Bab 1
Malam itu, mata Danisa menyipit saat ada pemuda di kamarnya. Pemuda yang baru ia kenal kurang lebih sebulan yang lalu. Suasana kamar apartemennya berubah drastis sejak pemuda itu duduk di sana.
"Kamu nggak mau pulang?" tanya Danisa pelan.
Wanita itu berdiri tak jauh dari meja yang biasa ia gunakan untuk makan.
Sementara pemuda itu duduk di sofa di dekat pintu utama. Pemuda itu menatap Danisa dengan senyuman. "Pelit sekali. Aku cuma numpang duduk di sini."
Namanya Ethan Raharjo. Namun, Danisa hanya tahu nama panggilan pemuda itu. "Ethan."
Saat Danisa memanggil namanya, Ethan mengangkat kedua alisnya.
"Kamu bilang tadi cuma mau minta minum. Kenapa setelah itu malah diam di sini?" Danisa tampak kesal. Dia tidak suka ada pria di dalam kamarnya. Sementara dia adalah janda, ada luka di hatinya yang membuatnya tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi.
"Aku nunggu Nando. Masa kamu tega nyuruh aku ngegembel di lorong."
Pertemuan pertama mereka adalah di lorong apartemen. Kamar Danisa yang berada di ujung, berhadapan dengan kamar Nando yang tak lain adalah teman baik Ethan.
Pertemuan yang diawali curi-curi pandang, lalu berlanjut dengan percakapan layaknya seorang teman. Tadi, seperti biasa, setiap jam 8 malam Danisa akan keluar dari kamarnya untuk membuang sampah. Saat itulah dia dan Ethan bertemu di lorong, pemuda itu mencari temannya yang menghilang sejak kemarin.
"Kamu pulang aja. Kalau Nando pulang, aku akan kabarin kamu. Ini udah malam, udah jam 10."
Danisa tak merasa Ethan akan berbuat hal buruk kepadanya. Hanya saja dia tidak suka ada pria di kamarnya, apalagi itu sudah amat malam.
Ethan adalah pemuda dengan paras tampan. Ketampanannya di atas rata-rata. Sementara Danisa hanya wanita biasa, bisa dibilang tak ada yang istimewa pada dirinya. Itu sebabnya dia merasa Ethan tak akan berbuat hal buruk padanya.
"Gimana cara kamu ngasih tahu aku? Mau pakai telepati?" tanya Ethan dengan seringainya. Tatapan matanya seolah menjadi misteri bagi Danisa. Membuat wanita itu penasaran dan juga gugup.
"Mana nomor hape kamu. Biar nanti aku telepon kamu." Danisa mendekati Ethan, menyodorkan ponselnya ke pemuda yang umurnya 4 tahun lebih muda darinya.
Ethan mengambil ponsel Danisa. Memencet nomor ponselnya dan lalu tersenyum. Dia senang, akhirnya dia tahu nomor ponsel Danisa.
"Udah. Sana pulang."
Danisa berniat mengambil kembali ponselnya, tapi Ethan menahannya. "Aku laper."
Danisa menyeringai. "Terus? Hubungannya sama aku apa?"
"Aku lihat di sana ada mi." Ethan menunjuk mi instan yang baru dibeli Danisa tadi sore, mi itu ada di atas meja makan.
Danisa geram. Dia berjalan dan mengambil mi instan, lalu menyodorkannya ke Ethan. "Nih, masak sendiri sana di rumah kamu."
Ethan menggeleng. "Aku nggak bisa masak. Tolong masakin."
"Ethan!"
"Kalau nggak mau, aku nggak akan pulang. Aku laper, aku nggak ada tenaga mau pulang."
Danisa memejamkan matanya dengan posisi kepala yang mendongak. Kesabarannya sedang diuji. Dia tidak tahu kenapa Ethan begitu menyebalkan malam itu. Padahal, biasanya pemuda itu sangat baik dan perhatian padanya. Suka menawarkan diri untuk membuang sampah Danisa, dan memberi tumpangan wanita itu saat pergi ke pasar raya.
Ethan tahu Danisa mulai kesal. Namun, dia tidak peduli. Dia malah menyandarkan tubuhnya di badan sofa dengan sangat nyaman, lalu tersenyum penuh keangkuhan.
Karena tidak ingin berlama-lama dalam rasa kesalnya, Danisa memasak mi sesuai keinginan Ethan. Walau kesal, dia memasak dengan sungguh-sungguh.
"Enak. Aku nggak tahu mi bisa seenak ini." Ethan mendorong mangkuk kosong di atas meja, kembali dia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tanpa menunggu lama, dia sudah menghabiskan mi buatan Danisa.
"Sana pulang!" Danisa berdiri di dekat sofa, menatap Ethan dengan tatapan tajam.
"Nggak sabaran banget jadi orang," celetuk Ethan.
"Kamu nggak lihat sekarang jam berapa?" Danisa menunjukkan layar ponselnya. Sudah jam 11 malam.
Ethan mengambil tisu yang ada di atas nakas di samping sofa. Menyeka bibirnya beberapa kali, lalu ia beranjak.
Dia berdiri dan menatap Danisa dengan lekat. "Baiklah. Aku pulang."
"Buru." Danisa terlihat menekuk wajahnya. Sungguh ia tak sabar ingin melihat Ethan keluar dari kamarnya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya, rasanya amat lelah. Sejak pemuda itu datang, dia lebih banyak berdiri.
Ethan berjalan sangat santai, dia menuju ke tempat dia menyimpan sepatunya. Ada rak kecil yang Danisa gunakan sebagai tempat untuk menyimpan sandal dan sepatunya, lokasinya tepat di depan pintu, tak jauh dari sofa yang Ethan duduki tadi.
Danisa tak beranjak sejengkal pun dari tempatnya berdiri. Dia tidak ingin mengantar kepulangan Ethan. Justru kemarahan yang dia tunjukkan. Dengan alasan agar pemuda itu menyesal dan tidak lagi melakukan hal yang sama. Ya, Danisa tidak mau ada pria masuk ke kamarnya, kecuali jika ada sesuatu yang memang membutuhkan jasa seorang pria. Contohnya saja mengganti lampu, mengatasi wc mampet dan perbaikan kamar lainnya.
Malam itu pun bukan kali pertama Ethan masuk ke kamar Danisa. Sebelumnya, pemuda itu sudah pernah melakukannya, yaitu untuk membantu Danisa mengganti lampu kamar mandi yang sudah mati. Wanita itu takut gelap.
Makanya, saat Ethan bilang haus dan minta minum tadi, Danisa mempersilakan pemuda itu masuk. Dia tidak menduga pemuda itu akan berlama-lama di kamarnya, bahkan meminta untuk dimasakkan mi instan pula.
Sikap baik Ethan selama ini membuat Danisa tak menduga kalau pemuda itu akan membuatnya kesal malam ini.
Namun, itu belum berakhir.
Saat di depan pintu, Ethan yang sudah memakai sepatunya, malah kembali melepasnya.
Danisa mengerutkan kening. "Kenapa? Apalagi? Kenapa malah dilepas lagi?"
Hampir saja merasa senang karena Ethan akhirnya keluar dari kamarnya, Danisa kembali dibuat kesal.
Ethan berbalik dan berjalan menuju ke tempat Danisa berdiri.
"Ada yang ketinggalan?" tanya Danisa.
"Ada."
Danisa melihat ke sofa, mencari benda yang ia tak tahu apa itu. Apa pun yang bukan miliknya, tentu saja benda itu yang akan diambil oleh Ethan.
Namun bukan sofa tujuan Ethan kembali. Pemuda itu malah menghampiri Danisa. Berdiri tepat di depannya, jarak keduanya sangatlah dekat.
"Apa yang ketinggalan?" tanya Danisa yang masih terlihat kebingungan.
"Ini."
Sesaat setelah menjawab, Ethan mengalungkan tangan kanannya di leher Danisa. Tangan kirinya melingkar di punggung wanita itu. Lalu kedua tangannya kompak menarik, sampai akhirnya tubuh Danisa jatuh di pelukannya.
Dalam sekejap, bibir Danisa sudah basah. Seperti terkena penyedot debu, bibirnya ditarik sekuat mungkin. Sadar akan perbuatan Ethan yang menurutnya tidak masuk akal itu, wanita itu menarik diri.
Sungguh Danisa tak menduga. "Ethan! Kurang ajar kamu, ya!" teriaknya sambil menutup bibirnya dengan punggung tangan kirinya.