tak mengerti.
"Kenapa emangnya?" ulang Cantika dengan nada mencela. Gadis itu membuang napas panjang. "Lo tuh cantik banget tahu nggak? Kenapa lo harus tunangan sama cowok yang mukanya cacat gitu? Gue kasihan sama lo. Harusnya lo bisa pacaran sama cowok yang ganteng."
"Ehm ... lo nggak perlu kasihan sama gue," kata Luna dengan nada meyakinkan. "Lo nggak kenal sama om Dimas."
Cantika lagi-lagi mendengkus. "Tuh 'kan! Dia aja jauh lebih dewasa dari lo. Gue tuh beneran kasihan sama lo."
"Gue tahu itu. Dia emang udah 35 tahun, tapi dia baik banget sama gue. Dia sayang sama gue, Can," kata Luna membela Dimas.
"Iyalah, iya!" Cantika melipat kedua tangannya di depan d**a. "Andai aja Dimas adalah putra pertama dan pewaris, gue pasti rela. Paling nggak dia tajir. Tapi dia bukan apa-apa di keluarga Erlangga." Cantika menepuk pundak Luna dengan penuh prihatin.
"Gue nggak mikirin soal harta benda," ujar Luna yang telah melihat rumah Dimas. Walaupun Dimas bukan pewaris dan hanya karyawan biasa, baginya Dimas sangat keren. Rumahnya juga mewah walaupun ia menebak itu adalah rumah milik Hendra.
"Sebenarnya, dia ganteng, Can. Aku udah liat mukanya dari dekat," kata Luna dengan malu-malu.
"Ganteng? Masa sih?" Cantika menatap Luna antusias.
"Iya. Mukanya yang sebelah terluka gara-gara kebakaran," jawab Luna.
"Lo tahu kejadiannya gimana? Kok bisa nyampe kayak gitu sih?" Cantika semakin penasaran.
Luna menggeleng pelan. Tadinya, ia tak ingin mencari tahu, tetapi kini ia mulai ikut penasaran dan ia sungguh ingin tahu apa yang membuat wajah Dimas rusak sebelah.
***
Seperti hari sebelumnya, sore itu setelah pulang kuliah Luna dibawa ke kediaman keluarga Erlangga. Namun, ada hal yang berbeda di sana sore itu. Dimas tak ada dan Ika yang menyambut kedatangan Luna. Kepala pelayan itu dengan hormat membungkuk pada Luna lalu membawanya masuk.
"Om Dimas ke mana, Bi?" tanya Luna penasaran.
"Tuan Dimas masih ada pekerjaan. Beliau sedang menghadiri acara santunan. Itu adalah program kegiatan amal yang diadakan oleh perusahaan," jawab Ika. "Anda bisa bersantai dulu. Mungkin, Tuan akan pulang terlambat."
Luna mengangguk. Ia masih belum terbiasa dengan rumah ini, jadi ia hanya mengikuti langkah Ika. Ia menoleh ke kanan kiri hingga akhirnya ia melihat sesuatu di atas buffet. Sepertinya itu foto lama, pikir Luna.
"Ini ... foto Om Dimas?" tanya Luna tanpa mengalihkan tatapannya dari foto yang berisi 3 orang tersebut.
Ika tampak terkejut karena Luna sudah menegang sebuah pigura. Ia lalu mengambil pigura tersebut dan menyimpannya di laci. "Maaf, saya tidak tahu bagaimana itu bisa berada di sini."
"Tapi ... aku mau tahu." Luna yang sejak di kampus sudah penasaran dengan bekas luka bakar Dimas, kini semakin penasaran saja. Apalagi melihat foto lama Dimas yang tersenyum bahagia membuatnya sangat sedih. Andai saja tak ada kebakaran itu, pasti Dimas akan baik-baik saja. Bahkan, di foto itu Dimas terlihat begitu tampan.
"Bibi bisa cerita ke aku, kenapa wajah om Dimas bisa rusak?" tanya Luna penuh harap.