Chapter 1
Danis menatap gundukan tanah yang kini sudah berusia setahun. Alina, istri yang ia cintai meninggal dunia karena sakit kanker rahim di usianya 26 tahun. Hanya menatap gundukkan tanah itu, bayangan masalalunya bersama Alina terlintas dipikirannya.
Kenangan ketika pertama kali bertemu dengan wanita itu dan menikahinya, bahkan ketika Alina dinyatakan positif hamil setelah sebulan pernikahan mereka.
Danish merunduk meletakkan beberapa bunga mawar merah diatas gundukan tanah. Ia pun memegang batu nisan almarhumah Alina dengan perasaan terluka. Disaat yang sama, Diyah, buah cintanya bersama Alina juga menghilang ntah kemana.
"Maafkan aku Alina, aku gagal menjaga Diyah. Sekarang, aku tidak tahu dimana dia berada. Putri kita di culik." Danish menarik napas sejenak. Sebulir air mata menggenang di sudut matanya.
"Seharusnya aku mendengar perkataan Mama untuk berhenti bekerja sebagai wartawan agar waktu yang aku gunakan lebih banyak untuk putri kita. Tapi, kebutuhan hidup menuntutku untuk bekerja mencari nafkah."
Danish mendongak menatap langit diatas kepalanya. Sebentar lagi senja akan tiba. Dengan berat hati, Danish pun berdiri. Kedua kakinya serasa melemas.
"Aku janji, setelah Diyah ditemukan, aku akan berhenti bekerja sebagai wartawan. Aku akan fokus menjaga Diyah dan mencari pekerjaan yang lain. Maafkan aku, suamimu ini sudah lalai menjadi seorang Papa untuk putri kita."
***
Seorang wanita terlihat mondar-mandir sambil memegang ponsel di tangannya. Dia adalah Nafisah Zaina. Kabar seorang anak hilang bernama Diyah cukup menggemparkan sosial media. Tentu saja ia mengenal Diyah, putri cantik yang begitu menggemaskan dan putri dari almarhumah sahabatnya Alina.
"Akhir-akhir ini aku begitu sibuk dengan pekerjaan baru. Sampai akhirnya aku tidak pernah tahu bagaimana kabarnya Diyah. Apakah aku harus menghubungi babysitternya?"
Nafisah terlihat mondar-mandir. Rasa khawatirnya begitu besar. Apalagi ia sudah menganggap Diyah seperti anaknya sendiri. Itu semua terjadi karena dimasalalu ia begitu dekat dengan Diyah sejak gadis itu baru saja dilahirkan. Bahkan, ia juga sering berkunjung ke rumah Alina.
Persahabatannya dengan Alina memang begitu erat meskipun takdir membuatnya harus berpisah ketika Allah memanggilnya untuk meninggalkan dunia ini selama-lamanya.
"Alina, aku sangat khawatir dimana keberadaan Diyah sekarang. Aku yakin, suami kamu juga kebingungan disana." gumam Nafisah pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.
Nafisah duduk di pinggiran ranjang. Air mata mengalir di pipinya. Ia menatap bingkai foto dirinya bersama almarhumah Alina waktu kecil. Nafisah pun meraihnya kemudian memeluknya.
"Kalau boleh jujur, sudah setahun berlalu, aku juga kangen kamu. Semenjak kamu menikah dan mengikuti suamimu, aku merasa kehilangan kamu. Tapi aku sadar, kamu wajib seperti itu karena kamu sudah menikah."
"Ya Allah, lindungilah Diyah dimanapun berada." lirih Nafisah dengan sendu.
***
Seminggu kemudian.. Kantor polisi kota, pukul 10.00 pagi.
Danish dan sekeluarga, dengan cepat mereka menuju kantor polisi. Kabar bahwa Diyah di temukan membuat Danish ingin menangis saat itu juga. Mobil yang Danish kemudikan berhenti tepat di parkiran kantor polisi.
Danish dan Mama Papanya segera memasuki kantor polisi dengan langkah terburu-buru. Dari Jarak beberapa meter, Danish melihat putrinya yang terlihat tidak baik-baik saja. Detik berikutnya, Mama Danish pun langsung memeluk cucunya.
"Ya Allah, Diyah, kamu baik-baik saja kan, nak?"
Diyah terlihat kebingungan. Wajah gadis kecil itu terlihat kusam dan kotor, tak hanya itu, sebagai seorang nenek, ia juga sadar pakaian cucunya tidak berganti sejak seminggu yang lalu. Setelah mendapat keterangan dari informasi pihak kepolisian, rupanya Diyah di culik oleh ibu paruh baya untuk di jadikan pengemis di pinggir jalan saat Diyah bermain didepan rumah ketika babysitternya lengah.
Danish menatap ibu paruh baya tersebut sebagai pelaku penculikan. Ibu tersebut terlihat sedih dan menyesal. Lalu tatapan Danish beralih ke arah Diyah, dengan rindu, ia pun memeluk putrinya.
"Diyah kangen Papa." bisik Diyah pelan.
"Maafkan Papa, Diyah, maafkan Papa."
***
Aminah menatap putranya dengan prihatin. Saat ini, Danish sedang mengusap kepala Diyah yang tertidur pulas diatas pahanya. "Kamu nggak bisa selamanya mempercayakan Diyah kepada pengasuh atau babysitter, nak."
Danish hanya bisa diam mendengar lontaran Mamanya barusan. Ia sadar, ia sudah salah karena telah memilih babysitter buat Diyah.
"Sebenarnya, Mama bisa menjaga Diyah, tapi kamu tahu sendiri, kondisi Papa sakit-sakitan. Sering ngedrop. Mama dan Papa sudah berusia senja. Kami khawatir, tidak bisa maksimal menjaga Diyah."
"Mulai besok, aku akan berhenti bekerja." sela Danish.
Aminah menatap putranya. Ia begitu paham bagaimana profesi wartawan adalah impian putranya sejak masa sekolah menengah pertama. Melepas sebuah impian memang tidaklah mudah bagi Danish.
"Kamu nggak perlu berhenti bekerja. Kamu cukup menikah lagi dengan seorang wanita yang tepat." sela Mahmud tiba-tiba, Papa Danish.
Danish terkejut. "Pa, please, itu tidak semudah yang dipikirkan. Menikah lagi, bagiku bukan pilihan yang tepat. Belum tentu juga wanita itu akan menyukai Diyah. Lagian, cintaku hanya tersimpan untuk Alina."
"Apa kamu sendiri yakin, untuk melepas profesimu sebagai wartawan berita harian?" tanya Aminah lagi.
"Iya, aku bisa Ma."
"Tapi wajahmu seperti tidak rela." Danish terbungkam. Memang, melepaskan karirnya akan membuatnya kecewa. Tapi ini semua demi Diyah, ia harus siap melakukan itu.
"Hanya ada satu wanita yang akan menerima Diyah dengan ikhlas dan penuh cinta." ucap Mahmud akhirnya hingga membuat Danish menatap Papanya.
"Dia adalah Nafisah. Sahabat almarhumah istrimu."
"Apa?"
"Kenapa Danish? Dia wanita yang baik dan penyayang pada Diyah. Apakah kamu pernah melihat Nafisah?" Seketika hati Danish terluka. Tentu saja ia tidak ingin cintanya ia bagi kepada wanita manapun selain Alina.
"Aku hanya mendengar Alina sering menyebut namanya saja, tapi tidak pernah melihatnya karena saat dimasalalu, aku menundukkan pandanganku kepada wanita yang bukan muhramku, apalagi kepada wanita yang tidak terlalu penting bagiku. Tatapan cintaku, hanya untuk Alina. Itu saja."
"Tolong pikiran baik-baik nak," sela Aminah. "Mama sangat paham, bagaimana rasa cintamu pada Alina. Tapi kamu juga harus memikirkan Diyah. Dia butuh sosok figur seorang Ibu. Itu saran yang terbaik untuk kami, selebihnya, minta pentunjuk dari Allah dan sholat istikharah."
Detik berikutnya tidak ada yang bisa Danish lakukan selain menatap Diyah yang tengah tertidur pulas di pahanya. Danish menyentuh pelan pipi putrinya yang sedikit tirus, tidak chubby seperti biasanya.
***
2 Minggu kemudian..
Nafisah baru saja bersiap-siap hendak pergi bekerja di sebuah lembaga pendidikan sebagai guru les. Nafisah sudah rapi dengan rok panjang dan atasan lengan panjang beserta hijab polos yang kini menutupi bagian depan dadanya dan belakang tubuhnya.
Nafisah meraih tas selempang kemudian memakainya. Tak hanya itu, ia juga mengecek jam di pergelangan tangannya. Pukul 13.00 siang, ia harus segera berangkat karena satu jam lagi, jadwal mengajarnya akan tiba.
Suara pintu terketuk pelan. Nafisah pun segera menuju ruang tamu kemudian membuka pintunya. Seorang pria yang familiar baginya sedang menggandeng tangan mungil gadis kecil yang tentu saja ia kenali.
"Tante Fisah!"
Detik berikutnya, Nafisah langsung memeluk Diyah dengan perasaan rindu yang tidak terbendung lagi. Danish sampai tidak menyangka putrinya akan terlihat sebahagia itu.
"Sayang, Tante kangen sama kamu, kamu baik-baik saja kan, nak?"
Dengan perlahan Nafisah memegang kedua pipi Diyah yang terlihat baik-baik saja. Wajah gadis itu terlihat ceria. Semua kejadian itu, membuat Danish sadar, kalau putrinya begitu menyayangi Nafisah. Danish memalingkan wajahnya ke samping.
Hanya seperkian detik dan seperlunya saja, ia menatap wajah Nafisah. Bagi Danish, ini pertama kalinya, ia menatap rupa Nafisah yang memang cantik dan teduh jika di pandang. Tapi siapa sangka, disaat yang sama, hati Danish pun ikut terluka.
"Alina, maafkan aku.."
***