Di balik wajah tenangnya, Ethan merasakan dadanya berdenyut sakit mendengar kata-kata Danisa yang tajam dan penuh luka. Makian Danisa menghujamnya, seolah menelanjangi sisi-sisi dirinya yang paling rapuh—sisi yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap dingin dan kuasanya sebagai CEO.
Setiap kalimat yang keluar dari mulut Danisa seperti duri yang menusuk harga dirinya, menyeretnya pada kenyataan pahit bahwa, bagi Danisa, dirinya tidak lagi tampak sebagai pria yang baik. Dia bukan lagi pemuda yang dulu dicintai Danisa, kini, dia hanya pria asing yang dilihatnya sebagai sosok kejam, penuh tipu daya, dan tak berperasaan.
Namun, Ethan menekan semua emosi itu dalam-dalam. Ia tetap menunduk, pandangannya terpaku pada layar laptop seolah tak terganggu. Ia membiarkan jari-jarinya bergerak di atas keyboard, meskipun pikirannya kosong dan perasaannya berantakan. Baginya, ini bukan hanya cara untuk tetap terlihat kuat di hadapan Danisa, tetapi juga perlindungan agar luka yang ada di hatinya tidak semakin terbuka.
Ethan menahan napas, mencoba mengabaikan rasa perih yang bergejolak di dalam dirinya. Sesekali, rahangnya mengeras, namun ia tetap mempertahankan sikap tenangnya, tidak ingin memperlihatkan betapa kalimat Danisa telah mengiris hatinya. Tetap terlihat tak tergoyahkan di hadapan wanita itu adalah satu-satunya cara baginya untuk bertahan, meski di dalam, ia sadar bahwa setiap kata Danisa meninggalkan luka yang mungkin tak akan mudah sembuh.
Danisa menatap Ethan yang tetap diam dan seolah tenggelam dalam pekerjaannya, fokus pada layar laptop tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Kata-katanya mulai dari pertanyaan hingga makian tadi menggantung di udara, tak mendapatkan jawaban atau bahkan sekadar reaksi. Ethan hanya membiarkan semuanya berlalu begitu saja, seolah setiap kalimat yang Danisa lontarkan tidak berarti apa-apa. Pria itu juga tak menyadari sang pujaan hati meneteskan air mata.
Hatinya terasa perih. Kekecewaan itu menggumpal di d**a Danisa, menyadarkannya bahwa, meski mereka tengah berbagi ruang yang sama, perasaan mereka seolah dipisahkan oleh jarak yang tak terjangkau. Ethan yang ia kenal dulu—sosok yang lembut dan selalu peduli—kini menghilang di balik dinginnya sosok CEO yang penuh kekuasaan. Diabaikan seperti ini membuat Danisa merasa asing di hadapannya, seakan dirinya tak lebih dari mainan yang bisa dimainkan kapan saja.
Menghela napas panjang, Danisa beranjak dan berjalan menuju jendela besar. Ia berdiri di sana, membiarkan matanya menelusuri pemandangan kota yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gedung-gedung tinggi dengan lampu yang bersinar tampak megah, namun suasana itu justru membuatnya merasa semakin kecil dan tak berarti.
Di balik kaca, Danisa mencoba menenangkan pikirannya yang kusut. Pemandangan yang harusnya terasa menyejukkan nyatanya tak mampu meredakan kekacauan yang terjadi di dalam hatinya. Bayangan tentang malam pertama yang Ethan sebut-sebut sejak tadi menghantui pikirannya, mengingatkannya bahwa mungkin tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Rasa kecewa yang menyakitkan bercampur dengan ketakutan yang perlahan menguasai dirinya. Ia merasa terjebak di antara kenangan masa lalu dan kenyataan di hadapannya, tak tahu ke mana harus berlari atau apa yang bisa ia lakukan untuk melindungi dirinya dari pria yang kini terasa asing namun juga begitu akrab di hidupnya.
Dalam hati, Danisa bertanya-tanya dalam hati.
"Kenapa Ethan suka aku? Padahal, banyak wanita lain yang lebih cantik, lebih berkelas, sementara aku? Aku cuma seorang janda, bukan siapa-siapa di bandingkan dunianya yang penuh kemewahan. Terus kenapa juga dia bersikeras mau punya anak dari aku? Apa dia benar-benar serius, atau ini semua cuma permainan?"
Perasaannya berkecamuk, campuran antara kebingungan dan keingintahuan.
"Apa aku siap melakukan hal itu lagi setelah sekian lama?" tanyanya lagi dalam hati. Pikirannya ragu, dia sudah lama tidak melakukan hubungan intim setelah bercerai. Ethan bukan hanya pria yang sangat tampan, tapi juga kaya raya, sosok yang dalam mimpi pun sulit ia bayangkan akan hadir dalam hidupnya. Ada sebersit rasa tak percaya, seakan semua ini hanyalah mimpi yang sebentar lagi akan berakhir. Jika dibandingkan dengan Agus, mantan suaminya, Ethan ibarat langit dan Agus buminya.
Namun, ada keraguan lain yang lebih mengganjal. "Dan ... apa aku bisa hamil? Dulu Mas Agus dan keluarganya bilang aku mandul, wanita yang nggak bisa ngasih keturunan. Apa mungkin sekarang berbeda?" tanyanya lagi dalam hati.
Danisa mulai menata hati dan pikirannya. "Hal yang harus aku hadapi sekarang adalah permintaan Ethan buat tidur bareng. Itu aja! Kalau masalah hamil, aku ragu aku bisa hamil. Walau aku nggak yakin, yang mandul itu aku apa Mas Agus," ucap Danisa dalam hati. Mencoba menenangkan dirinya sebisa mungkin, tapi nyatanya dia masih cemas dan ketakutan.
Air mata kembali mengalir di pipi Danisa, pelan dan tanpa suara. Ia memandang ke luar jendela, mencoba menahan rasa pedih yang berkecamuk dalam dadanya. Namun, keheningan malam dan bayangan dirinya di kaca hanya semakin memperdalam rasa sepinya. Di saat seperti ini, ia rindu pelukan ibunya—seseorang yang selalu bisa memberinya kekuatan dan kedamaian tanpa syarat.
Pikirannya kembali melayang ke alasan mengapa ia meninggalkan rumah. Hasratnya untuk hidup nyaman di kota besar, untuk membangun kehidupan yang lebih baik, untuk melupakan masa lalu yang menyakitkan, semua itu kini terasa sia-sia. Alih-alih menemukan kebebasan, ia justru terjebak dalam permainan seorang CEO yang tega menghalalkan segala cara demi memiliki dirinya. Perasaan terperangkap dan tidak berdaya menghancurkan harapannya satu per satu.
Sambil memeluk tubuhnya sendiri, Danisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, rasa sakit dan kesepian tetap terasa menyesakkan, seolah ingin menenggelamkannya lebih dalam di tengah kepalsuan dunia yang sekarang ia huni.
Tiba-tiba saja perut Danisa keroncongan. Sungguh tak terduga. Suara keroncongan dari perut Danisa terdengar cukup keras hingga memenuhi keheningan ruangan. Ethan yang sibuk bekerja di sofa seberang sampai menoleh, memperhatikannya dengan alis terangkat.
“Kamu lapar?” tanyanya, nada suaranya biasa saja, namun cukup untuk membuat Danisa menunduk.
Danisa terdiam, enggan mengakui kebenarannya. Rasa lapar memang mulai menggigit, namun di tengah situasi seperti ini, mana mungkin dia punya nafsu makan? Di dalam dirinya, perasaan tertekan dan kecewa sudah menguasai semua. Akhirnya, tanpa menatap Ethan, dia memilih tetap diam.
Ethan memperhatikan sikap acuh Danisa, namun tidak tampak terganggu. Tanpa banyak bicara lagi, ia meraih ponselnya dan menelepon asistennya, Erwin. “Erwin,” suaranya terdengar tenang namun tegas, “segera datang ke apartemen. Bawa semua yang tadi aku minta. Dan jangan lupa beli buah-buahan, snack, dan makanan berat. Pastikan semuanya lengkap, dan cepat.”
Begitu panggilan berakhir, Ethan menyimpan ponselnya kembali. Ia menoleh ke Danisa, yang masih berdiri dengan raut wajah menolak untuk berbicara lebih jauh.
“Tunggu sebentar, semua yang kamu butuhin buat hidup di sini sebentar lagi akan sampai,” ucapnya lugas.
Namun, lagi-lagi, Danisa tetap terdiam. Enggan merespons lebih jauh, ia hanya menatap lantai, tak peduli dengan perhatian yang Ethan tunjukkan atau makanan yang akan datang.
Senja perlahan menyelimuti kota, membalut gedung-gedung tinggi dengan cahaya keemasan yang meredup. Tepat saat bayang-bayang mulai merayap di sepanjang lantai apartemen, terdengar ketukan di pintu. Erwin akhirnya tiba, membawa barang-barang yang diminta Ethan. Dengan cepat dan efisien, ia memasuki ruangan, meletakkan tas berisi pakaian, makanan, serta buah-buahan di atas meja.
Erwin menyapa Danisa sebentar, memberikan senyum sopan tanpa banyak bicara. Lalu ia mendekati Ethan, membicarakan beberapa hal terkait pekerjaan, menyampaikan laporan singkat tentang proyek yang tengah berjalan. Percakapan mereka hanya berlangsung beberapa menit, terlihat jelas bahwa Erwin ingin cepat menyelesaikan urusannya dan pergi. Setelah memberi hormat singkat pada bosnya, ia pun bergegas meninggalkan apartemen.
Danisa menatapnya dalam diam, menyadari bahwa memohon pertolongan kepada Erwin hanya akan sia-sia. Pria itu hanyalah seorang bawahan, seorang karyawan yang tak mungkin menentang kehendak atasannya. Menyampaikan keberatannya kepada Erwin hanya akan menempatkannya dalam posisi lebih sulit, bahkan mungkin tanpa hasil apa pun.
Begitu Erwin tak lagi terlihat, Ethan menoleh ke arah Danisa. “Ganti bajumu dulu, setelah itu kita makan,” katanya singkat namun penuh ketegasan.
Bukannya menurut, Danisa malah menyeringai sinis. “Kamu benar-benar mau mengurung aku di sini?” tanyanya, nada suaranya bergetar antara kemarahan dan keputusasaan. “Apa sebenarnya yang kamu mau, Ethan? Kalau kamu cinta sama aku, seharusnya kamu nggak memperlakukan aku seperti ini. Bahkan sekarang, aku bisa aja milih mengakhiri hidupku. Aku tersiksa di sini, Ethan!"
Kata-katanya mengalir dengan getir, mengejutkan Ethan sampai membuatnya terdiam sejenak. Ia memandang Danisa dengan tatapan terkejut, seolah tak percaya bahwa perempuan di hadapannya bisa berkata seperti itu. Perasaan yang awalnya ia coba kendalikan kini menyeruak, mengingatkannya bahwa apa yang ia lakukan mungkin telah melukai Danisa lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan.
Padahal, Ethan belum melakukan apa pun, belum menyentuh wanita itu. Hanya menyita ponsel dan mengurung di apartemen, tapi Danisa berkata seperti itu. Lalu bagaimana mungkin dia tega melakukan niatan awalnya untuk membuat Danisa hamil? Apa dia akan setega itu?