Danisa berdiri mematung, menatap sekeliling apartemen mewah itu dengan ekspresi terkejut yang semakin lama semakin berubah menjadi panik. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup semakin cepat saat menyadari bahwa tak ada cara keluar dari sana. Ia perlahan-lahan melangkah mundur, menjauh dari Ethan yang berdiri tak jauh darinya, dengan senyum puas yang menghiasi wajahnya.
Ethan menyadari gerakan mundur Danisa, dan hanya menyeringai lebih lebar. Tatapannya penuh rasa kepemilikan, mengawasi setiap gerakan Danisa yang mencoba menjaga jarak.
"Kamu butuh apa, Danisa?" tanyanya dengan nada yang lembut namun penuh kontrol. "Apa yang kamu perluin untuk hidup nyaman di sini? Semua bisa aku sediain."
Danisa menggeleng keras, matanya memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. "Aku nggak butuh apa-apa di sini, Ethan. Kumohon … tolong biarin aku pergi. Aku nggak bisa tinggal di sini seperti ini," pintanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
Ethan hanya tersenyum, mengabaikan permohonannya, seolah-olah apa yang diinginkan Danisa tak ada artinya baginya. "Sayang, ini untuk kebaikanmu juga," katanya tenang, mengisyaratkan bahwa perintahnya adalah mutlak. "Kamu di sini bersamaku, dan kamu nggak perlu khawatir soal apa pun lagi. Semua yang kamu perluin … akan aku sediain."
Danisa melangkah mundur lagi, namun kakinya terhenti di ujung sofa. Ia tahu, tak ada jalan keluar lagi. Dengan suara terisak, ia kembali memohon, suaranya penuh kepanikan. "Ethan, please … aku nggak bisa seperti ini. Aku nggak mau dikurung di sini."
Tapi Ethan tak terpengaruh. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, menegaskan bahwa keputusannya sudah bulat. "Kamu milikku, Danisa," bisiknya, suaranya tegas dan penuh keyakinan.
"Aku dateng ke sini untuk semalam yang kamu minta. Kita udah sepakat itu, Ethan. Please, jangan seperti ini." Danisa kembali memohon. Dia sadar, sekarang yang hanya bisa dia lakukan adalah memohon dan mengiba. Mengancam Ethan hanya akan membuat pria itu marah dan melakukan hal yang semakin gila.
Ethan mendekat ke Danisa, membuat wanita itu ketakutan. Tapi, Ethan tak menghampirinya dan malah duduk di sofa.
Pria itu melonggarkan dasi, melepaskan jas, lalu melepaskan kancing kemeja di pergelangan tangannya.
"Sebenernya aku nggak ada niatan buat ngelakuin ini semua ke kamu," suaranya pelan, tapi Danisa bisa mendengarnya dengan jelas.
"Kamu yang buat aku begini. Seharusnya kamu nggak pernah minta putus. Kamu bahkan sembunyi dari aku. Sebesar itukah salahku? Hanya karena aku belum mengakui kondisiku ke kamu?" Kembali Ethan bicara. Kini nada bicaranya sudah seperti Ethan yang Danisa kenal.
Danisa melunak, dia mulai melihat harapan, setidaknya dia tidak membuat Ethan marah agar selamat di penjara yang mewah itu. Dia ingin duduk, berdiri terlalu lama membuatnya gemetar, apalagi memang dia sedang ketakutan.
Danisa lalu duduk di tepi sofa, memeluk lututnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu akhirnya menatap Ethan yang berdiri di dekatnya.
"Kenapa kamu lakuin ini, Ethan?" tanyanya dengan nada yang terdengar capek tapi berusaha tetap santai. "Aku ngerasa dibohongi ... dipermainkan. Dari awal aku pikir kamu orang yang jujur, orang yang baik, tapi ternyata ... semua ini kayak jebakan."
Ethan menarik napas panjang, tatapannya terlihat tenang. "Kalau soal ini semua, ini memang jebakan. Aku akan jujur, aku sengaja membawa kamu ke sini. Aku akan buat kamu menjadi milikku sepenuhnya. Sebelum kamu hamil anakku, jangan harap kamu keluar dari apartemen ini."
Danisa mendengus kecil, merasa perkataan Ethan tak masuk akal. "Aku setuju ikutin mau kamu, bahkan aku rela tidur sama kamu. Tapi cuma semalem aja, Ethan. Bukan buat dikurung di sini kayak gini dan apa kamu bilang? Kamu mau aku hamil anak kamu? Aku nggak pernah nyangka kamu bakal segini parahnya buat keputusan. Ini sudah kelewatan, Ethan. Kamu jahat!"
Ethan tersenyum tipis, tapi bukan senyum yang menenangkan—lebih ke senyum sinis. "Aku cuma ngambil pilihan yang paling logis, Danisa. Kalau aku nggak ambil tindakan seperti ini, kamu bakal pergi lagi. Nyatanya, kamu yang mutusin buat nerima semuanya asal Tim Pena aman, kan?"
Danisa terdiam sesaat, menatap Ethan dengan campuran bingung dan frustasi. "Tapi bukan gini caranya, Ethan. Sebenernya apa alasan kamu ngelakuin semua ini? Apa ini cuma mengisi waktu luangmu? Atau kamu punya kelainan? Atau ... kamu cuma terobsesi ke aku?"
Ethan menghela napas, mencoba menenangkan diri agar tak emosi. "Danisa, apa kamu lupa bagaimana kita bisa pacaran? Aku yang mengemis cinta ke kamu, aku ingatkan itu. Aku suka kamu dari lama, dan kamu bilang aku cuma main-main? Aku bahkan nggak peduli sama penolakan kamu, dan kamu sekarang bilang itu semua cuma karena aku mau mengisi waktu luang? Kamu sekarang tahu, aku CEO Methan, setiap waktuku itu berharga."
Pria itu bicara panjang lebar, dia juga ingin mengutarakan isi hatinya. "Dan sekarang juga kamu tahu, aku rela ninggalin kerjaan aku demi kamu. Kamu masih ragu sama perasaan aku ke kamu? Kamu masih mau bilang kalau aku main-main? Apa aku terlihat sebegitu nganggur di matamu?"
Danisa menggigit bibirnya, merasa ucapan Ethan ada benarnya, tapi tetap tak terima. "Aku ... aku cuma nggak tahu harus gimana. Kamu bener-bener bikin aku bingung."
Ethan menatapnya dengan intens. "Nah, sekarang kita punya kesempatan buat nggak bingung lagi. Aku pengen kamu di sini, di tempat yang aku bisa lihat kamu setiap saat. Aku nggak mau ada alasan buat kamu ngilang lagi dari hidupku, Danisa."
Danisa terkekeh pelan. "Sejak awal aku udah bilang, Ethan. Kamu bisa milikin aku sepenuhnya, tapi nikahi aku. Bukan malah seperti ini, Ethan. Ini salah. Salah besar."
"Sudahlah, kamu istirahat dulu. Siapkan diri kamu untuk nanti malam, kamu mungkin butuh banyak tenaga." Ethan selalu menghindar saat Danisa meminta pernikahan. Dia kemudian berdiri, dia melepaskan kemejanya dan memamerkan dadanya yang bidang.
Seketika saja Danisa memalingkan wajahnya. Dia malu, juga takut setengah mati. Susah payah dia menyiapkan mental dan dirinya untuk tidur dengan Ethan, tapi kini pria itu malah memintanya untuk hamil anaknya.
Ethan beranjak dan pergi ke kamar mandi, dia berencana mandi untuk mendinginkan kepalanya dan menjernihkan pikiran. Namun, selangkah sebelum masuk ke kamar mandi, Ethan menoleh dan menatap ke Danisa dengan lekat. "Jangan buang-buang waktumu buat kabur dari sini. Sekali lagi aku peringatkan. Atau kamu mau lihat seberapa jauh aku bertindak?"
Danisa hanya diam, menelan rasa sakit yang amat mendalam. Ia bertanya-tanya, salah apa dirinya hingga bisa hidup seperti itu? Setelah diduakan, diceraikan dan kini malah dijadikan tawanan seorang CEO. Sungguh nahas.
Saat Ethan di dalam kamar mandi, Danisa merebahkan tubuhnya di sofa. Dia lemas, tak berdaya menghadapi nasibnya. Dia mencoba memikirkan cara untuk kabur dari sana, atau setidaknya memikirkan cara meluluhkan hati Ethan agar pria itu tak benar-benar mau menghamilinya.
Pada saat itu, Danisa baru teringat, dia bisa saja meminta tolong ke Mei untuk mencari pertolongan. Namun, saat dia mencari ponselnya, dia tersadar kalau benda pipih itu tak ada. Dia lupa, di mana dia menaruhnya, lalu dia bangun dan mencari di tas dan saku celana. Semuanya tidak ada.
Ya, ponsel milik Danisa memang sudah ada di tangan Ethan. Ponsel itu jatuh saat di mobil tadi, sebelumnya ditaruh di saku celana Danisa dan tidak sengaja terjatuh. Ethan yang melihatnya tak tinggal diam dan langsung mengamankannya. Saat di kamar mandi, Ethan menyeringai setelah menggantung celananya. Di sanalah, di salah satu saku celananya terdapat ponsel Danisa.
Ethan menonaktifkan ponsel Danisa dan berniat menyimpan ponsel itu seaman mungkin agar Danisa tidak kabur lagi darinya. Baginya kini, apa pun caranya, halal atau tidak, dia tidak peduli, asal itu bisa membuatnya memiliki Danisa. Karena untuk mengaku jujur tentang alasan kenapa dia belum memperkenalkan Danisa ke orang tuanya, itu terlalu memalukan baginya.
"Ini pasti ulah Ethan," celetuk Danisa yang kemudian kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Dia tidak tahu pasti di mana ponselnya jatuh dan siapa yang mengambilnya, dia hanya menebak-nebak saja.
"Tenang, tenang, tenang. Aku harus tenang. Aku nggak boleh panik. Ayo, aku harus tenang supaya bisa mikir buat ngeluluhin hati Ethan." Danisa kembali meyakinkan dirinya kalau Ethan mungkin saja berubah pikiran dan tidak jadi dengan niat utamanya yaitu ingin Danisa hamil.
Wanita itu diam cukup lama, sampai terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Danisa akhirnya mendapatkan ide cemerlang. Walau dia tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak. Dia segera duduk dan melihat ke arah pintu kamar mandi.
Di depan pintu kamar mandi, di sana berdirilah Ethan dengan tubuh yang masih basah, hanya dililitkan handuk di pinggangnya. d**a bidangnya terlihat kekar, otot-ototnya terbentuk sempurna dan berkilauan karena sisa-sisa air yang belum mengering sepenuhnya. Wangi sabun yang segar melingkupi ruangan, membuat Danisa tanpa sadar menelan ludah. Sejenak, tatapannya tertahan pada pria itu, matanya berusaha menyesap setiap detail sosoknya yang begitu mempesona. Bagaimana pun dia adalah wanita normal.
Namun, dengan cepat ia menyadarkan dirinya sendiri dan memalingkan wajah, berusaha menjaga fokus pada apa yang hendak ia bicarakan. "Aku punya ide untuk kita," katanya, suaranya sedikit bergetar namun tetap mencoba terdengar tegas. "Aku ingin kita kembali pacaran," lanjutnya. "Aku janji, kali ini aku tidak akan kabur atau bersembunyi lagi."
Ethan, yang awalnya hanya terdiam menatapnya dengan alis terangkat, kini memasang ekspresi serius. Tatapan matanya dalam, seolah berusaha menembus isi pikiran Danisa. Sesaat hening, hanya terdengar napas mereka berdua di ruangan itu, hingga akhirnya bibir Ethan sedikit menyunggingkan senyuman.
"Mandi sana," ucap Ethan yang dilanjutkan dengan senyuman. "Aku tahu kamu susah payah nyari cara buat keluar dari sini, tapi aku sudah bilang kalau itu percuma. Kamu juga cari ini, kan?" tanya Ethan sembari tangannya menunjukkan ponsel Danisa.
Danisa berdiri lalu berlari menghampiri Ethan, dia hendak. merebut ponsel itu. Tapi tidak akan mudah, Ethan tinggi dan mengangkat tangannya.
"Bawa sini," ucap Danisa memelas, berharap simpati dari Ethan.
"Aku akan kasih ini setelah malam pertama kita," ucap Ethan tanpa keraguan. Dia menang telak. Seolah dunia ada di genggamannya. Dengan apa yang dia miliki sekarang, dia merasa bisa melakukan apa pun, termasuk membuat Danisa menjadi miliknya.