bab 18

1307 Words
Butuh waktu lama bagi Danisa sebelum ia akhirnya keluar dari kamar mandi. Ia tidak mandi, sebagian besar waktu yang ia habiskan di sana hanyalah untuk menenangkan diri dan berusaha memahami situasi yang begitu rumit dan penuh tekanan. Tertahan dalam ruangan yang tak bisa dikunci itu, Danisa tahu ia tak akan bisa lari dari Ethan maupun perasaannya sendiri. Namun, akhirnya, ia mengumpulkan keberanian untuk keluar. Saat melangkah ke luar, ia menemukan Ethan tengah duduk di meja kerja kecil yang ada di dekat ruang tamu, matanya tertuju pada layar laptop di hadapannya. Dia sedang mencoba mengejar pekerjaan yang tertinggal karena permainan licik yang ia ciptakan sendiri. Tanpa sadar, Danisa memperhatikan sekeliling. Apartemen itu terasa begitu luas, dengan desain interior yang modern dan penuh perabotan mahal. Pemandangan kota terlihat dari jendela besar di ruang tamu, dan setiap sudut ruangan tampak bersih dan tertata sempurna. Perbedaannya sungguh terasa dibandingkan dengan apartemen yang selama ini ia sewa, yang sederhana dan jauh dari kesan mewah seperti ini. Dalam hatinya, Danisa bertanya-tanya, berapa biaya sewa apartemen ini setiap bulannya jika ia menyewanya? Lalu dia juga penasaran berapa banyak uang yang dimiliki Ethan hingga mampu membeli tempat seperti itu? Tentu saja, pertanyaan itu langsung terjawab sendiri dalam pikirannya—Ethan adalah CEO Methan, seorang pria yang jelas memiliki kekayaan lebih dari cukup. Danisa sempat lupa, di balik keangkuhan dan sikap dinginnya, Ethan memang hidup di dunia yang berbeda dari dirinya. Danisa menghela napas, lalu perlahan duduk di sofa yang tak jauh dari Ethan berada. Ia ingin berbicara, meskipun ia tahu pembicaraan ini mungkin tak akan mudah. "Ethan," panggilnya pelan, mencoba menarik perhatiannya. Ethan mengangkat wajahnya dari layar laptop, menatap Danisa sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kembali pada pekerjaan yang ada di depannya, seolah tak terganggu. Danisa menggigit bibirnya sebelum akhirnya bertanya, suaranya terdengar tenang namun serius, "Aku penasaran, apa kamu benar suka sama aku? Atau kamu cuma suka mempermainkanku?" Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam, jemarinya yang tadinya sibuk mengetik perlahan berhenti. Sekali lagi, ia mengangkat wajahnya, kali ini menatap Danisa lebih dalam, seolah mencari sesuatu di balik tatapan mata wanita itu. Ethan mendengus santai, seolah-olah pertanyaan itu tidak terlalu mengganggunya. Tanpa menoleh pada Danisa, dia menjawab dengan nada yang tenang, seakan itu adalah hal biasa yang harus dihadapi. "Tentu aku suka sama kamu, Danisa," katanya sambil tetap fokus pada layar laptopnya. "Jangan meragukan itu. Aku udah terlalu banyak membuang waktu untuk kamu." Namun, jawaban itu tidak memuaskan Danisa. Ia merasa ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata itu. "Tapi kenapa kamu melakukan semua ini?" tanya Danisa, suara itu sedikit lebih keras, penuh keingintahuan dan kebingungan yang mendalam. "Kenapa kamu membuat semuanya begitu rumit? Apa kamu senang melihatku terjebak dalam permainan kamu?" Ethan berhenti sejenak, matanya menatap layar laptop dengan kosong. Kemudian, dengan suara rendah dan agak serak, dia akhirnya menjawab. "Semua ini dimulai saat kamu bilang kita putus, Danisa," katanya, nada suaranya terkesan penuh penyesalan yang tersimpan dalam diam. "Semuanya terjadi setelah itu, semua ini tidak akan terjadi kalau kamu kasih aku kesempatan untuk ngejelasin. Tapi kamu memilih pergi, dan aku nggak bisa biarin itu begitu aja." Danisa tercengang mendengar jawabannya, merasa kebingungan yang lebih besar. "Jadi, kamu lakuin semua ini hanya karena aku mau putus? Kamu menjebakku, memanipulasi semuanya cuma karena itu?" Suaranya hampir tidak terdengar saat ia melontarkan pertanyaan itu. Ethan menghela napas, kemudian menatap Danisa, kali ini dengan tatapan yang penuh tekad, meskipun ada sedikit keletihan di sana. "Aku tahu, aku udah jadi pria yang jahat. Aku nggak mau bahas ini lagi. Cukup, Danisa." Ia menunduk sejenak, lalu melanjutkan, "Asalkan aku bisa memiliki kamu, itu sudah cukup untukku. Aku nggak mau kehilangan kamu. Itu yang sebenarnya, meski aku tahu aku sudah terlanjur jadi pria yang jahat di matamu." Danisa terpaku. Kata-kata Ethan seperti sabetan pisau yang mengiris hatinya, mengungkapkan sisi lain dari dirinya yang selama ini tersembunyi. Ethan yang selama ini ia kenal ternyata jauh lebih kompleks dari yang ia kira. Meskipun segala tindakan jahatnya, ia tetap menginginkan dirinya, entah itu karena cinta atau sesuatu yang lebih egois. Danisa menatap Ethan, matanya penuh dengan kebingungan dan perasaan yang campur aduk. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, suaranya sedikit gemetar, meski ia berusaha tetap tegas. "Ethan yang aku kenal dulu, dia adalah pemuda yang baik, ramah, yang selalu ngebantu aku. Aku masih ingat bagaimana kamu selalu ada untuk aku, bagaimana kamu dengan tulus peduli. Tapi sekarang ... yang ada di depanku adalah pria kaya raya yang berkuasa, yang sepertinya nggak punya perasaan sama sekali." Ethan tak langsung menjawab. Kata-kata Danisa seperti tamparan yang menyadarkannya, meskipun ia tidak menunjukkan reaksi langsung. Ia menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit dibaca, seakan berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan. Danisa terus melanjutkan, tak bisa menahan perasaannya lagi. "Kamu udah berubah, Ethan. Banyak hal yang berubah dan aku nggak tahu harus bagaimana menghadapi kamu. Kamu punya segalanya, tetapi kamu terlihat nggak bahagia, dan aku ngerasa terjebak di dalam dunia yang nggak aku kenal lagi." Ethan mengalihkan pandangannya, kali ini tidak lagi menatap layar laptopnya. Ia menatap kosong ke arah lantai, seolah-olah mencoba mencari jawaban untuk semua yang telah terjadi. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa semua yang terjadi adalah hasil dari pilihannya sendiri. Danisa benar. Dia memang telah berubah, dan mungkin itulah yang membuat semuanya semakin sulit, bukan hanya untuk Danisa, tapi juga untuk dirinya sendiri. Ethan menghela napas berat, suaranya terdengar serak ketika akhirnya ia memecah keheningan yang panjang. "Kamu udah tahu sekarang," katanya dengan suara datar, "aku nggak selalu baik, Danisa. Aku nggak sesederhana yang kamu kenal dulu. Karena nyatanya, pria sederhana itu adalah CEO Methan, dan dunia yang aku jalani sekarang jauh lebih rumit daripada yang kamu bayangkan." Danisa terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ethan yang seperti mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam. Tiba-tiba, semua yang ia tahu tentang Ethan terasa seperti ilusi, sebuah citra yang hancur dan digantikan dengan kenyataan yang lebih pahit. Dengan hati yang semakin berat, Danisa akhirnya memutuskan untuk bertanya. "Tapi, Ethan," suaranya mulai bergetar, "kenapa kamu tidak mau menikahiku? Apa karena orang tuamu tidak memberi restu? Apa karena aku janda? Dan karena aku bukan siapa-siapa? Karena aku bukan orang berada?" Kata-kata itu terlontar begitu saja, penuh dengan getaran kecewa dan amarah yang tak terungkapkan. Ethan menatapnya, namun kali ini ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya. Ia tidak langsung menjawab, dan Danisa bisa merasakan betapa sulitnya bagi Ethan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya menghalangi mereka. "Apa aku tidak pantas untuk kamu?" tanya Danisa lagi, nada suaranya lebih pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Apa aku terlalu rendah untuk bisa menjadi bagian dari hidupmu? Apa orang tua kamu juga mengira aku akan mengincar hartamu?" Ethan terdiam, dan seketika itu, Danisa bisa merasakan ketegangan yang begitu mendalam di antara mereka berdua. Meski dia tidak mendapatkan jawaban, hatinya yang terluka sudah cukup merasa bahwa ada banyak hal yang belum pernah benar-benar dijelaskan, dan mungkin tidak akan pernah. "Di sana ada TV, kamu bisa nonton drama atau apa pun yang kamu suka. Sekarang aku sibuk kerja. Kita akan sibuk nanti malam. Sebaiknya kamu menyiapkan itu dengan baik. Kalau kamu masih menggangguku, aku bisa memulai acara kita sebelum petang." Ethan kembali mengalihkan topik pembicaraan. Ethan tak membiarkan Danisa mengetahui alasan kenapa dia menjadi pria jahat seperti itu. Dia sudah memutuskan untuk menjadi pria jahat, maka apa pun pendapat Danisa dia tak akan peduli. "Kamu berengsek, Ethan. Kamu nggak cuma jahat, kamu bener-bener bajing*n! Kamu yang menutupi identitas kamu karena takut aku mengincar uang kamu! Kamu juga yang memaksa masuk ke hidup aku dan memaksa aku buat jadi pacar kamu! Sekarang kamu mau memaksa aku buat jadi ibu dari anak kamu?! Aku cuma mau dinikahi, Ethan! Aku bukan boneka yang nggak punya hati dan bisa kamu mainkan sesuka kamu!" Danisa bicara dengan suara gemetar. Kini air matanya jatuh. Dia sudah tidak sanggup lagi, kepalanya terasa penuh. Dia sudah banyak berpikir tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Ethan terlalu rumit untuk dia pecahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD