Chapter 4

1314 Words
Danish masih saja terus diam tanpa berucap apapun setelah ia baru saja pulang dari warung kopi. Irsyad sudah kembali pulang ke rumah beberapa menit yang lalu, menolak tawaran diantar Irsyad menggunakan motor dengan alasan bahwa rumah mertuanya sudah dekat. "Apakah Irsyad akan membenciku bila dia tahu kalau Nafisah akan di jodohkan denganku?" Danish menghentikan langkahnya. Ia kembali terdiam. "Tunggu, apakah secepat itu, aku menerima keputusan Papa dan Mama sementara aku tidak ingin menikah lagi?" "Mas Danish?" Danish menoleh ke belakang. Ia terkejut, ada seorang wanita yang memanggilnya. Danish mengenali wanita itu yang ternyata adalah Ela, Tetangganya sendiri. Buru-buru Danish segera mengalihkan tatapannya ke lain. "Alhamdulillah. Kita ketemu disini. Apakah kita benar-benar jodoh, Mas?" tanya Ela dengan rasa percaya dirinya. Danish mendengkus kesal. Ela memang seperti itu. Umurnya saja yang dewasa berusia 25 tahun. Namun sikapnya sangat kekanakan, manja, dan suka ceplas-ceplos kalau berbicara. Danish tak menggubris, yang ada malah melanjutkan langkahnya menuju rumah. "Lah? Kok aku di tinggal sih?" sungut Ela sebal. "Mas Danish! Tunggu!" "Maaf Ela saya sibuk." "Ya Allah, Mas, saya cuma bercanda. Jangan dibawa serius kenapa sih?" "Bercandamu sejak dulu bikin saya tersinggung." "Tapi bikin saya suka." sela Ela lagi. Ela sampai kewalahan menyamakan langkah Danish, sementara pria itu berjalan cepat. "Kebetulan aku liburan disini. Dan nggak nyangka bisa ketemu Mas. Oh iya, Mas disini sama siapa?" "Papa!" Keduanya pun menoleh ke asal suara. Diyah berlari ke arah Danish hingga akhirnya membuat Ela tersenyum lebar. "Masya Allah. Anak kesayangan tante ada disini? Diyah apa kabar? Kamu sehat kan, nak?" "Tante Ela kok bisa ada disini?" Dengan cepat Ela berjongkok, menyamakan posisinya pada Diyah kemudian memeluk nya. Sementara Danish menatap keduanya dengan pandangan datar. "Tante kangen sama kamu. Bagaimana kalau kita makan siang bersama. Diyah sudah makan?" "Belum. Kebetulan Diyah lapar." "Kalau begitu, Diyah mau makan apa?" "Em, makan apa ya enaknya?" Ela tersenyum kecil. Melihat tingkah laku Diyah yang sedang berpikir. Sementara Danish enggan menatapnya hingga membuat Ela merasa kesal. "Sekali saja kenapa sih? Lihat ke arah aku? Gini-gini aku sudah cocok loh, jadi calon ibu buat Diyah." sela Ela dalam hati. "Tante, Diyah mau makan bubur ayam." "Wah, ide yang bagus. Mas Danish-" "Maaf saya sudah kenyang. Diyah, ayo ikut Papa pulang." "Diyah nggak mau." "Tapi Diyah-" "Kan Diyah lapar, Papa." "Kita bisa makan dirumah sama Nenek. Ayo." "Nggak mau, nggak mau, Diyah maunya bubur ayam." "Em, baiklah-baiklah." Ela berusaha menjadi penengah antara Danish dan putrinya. "Mas Danish, saya minta izin ya, bawa anak kita makan." "Ela.. " Danish menatap Ela dengan tatapan peringatan. "Bercanda Mas, bercanda! Serius banget sih." "Papa boleh kan? Ya? Ya? Ya? " Diyah merengek-rengek pada Papa nya sampai akhirnya Danish pun menghela napasnya. "Oke, tapi jangan lama-lama ya. Nanti Kakek dan Nenek cari kamu." "Asyik! Terima kasih Papa." Danish hanya mengangguk dan segera meninggalkan putri nya bersama Ela. Ela menatap kepergian Danish dengan sewot sekaligus gemas kenapa pria itu sering mengabaikannya. "Kenapa sih? Semenjak Mbak Alina pergi, Mas Danish berubah jadi dingin begitu sikapnya?" ucap Ela dalam hati. ❤❤❤❤ Hujan turun dengan deras. Nafisah menyesal karena tidak membawa jas hujan dalam jok kendaraan motor matiknya. Sementara Humaira, teman kerja Nafisah itu, sejak tadi ikut mendengkus kesal akibat tidak bisa pulang juga. "Ya Allah, hujannya kapan berhenti ya?" Nafisah menoleh kesamping. Humaira terlihat muram. "Sabar, Ra, namanya sudah takdir kalau siang ini hujan. Mau gimana lagi?" "Iya, tapi-" Tint! Suara klakson mobil menghentikan dumelan Humaira. Sebuah mobil berhenti tepat didepan Nafisah dan Humaira. Pintu kaca mobil turun dengan perlahan, Nafisah terkejut kalau pemilik mobil itu adalah Irsyad. "Butuh tumpangan? Ayo, saya antar." "Kak Irsyad!" Dengan sumringah Humaira mengangguk. Tentu saja ia senang karena tiba-tiba Kakak kandungnya itu datang disaat yang tepat. "Kak, aku ikut nebeng ya?" "Boleh, ayo masuk, sekalian kita makan siang bareng di luar." ajak Irsyad lagi. "Nafisah, ayo, bareng aku dan Kakakku, yuks!" Nafisah melongo menatap Humaira. Ia terkejut. Ternyata dunia ini sempit, selama 6 bulan ia bekerja bersama Humairah di lembaga bimbel, ia baru tahu kalau Irsyad adalah Kakak kandung wanita itu. "Haloo, Nafisaaahhh?" Humaira menjentikkan jarinya didepan wajah Nafisah. "Ha?" "Ayo! Buruan!" "Tapi-" Dengan cepat pergelangan tangan Nafisah sudah di tarik oleh Humaira. Sesampainya didalam mobil, Irsyad menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya. Mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sementara Nafisah berusaha untuk tenang namun tidak bisa. Rasanya ia begitu kesal dengan Humaira yang malah sibuk bermain ponsel, tidak mengajaknya berbicara agar ia tidak merasa canggung. Nafisah sadar, spion tengah milik Irsyad secara tidak langsung memang terarah ke wajahnya. Nafisah mencoba melirik kesamping kaca mobil, memperhatikan jalanan yang tidak macet namun sepi karena jalanan kota Bontang sedang di guyur hujan. Nafisah menghela napasnya, tanpa sadar, ia menoleh kearah spion lalu secepat itu Irsyad melihat kearah depan setelah ketahuan tertangkap basah menatapnya ntah sudah berapa lama. Jantung Nafisah berdegup kencang. Pipinya merona merah. Tak hanya itu, Irsyad pun merasa ingin membenturkan saja keningnya pada kemudi stir karena sempat tercyduk melihat Nafisah, guru les privat keponakannya yang meneduhkan. "Ya Allah, kenapa deg-degan begini sih? Apa benar, aku suka sama dia? Kenapa bisa secepat itu?" ucap Irsyad dalam hati. ❤❤❤❤ Ela tersenyum tipis didepan Diyah. Tapi sebenarnya, dalam hati ia merasa kecewa. Sudah 6 bulan ini ia mendekati keluarga Danish. Ntah kenapa semenjak Danish menduda, ia merasa tertarik untuk mendekati Danish yang baik, sopan, ramah, dan penyayang. Pria itu juga di kenal Soleh oleh masyarakat sekitar apalagi sering mengikuti kegiatan keagamaan di mesjid. Untuk mendekati Danish, satu-satunya cara adalah mendekati Diyah terlebih dahulu. Diyah beralih menatap kearah Ela. "Tante?" "Ya?" "Buburnya masih panas. Suapin dong?" "Ha? Suapin?" Diyah mengangguk. Sementara Ela merasa keberatan. Padahal ia berniat ingin memegang ponsel dan bermain sosial media. "Diyah makan sendiri ya. Tante sibuk nih." Diyah merasa kecewa. Detik berikutnya, tanpa sengaja Ela melihat Danish baru saja memasuki warung makan bubur Ayam. Dengan cepat Ela meraih sendok yang sedang di pegang Diyah. "Nah, ini bubur ayamnya sudah tidak panas lagi. Mau Tante suapin?" "Iya Tante, mau. Yey! Diyah mau bubur." Ela pun mulai menyuapi Diyah dengan lahap. Namun, baru saja mengunyah, tiba-tiba Diyah merasa hidungnya gatal. Hatciii!!!! Semburan kunyahan bubur mengenai Ela. Seketika Ela merasa jijik apalagi kunyahan bubur itu bercampur air liur Diyah menempel pada ujung hijab dan tangannya. "Tante, maaf, Diyah nggak sengaja." Ela meringis kemudian mengangguk. Ia merasa tidak suka pakaian dan tangannya di kenai semburan bubur dari dalam mulut Diyah. "Ih, jorok banget sih, iyuhh." kesal Ela dalam hati. "Sudah selesai makannya? Aku ingin menjemput Diyah kemari." "Belum, Pa. Kan Diyah baru saja makan. Masa mau pulang sih?" Tanpa siapapun sadari, secepat itu Ela langsung merubah raut wajahnya menjadi ramah kepada Diyah karena sedang menarik perhatian pada Danish. "Ya ampun Diyah sayang, sini, Tante suapin lagi. Sayang harus makan ya. Sini, makan sama Tante." Sesekali Ela melirik ke arah Danish. Namun lagi-lagi Danish mengabaikannya. Di saat yang sama, Irsyad, Humaira, dan Nafisah pun masuk ke tempat yang sama karena ingin makan siang. "Hai Danish, kita ketemu lagi?" Ela menoleh ke asal suara. Seorang pria menegur Danish. Di belakangnya ada dua orang wanita. Namun kedua mata Ela terfokus pada salah satu wanita yang kini menatap Danish dengan tatapan tidak biasa. "Siapa wanita ini? Kok tatapannya seperti terkejut begitu? Dan, kenapa juga Mas Danish melihat ke arah wanita itu?" Hati Ela merasa panas, dengan santai ia pun berdiri dengan raut wajah sombong. "Assalamu'alaikum semua, ini teman-temannya Mas Danish ya? Wah kebetulan sekali, meja ini masih kosong. Ayo kita makan bersama disini. Saya yang bayar." "Eh, nggak perlu Mbak." Irsyad merasa sungkan. "Kami-" "Sudah nggak apa-apa Mas. Anggap saja semua ini rezeki dari Allah. Oh iya senang bertemu dengan kalian semua. Perkenalkan, saya Ela. Calon istri Mas Danish." Detik berikutnya, Nafisah yang sejak tadi diam pun akhirnya syok. Ia menatap Ela tak percaya. Namun di sisi lain, ia merasa lega. "Alhamdulillah deh, wanita ini calonnya Mas Danish. Berarti, kedatangannya kemarin waktu kerumah, nggak ada maksud apa-apa kan?" ❤❤❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD