bab 13

1380 Words
Danisa duduk di tepi jendela rumah kayu tua, memandangi halaman yang dipenuhi rerumputan liar. Dia tinggal di rumah kakek dan nenek Mei, sengaja membiarkan apartemennya kosong hanya untuk menjauh dari Ethan. Rumah kakek dan nenek Mei itu memang sudah lama tak berpenghuni, namun masih terasa nyaman dan yang penting rumah itu cukup terpencil untuk membuatnya merasa aman dari pencarian Ethan. Ia membutuhkan tempat untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, untuk merenung tanpa harus takut akan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya. Sepertinya kabur dari masalah adalah kebiasaan Danisa. Hari-hari berlalu dengan tenang, meski perasaan cemas tak pernah benar-benar hilang dari hati Danisa. Ia tahu, cepat atau lambat Ethan akan mencari dan mungkin menemukan jejaknya, namun kali ini ia tak ingin kembali dalam kekangan dan manipulasi Ethan yang sudah membuatnya merasa terperangkap. Di tempat lain, Ethan sudah dikuasai amarah dan kebingungan. Ia sudah mencari Danisa ke mana-mana, menyusuri semua tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, mencoba mencari tahu siapa saja teman-temannya, namun hasilnya nihil. Entah sudah berapa kali dia mendatangi apartemen Danisa, dan sebanyak itulah dia menelan kekecewaan. Danisa seolah lenyap begitu saja dari kehidupannya tanpa jejak. Tidak ada nomor yang bisa ia hubungi, tidak ada kabar yang bisa ia dapatkan, bahkan Mei yang sempat ditemuinya pun menolak memberi tahu keberadaan Danisa. Danisa meninggalkan ponsel lamanya di apartemen dengan keadaan mati, dan ia memilih membeli ponsel baru. Dia tak kesulitan dalam hal pekerjaan karena profesinya sebagai penulis, dia bisa mengerjakannya dari mana saja asal selesai sebelum tenggat waktu. Keadaan itu semakin memperburuk suasana hati Ethan. Tak hanya merasa kehilangan, ia juga dipenuhi rasa frustrasi yang tak tertahankan. Terlebih lagi, ia juga tahu bahwa Danisa telah membatalkan rencana kontrak kerjanya dengan Methan di saat-saat terakhir. Itu membuatnya semakin marah, merasa ditinggalkan dan dikhianati begitu saja tanpa penjelasan. Ethan menggenggam dokumen yang diserahkan oleh sekretarisnya yaitu dokumen terkait kontrak kerja yang seharusnya ditandatangani Danisa dan malah batal secara sepihak. Baginya, ini bukan hanya soal pekerjaan yang terlewat, namun lebih kepada pembuktian bahwa Danisa benar-benar berniat memutuskan semua keterikatan dengannya. Dan itu terasa menohok hati Ethan lebih dari apapun. Sampai akhirnya, sebuah ide muncul di kepalanya. Jika Danisa tak mau muncul dengan sendirinya, maka ia akan memaksanya untuk datang. Sudah menjadi kebiasaannya, dia selalu memaksa dan melakukan segala cara demi untuk mewujudkan apa yang ia mau. Ia segera menyiapkan sebuah rencana yang tak akan bisa dihindari Danisa. Dengan bantuan tim hukumnya, Ethan melayangkan tuntutan kepada Mei selaku pemimpin Tim Pena, menuntutnya atas kerugian akibat pembatalan kontrak sepihak. Gugatan itu meminta ganti rugi dalam jumlah besar yang tak mungkin bisa diabaikan, dan tentunya, Mei tak punya pilihan selain menghadapinya dengan serius. Beberapa hari kemudian, Danisa sedang duduk di ruang tamu rumah kakek nenek Mei, ketika ia menerima pesan dari Mei yang tampak cemas. Mei menghubunginya, meminta bertemu untuk berbicara langsung. Setelah mendapat pesan yang mendesak itu, Danisa setuju untuk datang ke sebuah kafe kecil tak jauh dari rumah kakek nenek Mei. Saat mereka bertemu, Mei tampak gelisah dan segera menjelaskan situasi yang sedang dihadapinya. "Danisa, ini semua di luar dugaan. Ini gawat, Ethan … dia menuntutku karena dianggap membatalkan kontrak kerjamu secara sepihak. Dia minta ganti rugi dan jumlah ganti rugi yang dia minta … itu hampir mustahil untuk aku bayar." Danisa tertegun, hatinya serasa mencelos. Ia tak menyangka Ethan akan melakukan tindakan sejauh itu. Meski ia ingin lari dari bayangan Ethan, tapi kenyataannya, Mei sekarang ikut terlibat karena keputusannya untuk mundur dari pekerjaan. Ini semua terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. “Danisa, aku tahu ini sangat rumit, tapi aku tidak punya pilihan lain,” Mei melanjutkan dengan suara bergetar. “Aku nggak bisa membayar jumlah yang diminta. Ethan benar-benar serius dengan tuntutan ini. Dia bilang dia akan terus menuntut sampai aku membayar penuh, dan ini bisa merusak reputasi Tim Pena.” Mei terlihat begitu frustrasi. "Kita memang belum tanda tangan kontrak, tapi Pak Markus punya rekaman telepon denganku di mana aku mengiyakan ajakan kerja sama itu. Dan aku yakin, ini semua hanya akal-akalan Ethan supaya kamu menemui dia. Walau aku nggak sepenuhnya salah, aku sadar Tim Pena cuma perusahaan kecil, nggak akan bisa menang melawan Methan. Ethan punya kuasa, Danisa." Danisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Ia tahu bahwa Ethan menggunakan cara ini untuk memaksanya keluar dari persembunyian. Ia tahu bahwa jika ia tetap berdiam diri, Mei yang akan menanggung akibatnya. Dan Danisa tidak mungkin membiarkan sahabatnya menerima beban berat ini hanya karena dirinya. “Aku akan menemui Ethan,” kata Danisa akhirnya, suaranya penuh tekad meski hatinya masih diliputi keraguan. “Aku akan menyelesaikan semua ini dengannya.” Mei memandang Danisa dengan tatapan penuh kekhawatiran, tapi dia mengangguk perlahan. “Hati-hati, Danisa. Ethan terlihat semakin keras kepala. Aku cuma berharap kau bisa menyelesaikannya tanpa harus terjebak dengannya lagi.” Danisa tersenyum samar, meski senyuman itu tak sepenuhnya menyembunyikan perasaan pedih yang ia rasakan. “Aku harus menyelesaikan ini, Mei. Jika aku tidak menemuinya, dia hanya akan terus menyakitimu … dan mungkin akan melibatkan orang lain lagi. Ini bukan lagi soal hubungan kami, tapi soal harga diri dan keputusan yang sudah kuambil." Beberapa jam kemudian, Danisa berdiri di depan gedung megah kantor Methan, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk ke lobi yang penuh dengan nuansa formal dan mewah. Di sana, seorang resepsionis dengan ramah membantunya dan segera memanggil karyawan lain untuk mengantarkan Danisa ke ruangan Ethan. “Silakan ikuti saya, Mbak Danisa,” ujar karyawan itu sopan. Danisa mengikuti langkahnya dengan perasaan campur aduk. Setiap langkah di lorong panjang dan elegan itu semakin mendekatkannya pada pertemuan yang telah ia tunda begitu lama. Hingga akhirnya mereka tiba di depan pintu ruangan Ethan, dan sang karyawan mengetuknya perlahan. “Pak Ethan, tamunya sudah tiba,” ujar karyawan tersebut dengan suara tegas. “Masuk,” jawab Ethan dari dalam ruangan, suaranya terdengar penuh kontrol. Karyawan itu mempersilakan Danisa masuk sebelum meninggalkannya. Dengan langkah mantap, Danisa melangkah ke dalam, lalu menutup pintu di belakangnya. Ruangan kantor Ethan terasa besar dan megah, menambah kesan dingin dan formal yang seolah melambangkan sosok Ethan di matanya sekarang. Sebelumnya, Danisa tak terlalu memperhatikan setiap sudut ruangan itu. Ethan, yang duduk di belakang mejanya, langsung menoleh. Seketika ekspresi wajahnya berubah setelah melihat Danisa. Matanya menyiratkan gabungan antara kepuasan dan kemarahan yang begitu kuat, seolah dia sudah menunggu saat itu tiba. “Kamu akhirnya muncul,” katanya dengan nada sinis, matanya tajam menatap Danisa penuh intensitas. “Aku pikir kamu akan terus bersembunyi.” “Aku tidak punya pilihan,” jawab Danisa, mencoba mengendalikan dirinya. “Tapi kita perlu bicara. Bukan dengan ancaman, bukan dengan paksaan. Kita selesaikan ini dengan cara yang dewasa, Ethan.” Ethan berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat, senyumnya tipis namun penuh ketegangan. “Cara dewasa, ya? Jadi menurut kamu, keputusan sepihakmu itu adalah sikap yang dewasa?” Danisa terdiam sejenak, menahan gejolak emosinya. Dia masih berdiri dan enggan untuk duduk. “Aku sudah cukup menderita, Ethan. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayangmu. Jika kamu benar-benar ingin menyelesaikan ini, lepaskan Mei dari masalah ini. Biarkan dia bebas dari tuntutan, dan kita bisa bicara baik-baik.” Ethan menyilangkan tangan di dadanya, tatapannya semakin tajam. “Kamu yang memaksaku melakukan ini, Danisa. Kamu lari, kamu tinggalkan semua tanpa penjelasan. Dan sekarang, kamu datang untuk memberi perintah?” Danisa menatap Ethan dengan ketegaran yang sama. “Aku datang bukan untuk memberi perintah, Ethan. Aku datang untuk menyelesaikan semua ini. Jika ini tentang kita, jangan libatkan orang lain. Aku akan lakukan apa pun yang kamu mau, asalkan kamu berhenti menyakiti orang-orang yang nggak bersalah.” Kata-kata itu membuat Ethan terdiam sejenak, tapi ia tetap menampilkan wajah tegas tanpa rasa kompromi. “Kalau begitu, kita lihat saja, Danisa,” ujarnya dengan suara dingin. “Buktikan padaku kalau kamu benar-benar ingin menyelesaikan ini.” Danisa tak gentar. “Aku siap. Tapi jangan berharap aku akan kembali begitu saja ke dalam permainanmu.” Mereka berdua saling menatap, keheningan yang penuh dengan ketegangan melingkupi ruangan besar itu. Pertemuan ini adalah pertarungan antara cinta, kemarahan, dan harga diri, dan Danisa tahu, ia harus bertahan dengan segala keberanian yang dimilikinya, atau sekali lagi ia akan jatuh dalam jebakan Ethan yang tak kenal ampun. "Aku akan menarik gugatanku, tapi dengan syarat." Ethan menyeringai. "Tidur denganku," lanjutnya. Seringainya makin menjadi, sementara bulu kuduk Danisa berdiri. Wanita itu ketakutan dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD