bab 14

1419 Words
Danisa berdiri di ruangan besar milik Ethan, dengan marah memandang pria itu yang kini sudah duduk santai di balik meja kantornya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi mata dinginnya menyiratkan niat yang tak bisa ditawar. Seperti tersambar petir di siang bolong, Danisa sangat terkejut dengan permintaan Ethan yang menurutnya amat kejam, sungguh di luar nalar. Danisa pikir selama ini Ethan hanya mempermainkannya, tapi rupanya itu salah. "Kamu bener-bener si berengsek yang sebenarnya," ucapnya dalam hati. “Jadi itu maumu, Ethan?” suara Danisa penuh amarah dan penghinaan yang berusaha dia tahan. “Kamu tega mengajukan permintaan serendah itu? Kamu benar-benar ingin mempermalukanku?” Ethan mendongak, memandang Danisa dengan senyum tipis yang tak menawarkan sedikit pun permohonan maaf. “Aku cuma nawarin satu pilihan sederhana, Danisa. Ambil atau tinggalkan.” Suaranya tenang, seolah-olah yang sedang mereka bicarakan bukan hal besar. Danisa menarik napas dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berpacu karena amarah dan kekecewaan. “Dan jika aku menolak? Apa yang akan kamu lakukan, Ethan?” “Jika kamu menolak?” Ethan mengulangi pertanyaannya dengan nada santai, seakan itu hal yang sepele. “Kamu tahu jawabannya. Tim Pena akan mendapat tuntutan yang tidak akan bisa mereka hadapi. Mei dan semua karyawan di sana akan bangkrut, kehilangan pekerjaan mereka. Dan itu hanya karena pilihanmu sendiri, Danisa.” Danisa menggelengkan kepala tak percaya. “Kamu ... kamu benar-benar tega, Ethan. Ini bukan tentang kontrak kerja, ini soal harga diri. Aku bukan wanita yang bisa kamu permainkan dengan permintaan tak senonoh seperti ini.” Matanya menatap tajam ke arah Ethan, mencoba melihat secuil penyesalan dari pria itu, tapi yang ia lihat hanyalah senyum sinis yang membuatnya semakin muak. Ethan berdiri dari kursinya, perlahan berjalan mendekati Danisa lagi. Setiap langkahnya terasa berat, memancarkan kekuatan yang membuat ruangan itu terasa semakin kecil. “Danisa, kamu bukan perawan. Aku nggak menuduhmu rendah, tapi ... aku juga cuma pria biasa. Seorang laki-laki yang ... seperti yang lainnya, membutuhkan sentuhan wanita. Aku nggak butuh alasan rumit untuk menginginkan itu darimu.” Danisa tersentak, pernyataan Ethan membuat tubuhnya seakan gemetar menahan kemarahan dan rasa jijik. “Jadi itu? Itu alasanmu? Kamu pikir aku ini siapa, Ethan? Hanya ... hanya seseorang yang bisa kamu bayar dengan ancaman?” Ethan tersenyum semakin dingin. “Bukan soal bayar, Danisa. Ini soal pilihan. Kamu bisa bilang tidak, kamu bisa memilih mempertahankan ‘harga diri’ itu, tapi kamu tahu risikonya. Aku akan memberikan kesempatan untuk membuat pilihan yang sederhana.” “Kesempatan?” Danisa hampir tertawa miris. “Ini bukan kesempatan. Ini jebakan. Dan kamu tahu itu, Ethan.” Danisa memejamkan matanya sejenak. "Kamu curang, Ethan. Kamu picik! Kamu tahu aku sama Mei belum tanda tangan apa pun, tapi dengan kuasamu, kamu mau menjebak aku seperti ini? Aku nggak nyangka, dan aku ngerasa asing sama kamu. Kamu bukan lagi Ethan yang aku kenal." Ucapan Danisa amatlah dalam. Ethan tersinggung karena perasaannya untuk Danisa awalnya tulus, tapi dia terpaksa seperti itu. "Siapa yang buat aku seperti ini? Andai kamu nggak mengambil keputusan sepihak dan ninggalin aku begitu aja, aku nggak akan bertindak sejauh ini, Danisa. Kamu mau kita udahan, kan? Kalau begitu, anggap saja permintaanku sebagai salam perpisahan kita." Ethan menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca, namun jelas bahwa dia tidak peduli dengan perasaan Danisa. “Aku cuma ngelakuin apa yang menurutku benar. Aku nggak akan membuang waktu untuk membujukmu atau memohon padamu, lagi. Kamu tahu konsekuensinya, Danisa. Kalau kamu nggak mau, aku akan melanjutkan tuntutan ini dan Tim Pena akan hancur, tanpa ada jalan mundur lagi.” “Kamu pikir aku rela?” Danisa mendesis marah, tangannya mengepal erat. “Aku bukan wanita yang bisa kamu beli dengan ancaman atau paksaan. Apa yang terjadi padamu, Ethan? Kamu dulu berbeda…” “Berhenti bicara tentang siapa aku dulu,” Ethan memotongnya, nadanya mendadak keras. “Ini bukan soal masa lalu, Danisa. Ini soal saat ini, soal kamu dan aku, dan keputusanmu. Dan kamu jangan lupa, kebersamaan kita belum terlalu lama. Antara kamu dan aku, masih ada banyak rahasia. Sekarang kembali ke topik utama, kamu ingin sahabatmu selamat, atau nggak?” Danisa terdiam, menatap Ethan dengan campuran benci, kecewa, dan rasa tak percaya. Dia berdiri di sana, dipojokkan oleh ancaman pria yang dulu sangat ia percayai. Ada jeda panjang yang diisi keheningan penuh ketegangan. Waktu seakan berhenti sejenak, membiarkan kenyataan yang pahit ini tenggelam dalam dirinya. “Kenapa?” Danisa akhirnya bertanya dengan suara nyaris tak terdengar. “Kenapa kamu tega ngelakuin ini ke aku? Aku nggak pernah berpikir kamu akan serendah ini.” Ethan tak menunjukkan sedikit pun rasa tergerak. “Aku cuma mengikuti permainan yang kamu mulai, Danisa. Nggak perlu terlalu sentimental.” Hening. Danisa masih menatapnya tajam, hatinya penuh pertempuran antara amarah dan kepasrahan. Napasnya terengah, dan tanpa disadari air mata mulai mengalir di sudut matanya. Sunyi. Ruangan kantor Ethan terasa begitu hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding yang menambah ketegangan di antara mereka. Danisa masih berusaha menemukan kekuatan untuk menolak, mencoba berpikir rasional dan mencari celah dari situasi ini, namun pikirannya terasa buntu. Waktu seolah-olah berhenti. Ethan tetap menatapnya dengan sabar, seakan menunggu jawaban yang sudah ia tahu apa isinya. Wajahnya tenang, namun sorot matanya penuh kendali, seolah-olah dia sudah memenangkan permainan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Akhirnya, Danisa menundukkan kepalanya, menghela napas panjang dengan penuh keputusasaan. Ia tahu bahwa mengorbankan harga dirinya adalah hal yang tidak pernah ia bayangkan akan lakukan. Namun, melihat Mei dan Tim Pena yang telah berusaha keras bersama dirinya selama ini, Danisa merasa bahwa tidak ada pilihan lain. Dengan suara yang bergetar, ia akhirnya berbisik, “Baiklah, Ethan … aku akan … menerima tawaranmu.” Tatapan Ethan semakin tajam, bibirnya melengkung dengan sinis. Bagi Ethan, ini bukan sekadar kesepakatan, ini adalah permainan yang berhasil ia menangkan dengan sempurna. Ia mendapatkan yang ia inginkan, bahkan jika itu berarti menggunakan cara yang paling licik. Namun, jika harus jujur, perasaannya untuk Danisa adalah tulus. Di balik persetujuannya yang menyakitkan, Danisa sama sekali tidak menyadari bahwa Ethan telah menyusun semua ini dengan penuh perhitungan. Baginya, Danisa adalah sesuatu yang harus ia miliki, dengan segala cara yang diperlukan. Cinta yang ada di hatinya, kini diliputi obsesi yang amat menggebu. Hari-hari itu, ketika Ethan mati-matian mencari Danisa ke mana-mana, adalah hari-hari yang terasa sesak. Seperti ada yang hilang dari dirinya, sebuah kekosongan yang tak ia duga bakal muncul hanya karena satu orang—Danisa. Padahal, ia bahkan belum lama mengenal perempuan itu. Tapi di luar nalar, entah bagaimana Danisa seakan menempati tempat yang jauh lebih dalam di hatinya dari yang ia sadari. Rasanya gila. Sampai ia nekat melakukan hal segila ini, hanya demi memiliki wanita yang nyatanya telah mengacaukan hidupnya—dan hatinya. Ethan menatap Danisa tajam, penuh keinginan yang sulit ditutupi. "Jadi, kamu benar-benar siap tidur denganku?" tanyanya lagi, memastikan. Danisa terdiam. Wajahnya menegang, hatinya penuh pertentangan, ragu dan takut. Tapi pikirannya kembali pada Mei, pada Tim Pena. Satu tarikan napas panjang, ia akhirnya mengangguk pelan, meski sorot matanya penuh kemarahan. "Ya. Aku akan lakuin yang kamu mau, asal kamu hentikan semua ini. Biarkan Mei dan Tim Pena bebas ... dan biarin aku pergi setelahnya." Ethan menyipitkan mata, tersenyum kecil, tapi wajahnya menunjukkan campuran antara sakit hati dan kemarahan yang memanas. "Hanya satu malam, lalu kamu mau pergi begitu saja?" tawanya terdengar getir. "Hanya satu malam buat perpisahan kita? Menurutmu itu cukup?" "Aku enggak peduli, Ethan. Aku cuma mau ini selesai! Bukannya kamu yang bilang kalau itu adalah salam perpisahan kita?" Danisa akhirnya mendesis, tak mampu menahan lagi kebenciannya. "Aku di sini menjual harga diriku ke pria seberengsek kamu! Jadi, cabut gugatan itu sekarang, lalu lakukan apa yang kamu mau. Kalau nggak ... kita selesaiin ini di pengadilan!" Danisa bicara dengan nada getir, setiap kata keluar dari bibirnya dengan penuh kekecewaan yang mencuat. Ethan terdiam, memandangnya lama. Ia tahu Danisa sedang berusaha menahan amarah yang siap meledak, tapi entah kenapa, itu justru membuatnya semakin terpikat. Mata Ethan terus memperhatikan Danisa dengan saksama, seolah sedang menikmati tiap detik amarah yang terpancar dari wanita itu. "Tenang saja. Aku akan cabut tuntutannya," ujarnya, mendekat dengan senyum yang membuat nyali Danisa menciut, "tapi tidak sekarang. Aku ingin pastiin dulu kamu benar-benar ada di kasur yang sama denganku—baru setelah itu, aku akan pikirkan kembali tuntutan itu." Danisa menggenggam tangannya erat, mencoba menahan hati yang terasa compang-camping. "Aku beri kamu satu pilihan, satu kesempatan sederhana. Lakukan, atau lepaskan? Kalau kamu nggak mau, aku bisa cari uang ganti rugi yang kamu tuntut dengan cara lain..." Ia mendongak menantang, suaranya dingin. "Dengan penampilanku sekarang, aku yakin bukan cuma kamu yang rela bayar mahal buat tidur denganku. Mau coba lihat?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD