bab 17

1344 Words
Tubuh Danisa mendadak merinding saat kata-kata itu meluncur dari bibir Ethan dengan nada yang dalam dan menggoda, "malam pertama." Suaranya seolah membawa getaran yang langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat napasnya tertahan sesaat. Pikiran Danisa melayang pada bayangan seandainya mereka sudah menikah, menjalani malam itu sebagai pasangan yang sah. Itu pasti akan terasa begitu menyenangkan, hangat, dan penuh makna. Terlebih lagi, ia sudah lama tidak merasakan keintiman sejak menjadi janda. Namun, kenyataannya kini mereka hanyalah mantan kekasih yang sedang terlibat hubungan yang amat rumit. Ethan benar-benar tahu cara membuatnya gugup dan kehilangan kendali diri. Rasanya seperti pria itu penuh dengan jebakan yang disiapkan untuknya, dan Danisa sadar, sedikit saja ia lengah, ia akan jatuh dalam permainan yang dibuat Ethan. Danisa menatap Ethan dengan sorot mata tegas, menahan diri agar tidak goyah. "Aku tidak akan melayanimu di ranjang, Ethan," katanya dengan nada penuh ketegasan. "Kamu udah ngejebak aku dalam semua ini, dan aku nggak akan ngebiarin diriku terjebak lebih dalam lagi." Ethan hanya tersenyum tipis, memandangnya dengan mata yang penuh kepercayaan diri, bahkan sedikit sombong. "Di apartemenku ini," katanya sambil melangkah mendekatinya, "nggak ada yang nggak bisa aku lakuin, Danisa." Suaranya rendah dan penuh kendali, seakan menantangnya untuk mencoba melawan. Danisa mundur selangkah, mencoba mempertahankan jarak. Namun Ethan tetap tak tergoyahkan, mengunci tatapannya dan melanjutkan dengan nada yang lebih tenang namun tajam, "Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku ingin kamu hamil anakku." Kata-kata itu membuat tubuh Danisa tegang. "Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Ethan? Anak, atau sekadar mengikatku?" tanyanya dengan suara bergetar, berusaha menutupi keresahan yang muncul di dalam dirinya. Ethan tersenyum sedikit, tapi sorot matanya serius. "Aku mau keduanya, ada yang salah?" jawabnya tanpa ragu, "Dengan cara ini, kamu akan tetap berada di sisiku. Dan bukannya itu yang sebenarnya kita inginkan dari dulu?" Danisa terdiam, tidak tahu harus merespons apa. Danisa lalu menarik napas dalam dan kembali mengutarakan isi hatinya. "Kalau memang kamu serius ingin aku hamil anakmu," katanya perlahan, menatap langsung ke mata Ethan, "makanya nikahin aku, Ethan. Beri aku kepastian, bukan hanya permainan seperti ini." Namun, Ethan hanya terdiam. Ekspresinya berubah dingin, dan matanya berpaling sejenak, seolah mencari sesuatu di sudut ruangan yang kosong. Ia menarik senyum tipis yang penuh misteri, kemudian dengan cepat beralih ke topik lain seolah permintaan Danisa tak pernah diucapkan. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pertanyaanku tadi? Apa aja yang kamu butuhkan? Akan aku siapkan segera," tanyanya sambil berjalan ke arah meja, mengabaikan inti pembicaraan mereka. Danisa merasa hatinya mencelos. Sekali lagi, permintaannya untuk menikah diabaikan begitu saja. Hanya permainan bagi Ethan, pikirnya getir. "Kamu benar-benar nggak pernah berubah," gumamnya pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. Danisa merasakan amarah bergejolak di dalam dadanya, tetapi ia tahu bahwa berdebat dengan Ethan hanya akan sia-sia. Sudah jelas bahwa pria itu selalu memiliki cara untuk memutarbalikkan situasi, membuatnya merasa tak berdaya dan terpojok. Ia melirik ponselnya yang disita Ethan dan akhirnya menyerah, tak mau lagi meminta ataupun membujuk untuk mengembalikannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Danisa memutuskan untuk masuk ke kamar mandi, berharap setidaknya bisa menenangkan dirinya sejenak dengan mengurung diri di sana. Namun, saat ia menutup pintu, jantungnya seakan berhenti sejenak. Pintu itu … tak ada kunci. Sejenak, Danisa terdiam, terpaku pada gagang pintu yang ternyata tidak bisa dikunci. Rasa frustrasinya semakin memuncak, dan ia menyadari bahwa Ethan memang telah mengatur segalanya, bahkan sampai ke detail terkecil. Dia sengaja membuat kamar mandinya tanpa kunci, seolah-olah memastikan bahwa Danisa tak akan bisa menghindar atau bersembunyi darinya kapan pun dia mau. Danisa menghela napas panjang, merasa kalah dalam permainan yang dibuat Ethan. Di sisi lain, ia juga tahu bahwa ini adalah caranya untuk memastikan dirinya tetap terkendali. "Kamu benar-benar licik, Ethan," bisiknya lirih, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang menyelubungi dirinya. Ethan menghela napas dalam keheningan, menatap pintu kamar mandi yang tertutup dengan perasaan bercampur aduk. Dalam hatinya, ia sadar bahwa permainan ini mulai melelahkan, bukan hanya untuk Danisa, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia bisa merasakan rasa lelah yang perlahan-lahan menguasainya, perasaan bersalah yang mulai menggerogoti, namun entah mengapa, setiap kali Danisa meminta kepastian lewat pernikahan, ia selalu memilih menghindar. Alasan yang tak pernah dia ungkapkan. Andai saja dia bisa memenuhi satu permintaan sederhana itu, jika ia bisa berkomitmen pada ikatan yang lebih kuat, tak perlu ia harus bertindak sejauh ini. Tak perlu ada pengaturan licik, tak perlu membuat Danisa merasa terperangkap di tempatnya sendiri, tak perlu menjadi pria yang kini dicap sebagai sosok jahat dan berengsek dalam hidup wanita yang ia cintai. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Rasa takut yang tak terucapkan, rasa yang ia pendam sendiri dan tak membiarkan Danisa mengetahuinya. Ethan menggeleng pelan, seakan mengusir pikiran-pikiran itu, tetapi rasa sesak di dadanya tetap tak hilang. Di luar sikap dinginnya, ia tahu bahwa ia tak bisa terus menerus menghindari kenyataan dan permintaan Danisa. Ethan menghela napas panjang sebelum akhirnya mencari ponselnya di saku jas dan menghubungi asistennya. Setelah beberapa nada sambung, suara asisten pria yang sudah bekerja dengannya selama bertahun-tahun terdengar di ujung sana, ramah dan profesional. “Selamat sore, Pak Ethan. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Ethan berdeham pelan sebelum berbicara, “Aku ingin kamu menyiapkan beberapa hal di apartemen. Pastikan ada pakaian ganti, handuk, sikat gigi, dan perlengkapan pribadi lainnya. Intinya, apa pun yang mungkin dibutuhkan pacarku.” Asistennya sejenak terdiam, mungkin terkejut dengan permintaan yang tak biasa itu, tetapi dengan cepat menjawab, “Baik, Pak. Akan saya urus segera.” “Oh, dan satu lagi,” tambah Ethan, nada suaranya terdengar sedikit lebih tenang, “Mulai hari ini, saya tidak akan ke kantor sampai beberapa waktu ke depan. Kamu handle dulu semuanya, jika sudah tidak memungkinan, kamu bisa telepon aku. Aku juga bisa meeting dari sini." "Dimengerti, Pak Ethan. Kalau ada hal lain yang Anda perlukan, saya siap membantu," jawabnya sigap. “Itu saja,” balas Ethan singkat sebelum menutup telepon. Ia meletakkan ponselnya, menatap sejenak ke arah kamar mandi tempat Danisa berada. Dengan persiapan yang ia atur, ia berharap Danisa akan merasa lebih nyaman. Meski dalam hati ia tahu, hanya memenuhi kebutuhannya saja mungkin tak cukup untuk memperbaiki situasi yang rumit ini. Di tempat lain, Mei duduk gelisah sambil menatap layar ponselnya yang masih tidak menampilkan respons dari Danisa. Sudah berkali-kali ia menelepon dan mengirim pesan, tetapi tak ada hasil. Perasaannya semakin cemas, ia tahu sahabatnya itu sedang menghadapi situasi sulit dengan Ethan, dan kini sahabatnya itu pergi tanpa kabar, hanya menambah kekhawatirannya. Akhirnya, setelah beberapa kali percobaan gagal, Mei memutuskan untuk langsung mendatangi kantor Methan, tempat Danisa bekerja. Setibanya di lobi, ia segera menuju meja resepsionis. “Permisi, saya sedang mencari karyawan saya - Danisa. Apa dia ada di sini? Setahu saya, dia tadi pergi ke sini untuk menemui Pak Ethan," tanyanya sambil berusaha terlihat tenang, meskipun hatinya sudah dipenuhi dengan kegelisahan. Resepsionis wanita itu tersenyum ramah namun menggeleng. “Maaf, kami tidak bisa memberi jawaban atas pertanyaan Anda,” jawabnya dengan sopan. Mei mengerutkan alisnya, tidak puas dengan jawaban tersebut. “Lalu, bagaimana dengan Pak Ethan? Dia ada di sini? Di ruangannya?” Wanita di meja resepsionis itu terdiam sesaat, hampir seperti sedang memikirkan jawabannya dengan hati-hati. Lalu, seorang karyawan lain yang kebetulan lewat segera menghampiri mereka. “Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi apa pun,” katanya dengan nada yang sengaja dibuat seolah-olah tidak tahu apa-apa. Padahal, seluruh staf yang berada di lantai itu sebenarnya telah melihat Ethan dan Danisa meninggalkan gedung bersama siang tadi. Namun, peraturan tidak tertulis di perusahaan telah membuat mereka semua terlatih untuk menjaga privasi atas apa pun yang melibatkan sang CEO. Melindungi reputasi dan mencegah tersebarnya gosip adalah bagian dari kewajiban mereka, terutama jika hal itu bisa berdampak pada citra perusahaan. Mei akhirnya mundur dengan perasaan kecewa dan semakin khawatir. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu bagaimana mencari tahu lebih lanjut. Ia hanya berharap Danisa akan segera menghubunginya dan menjelaskan semuanya. "Dan, kamu ke mana, sih? Harusnya aku tadi ikut kamu. Kalau kamu ngilang begini, aku harus cari tahu ke mana? Apa aku lapor ke polisi aja, ya?" Mei merasa amat menyesal. Bagaimanapun kepergian Danisa ke kantor Methan adalah untuk menyelamatkannya dan juga Tim Pena. Tapi, berurusan dengan Ethan ataupun Methan, bukan perkara yang mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD