Chapter 5

1133 Words
Rasa bubur Ayam yang seharusnya enak dirasa, kini begitu hambar di tenggorokan Danish. Ucapan Ela barusan, benar-benar sangat menyebalkan baginya. Suara perbincangan hangat antara Ela, Irsyad, dan juga Humaira mengisi suasana disekitarnya saat ini. Sesungguhnya, niat Danish kemari hanya untuk menjemput Diyah. Ia tidak ingin putrinya berlama-lama bersama orang lain. "Tante aku mau minum es teh." Suara Diyah kembali terdengar. Danish melirik kearah Diyah hingga tanpa sengaja, ia melihat Nafisah di sebelahnya. Buru-buru Danish mengalihkan tatapannya ke lain, berpura-pura fokus menghabisi semangkuk bubur ayamnya. Ia juga tak menyangka, kenapa putrinya ada di sebelah Nafisah? Bukankah tadi putrinya itu berada disebelah Ela? "Apakah tidak apa-apa, kalau Diyah minum es teh?" "Memangnya kenapa Tante?" "Tante hanya memastikan kalau Diyah tidak apa-apa minum es. Tante khawatir, Diyah bisa sakit semisal minum es." "Papa." Diyah menatap Papa nya. "Tidak apa-apa kan, Diyah minum es?" "Tidak apa-apa, asal jangan berlebihan." Diyah pun mengangguk. Dan segera meminum es tehnya. Setelah itu, dengan perhatian Nafisah meraih tisu dan membersihkan sisa makanan yang menempel pada bibir mungil Diyah. Sementara Irsyad, ia menatap keduanya dengan pandangan tidak biasa. Hatinya merasa heran mengapa Nafisah begitu dekat dan perhatian dengan putri temannya. "Apakah semua itu Nafisah lakukan semata-mata hanya karena dia menyukai anak kecil atau.." Irsyad menatap Nafisah lagi. Memang, ketika di lihat, aura keibuan Nafisah begitu terpancar. Seolah-olah wanita itu sudah siap di pinang. "Atau Nafisah memang dekat dengan gadis kecil itu melebihi apapun?" sela Irsyad dalam hati. "Cieee Kak Irsyad, serius banget sih, merhatiin Nafisah?" goda Humaira tiba-tiba. Irsyad berdeham, terlihat salah tingkah. Sementara Danish hanya bisa diam meskipun mendengar semuanya. Sekarang ia sadar, kemungkinan besar Irsyad benar-benar menyukai Nafisah. "Mas Danish mau tambah lagi?" tanya Ela yang kini kembali bersuara. "Tidak Terima kasih." "Oh iya, tadi aku juga pesan bubur Ayam buat Mama. Bukankah bubur ayam kesukaan Mama juga?" "Em, mungkin." "Kalau Mas sudah selesai. Ayo kita pulang. Kasian Diyah, sepertinya kekenyangan dan mulai mengantuk. Ini kan, jam tidur siang Diyah. Ayo Diyah sayang, kita pulang." ucap Ela penuh keyakinan. Diyah hanya mengangguk. Sementara Ela memasang raut wajah manis penuh kepalsuan. Sengaja memperlihatkan pada semuanya, seolah-olah ia adalah seorang wanita yang terlihat sangat dekat dengan keluarga Danish. Setelah berbasa-basi pamitan, Danish pergi meninggalkan mereka. Sementara Nafisah menatap kepergian Danish dalam diam. "Nafisah?" tegur Irsyad "Ya Mas?" "Kamu, terlihat dekat sekali dengan gadis kecil itu. Apakah hubungan kalian sudah terjalin lama sejak dulu?" Nafisah tersenyum tipis. "Dia putri dari almarhumah sahabatku Mas. Tentu saja aku sangat dekat dengan Diyah, sejak gadis kecil itu di lahirkan." Irsyad hanya mengangguk. Merasa ada yang mengganjal di hatinya soal Nafisah dan Danish. "Memangnya kenapa Mas?" "Ha?" Irsyad tersadar dalam diamnya. Ia tersenyum tipis ke arah Nafisah. "Nggak apa-apa sih. Cuma tanya saja. Berarti, kamu emang nggak lagi nggak dekat sama siapapun termasuk Danish, kan?" "Em, soal itu.." Nafisah bingung harus berkata apa. Apalagi Irsyad bertanya secara tiba-tiba. "Aku nggak tahu Mas. Tapi sejujurnya, saya dan Mas Danish memang tidak ada hubungan apapun." Tidak ada lagi ucapan yang ditanyakan Irsyad pada Nafisah. Namun ntah kenapa, ia masih saja merasa ragu dengan semua ucapan Nafisah. "Sepertinya aku harus bertemu dengan Danish dalam waktu dekat." ❤❤❤❤ "Assalamualaikum, Mama." Diyah tersenyum ceria sambil berjongkok disamping gundukan tanah almarhumah Mamanya. Ia menyempatkan waktu bersama Papa Danish untuk berziarah ke makam sang Mama setiap hari Minggu sore. Diyah juga meletakkan setangkai mawar merah ke atas gundukkan tanah yang kini berusia 1 tahun. "Mama, Diyah kangen sama Mama. Diyah kemari sama Papa. Papa juga kangen Mama, kan?" Buru-buru Danish menghapus buliran air mata di sudut matanya sebelum Diyah melihatnya. Danish pun ikut berjongkok di samping Diyah. "Iya sayang, tentu saja Papa kangen sama Mama." Danish menoleh kearah batu nisan Alina dan tersenyum tipis. "Aku merindukanmu, Alina. Maaf baru bisa berziarah ke makam kamu." "Diyah yakin, Allah sayang sama Mama. Allah memanggil Mama duluan daripada Diyah dan Papa. Semoga Mama selalu tenang disana dan calon penghuni surga bersama Diyah dan Papa nanti. Aamiin." Diyah pun segera membuka tas ransel bergambar kartun Barbie kemudian mengeluarkan isinya. Sebuah buku surah Yasin bergambar wajah Alina. "Papa, ini buku surah Yasin nya. Ayo kita kirim doa buat Mama. Mama pasti menunggu kiriman doa dari kita." Danish mengangguk. Ia tersenyum tipis karena bersyukur, Diyah adalah buah cintanya bersama Alina yang benar-benar pengertian dan kuat. Tanpa menunda waktu lagi, Danish segera membuka halaman pertama untuk membaca surah Al-fatihah di lanjutkan dengan surah pendek lainnya kemudian surah Yasin. Danish begitu khusyuk membaca surah Yasin untuk Alina. Tapi ia tidak sadar, bahwa air mata Diyah akhirnya menetes di pipinya. "Mama, Diyah nggak bisa lupain Mama. Maafin Diyah yang dulunya nakal. Diyah janji, Diyah tidak akan nakal lagi bersama Papa." lirih Diyah dalam hati. ❤❤❤❤ Beberapa hari kemudian Irsyad menyeruput secangkir kopi yang ia pesan beberapa menit yang lalu sembari menunggu Danish. Kopi yang di rasakan Irsyad memang manis, tapi ntah kenapa, rasa manis kopi itu tetap membuat hatinya tidak tenang. "Semoga saja semuanya tidak ada masalah dan akan baik-baik saja." Irsyad menghela napasnya. Berharap kalau apa yang ia khawatirkan sejak tadi tidak menjadi kenyataan. Terutama tentang Danish yang menyukai Nafisah. "Assalamualaikum, Irsyad?" "Wa'alaikumusallam. Oh Danish, duduklah. Mau pesan minum apa? Aku yang akan membayarnya." "Tidak perlu repot-repot Irsyad, aku bisa memesan sendiri." "Sudah, jangan sungkan. Calon istrimu sudah mentraktir kami beberapa hari yang lalu. Sekarang, giliranku yang mentraktirmu." Danish memaksakan senyumnya. Mendengar Irsyad menyebut calon istri barusan, benar-benar membuatnya badmood. Tidak ada lontaran kata yang ia ucapkan selain diam dan menurut saja. "Oh iya, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu, Danish." "Soal apa?" "Kamu dan Nafisah, tidak memiliki hubungan apapun, kan?" Seketika Danish terdiam. Pertanyaan Irsyad barusan benar-benar langsung ke inti pembicaraan. Danish menatap Irsyad dengan tatapan santai, berusaha untuk tenang. Ia tersenyum tipis. "Kenapa tiba-tiba kamu bertanya hal itu padaku?" "Sejujurnya, aku melihat Nafisah beberapa hari yang lalu begitu dekat dengan putrimu. Seperti ibu dan anak. Bahkan putrimu tidak sedekat dengan calon istrimu." "Jangan heran Irsyad, dia sahabat almarhumah istriku. Jadi, waktu putriku di lahirkan, Nafisah sudah ada diantara mereka. Jadi sangat wajar kalau putriku begitu dekat dengan Nafisah." Hati Irsyad berangsur lega. Apa yang ia khawatirkan sejak kemarin-kemarin kini sudah terlewatkan. Dan Danish sadar, ternyata dugaannya benar. Irsyad, teman sekolahnya itu menyukai Nafisah. "Apakah kamu, menyukai Nafisah?" tanya Danish akhirnya. "Iya, aku menyukainya. Itulah alasanku mengajakmu bertemu. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu dan dia tidak memiliki hubungan apapun. Sekarang aku lega atas semuanya." "Kalau begitu, semoga kalian berjodoh." ucap Danish dengan senyuman ramahnya. Ntah kenapa hatinya juga lega, setidaknya ia memiliki alasan yang kuat untuk mengatakan hal ini pada orang tuanya nanti. Penolakan soal perjodohan.. Itu yang Danish pikiran saat ini. "Aku berharap cintaku pada Alina akan tetap ada dan satu, hingga ke surga-Nya Allah. Alina tidak akan tergantikan oleh wanita manapun, ya, aku yakin itu." ❤❤❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD