Ethan marah, dia mengejar Danisa yang pergi belum terlalu jauh dari tempat sebelumnya. Dipegang pergelangan tangan wanita itu dan lalu menariknya, memaksa Danisa mengikutinya.
Di hadapan para karyawan dan Mei yang masih penasaran dengan apa yang terjadi, Ethan tak peduli dan malah memaksa Danisa mengikutinya ke ruang kantornya.
Sebenarnya Danisa tak mau, sudah berulang kali dia berusaha lepas dari cengkeraman Ethan. Tapi tentu saja itu sia-sia. Menggunakan lift dan melewati banyak ruangan, akhirnya mereka tiba di ruangan kantor Ethan.
Ethan menghempaskan pintu kantornya dan menatap Danisa dengan sorot mata penuh amarah yang berusaha dia kendalikan. Di ruangan yang besar itulah baru dia melepaskan tangan Danisa.
Danisa yang berdiri di depan Ethan tampak ragu-ragu setelah menyadari kemarahan Ethan, dia sedikit menunduk, tapi tetap mencoba mempertahankan sikap beraninya. Dia tahu Ethan tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Sementara hubungan mereka belum lama dimulai, itu pun dengan paksaan dan ancaman Ethan.
“Apa maksudmu dengan kita selesai, Danisa?” Ethan bertanya, suaranya rendah namun tegang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha untuk tidak kehilangan kendali. “Kamu mau pergi begitu saja? Kamu membuat keputusan ini sendirian, tanpa bicara sama sekali denganku?”
Danisa menelan ludah, menenangkan diri sejenak sebelum menjawab. Dia takut, dia sadar sekarang dia ada di kandang macan. Di sana Ethan adalah CEO, dialah bosnya.
“Aku sudah memikirkan ini baik-baik, Ethan. Aku nggak bisa lagi menjalani hubungan ini setelah semua kebohongan dan rahasia yang kamu sembunyikan. Aku butuh kejujuran, dan kamu memberiku kebingungan. Hubungan ini dimulai dengan sikap egois kamu, lalu dilanjutkan dengan sikap diam kamu dan kebohongan kamu. Cinta kamu penuh dengan tanda tanya, Ethan!"
Ethan mencengkeram tangannya yang kosong, napasnya semakin berat. “Kebohongan apa, Danisa? Ya, mungkin aku belum memberitahumu siapa aku sebenarnya, tapi bukan berarti aku tidak serius dengan kamu. Aku punya alasan! Kamu tahu betul, aku tidak pernah berusaha menyakitimu selama ini."
Danisa mengangkat wajahnya, menatap Ethan dengan mata penuh luka. “Kamu CEO perusahaan ini, Ethan! Kamu berbohong tentang siapa diri kamu selama ini, juga tentang semua kesibukan kamu yang nggak pernah kamu jelaskan. Bagaimana aku bisa mempercayaimu setelah semua itu?”
“Aku tidak menyembunyikan identitasku untuk menyakiti atau membohongimu!” Ethan menaikkan volume suaranya, nada frustrasi mulai terdengar. “Aku cuma mau ... Aku cuma mau kamu melihatku sebagai pria biasa, bukan sebagai CEO yang punya segalanya. Aku ingin kamu mencintaiku tanpa embel-embel status atau kekayaan.”
“Terus kenapa kamu tidak pernah mengatakan itu?” balas Danisa, suaranya melemah karena emosi yang ditahannya. “Setiap kali aku bertanya tentang kelanjutan hubungan kita, kamu selalu menghindar. Kamu membuatku merasa asing di hubungan kita sendiri, Ethan. Aku merasa kamu cuma main-main sama aku."
Ethan tertawa sinis, tapi bukan karena bahagia. Ada kepedihan di balik tawanya yang membuat suasana semakin tegang. “Kamu bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan! Kamu cuma membuat keputusan ini sendiri, tanpa pikir panjang.”
“Aku sudah memikirkannya, Ethan. Ini bukan keputusan impulsif,” kata Danisa mantap, meskipun hatinya terasa bergetar. “Aku tahu apa yang kuinginkan dalam hidupku. Dan aku tidak ingin terus merasa diabaikan dan kebingungan setiap hari.”
Ethan menggeleng, matanya terpejam sejenak, berusaha menahan rasa sakit yang perlahan merayap. “Jadi, hanya karena aku terlambat memberitahumu siapa diriku, semua ini selesai? Hanya karena satu kesalahan ini, kamu langsung ingin pergi?”
“Satu kesalahan?” Danisa terdengar getir. “Kamu nggak mengerti, Ethan. Bukan hanya soal identitasmu, tapi soal sikapmu yang tertutup dan mengabaikan aku selama ini.”
“Lalu, kamu tidak bisa memaafkan satu kesalahan itu? Aku pikir perasaan kita lebih kuat dari ini, Danisa. Aku pikir perasaan kita cukup dalam untuk menghadapi masalah ini. Ternyata aku salah, ya?” Ethan berkata dengan nada sarkastis, menahan luka dalam hatinya.
Danisa terdiam, hatinya seperti dilanda badai yang membuatnya goyah. Tapi dia memaksa dirinya untuk tetap teguh. “Aku ingin bebas dari perasaan kecewa ini, Ethan. Aku ingin ... hidup yang lebih jujur, lebih terbuka, dan ... aku tidak yakin kita bisa memilikinya bersama. Kamu tahu aku pernah gagal, dan sebelum kita melanjutkan rencana awal kita, sebaiknya kita akhiri sampai di sini. Cukup sekali kegagalan itu, Ethan."
Ethan terdiam, rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Danisa seolah-olah mencari alasan untuk tetap mempertahankan hubungan mereka. Namun, di balik tatapannya yang tajam, ada bayangan kekecewaan yang dalam.
“Kalau begitu,” Ethan akhirnya berkata dengan suara yang nyaris berbisik, “Kamu memang sudah memutuskan untuk menyerah. Jadi ini yang kamu inginkan?”
Danisa mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Aku mau pergi, Ethan. Aku ... aku tidak ingin kita semakin terluka karena keadaan kita.”
Ethan mendekati Danisa, langkahnya pelan namun pasti, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Matanya menatap langsung ke dalam mata Danisa, mencoba menemukan sisa-sisa perasaan yang sebelumnya mereka miliki. Namun, Danisa tetap menatapnya tanpa ekspresi. Perasaan mereka masih utuh, keduanya masih saling mencintai. Namun, Danisa hanya tidak mau terluka lagi. Baginya, kini lebih baik dia sendiri.
“Kamu tahu aku, Danisa. Aku nggak menerima penolakan. Aku juga nggak akan menerima keputusan sepihak dari kamu seperti ini. Aku nggak peduli tentang apa yang kamu pikirkan tentang aku. Kamu cuma milik aku, Danisa!" Ethan terdengar gemetar, menahan emosi yang amat membara. Tatapan matanya tajam, tangannya masih mengepal di samping tubuhnya.
Kali ini Danisa yang terkekeh. "Sebenarnya apa alasan kamu menyembunyikan identitasmu? Kamu nggak mau kalau aku nerima kamu karena kamu kaya? Kalau sejak awal kamu nggak percaya sama perasaan aku, untuk apa kita lanjutkan hubungan ini?"
Ethan terdiam.
"Aku memang miskin, Ethan. Aku nggak sebanding sama kamu. Aku sadar itu, dan kamu juga harusnya tahu, kita nggak akan pernah bersatu. Jarak di antara kita terlalu jauh."
"Danisa-" ucap Ethan tertahan.
"Ethan, tolong cukup sampai di sini. Aku capek, aku pusing dan aku muak sama semua ini. Terserah kalau kamu nggak mau terima sama keputusanku. Di sini, bukan cuma kamu aja yang punya pendapat. Bukan kamu aja yang bisa mengambil keputusan. Dan ... aku punya perasaan! Perasaan itu yang sudah kamu cabik-cabik dengan semua tingkah dan kelakuan kamu selama ini. Lepasin aku."
Ethan berdiri terpaku, tak lagi mampu mengucapkan sepatah kata pun. Keputusan yang baru saja dilontarkan Danisa terasa seperti tamparan yang membekukan seluruh pikirannya. Semua yang ingin ia katakan, semua alasan dan penjelasan yang sudah ia susun dalam hati, mendadak tak berarti apa-apa di hadapan keputusannya yang bulat.
Ia hanya bisa menyaksikan punggung Danisa yang perlahan menjauh, melangkah meninggalkan ruangan kantornya yang besar dan megah. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan tampak kontras dengan kerapuhan yang kini menyelimuti suasana hati mereka. Kilauan kemewahan kantor ini tak lagi berarti apa-apa bagi Ethan—semua ini terasa hampa tanpa sosok Danisa di sisinya.
Di luar ruangan, Danisa menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Setiap langkah yang ia ambil menjauh dari Ethan seperti menorehkan luka dalam di hatinya sendiri. Meski dia yang memutuskan untuk pergi, perasaannya terasa terkoyak, hancur berkeping-keping. Ia merasa tersiksa, namun memaksa dirinya untuk tetap berjalan tegak, menembus koridor yang penuh dengan kesunyian yang menyakitkan.
Saat Danisa tiba di lobi, perasaan sesak di dadanya semakin tak tertahankan. Dengan satu tarikan napas panjang, ia berusaha menguatkan diri, menekan semua rasa sakit yang mengalir deras dalam hatinya. Meninggalkan Ethan adalah keputusan yang pahit, namun ia meyakini bahwa ini adalah jalan yang harus ditempuh. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada keraguan kecil yang berbisik. "Akankah aku mampu melupakan semua ini? Aku terlanjur mencintainya."
Danisa menghampiri Mei yang duduk di samping Markus. Berdiri dan menatap pria itu setelah memegang tangan sang sahabat. "Maaf, Pak. Saya sangat berterima kasih atas tawaran pekerjaan dari Bapak yang sangat menjanjikan bagi saya. Tapi, sepertinya saya tidak bisa mengambil kesempatan baik itu. Maafkan saya, kami permisi dulu."
Tanpa meminta izin dari Mei, Danisa sudah memutuskan untuk menolak kerja sama dengan Methan. Dia sudah tidak peduli lagi. Keputusannya sudah bulat, dia mau putus dan tidak mau berhubungan apa pun dengan Ethan ataupun Methan.
Mei yang sudah bisa menebak garis besar tentang apa yang terjadi, dia hanya diam. Dia tidak marah dan malah ingin memeluk sang sahabat. Namun, mereka masih di lobi. Yang bisa dia lakukan hanya diam dan menurut saja pada sahabatnya itu. Dia adalah orang yang paling tahu tentang kisah hidup Danisa.
"Andai aku tahu Ethan yang kamu maksud adalah CEO Methan, aku nggak akan pernah minta kamu buat nerima dia jadi pacar kamu, Danisa," ucap Mei dalam hati.