Aku Apa?

1093 Words
"Minggir!" Ellie dilanda dilema. Dia ingin menyingkir, tapi dia juga tahu, gadis itu termasuk dalam orang yang tidak diijinkan oleh Raven untuk melihat keadaannya. "Minggir kataku!" "HAZEL! Biarkan Willow masuk, dan kau juga masuk." Suara Raven membuat gadis itu tersentak. Tapi dengan gerakan cepat, dia mendorong tubuh Ellie ke samping, membuat Ellie nyaris terjerembab. Untung saja satu tangannya masih berpegangan pada pintu. "RAVEN!" Gadis itu memanggil Raven dengan suara bernada manja, sambil berlari ke arahnya. "Berhenti di sana!" Raven menunjuk ke depan meja. "Kenapa? Aku hanya ingin memelukmu!" "Aku sedang terserang flu. Kau akan tertular nanti! Tubuhmu lemah." Raven berbohong. Dia hanya tidak ingin jika Willow melihat kursi rodanya yang kini tertutup meja kerja. Sandaran kursi itu bentuknya mirip seperti kursi kantor biasa. Dia terlihat normal, apalagi Raven sudah memakai kacamata hitamnya lagi. Dia tidak terlihat sedang sakit jika dilihat dari depan. Mungkin hanya sedikit aneh, karena dia memakai kacamata hitam di dalam ruangan dan saat malam hari. Tapi sepertinya Willow tidak peduli dengan kejanggalan itu, dia hanya menuntut jawaban dari Raven. "Willow, kenapa kau masih di sini? Bukankah Jasper sudah menyuruhmu pulang?" tanya Raven. "Aku hanya ingin bertemu denganmu!" Gadis itu sekarang mulai merajuk seperti anak kecil. Ellie mendadak teringat bagaimana Raven mengatakan dia membenci rengekan tadi sore. "Aku akan bertemu denganmu, jika punya waktu. Kau tahu benar soal ketentuan ini, saat memutuskan menjadi tunanganku. Jadi jangan mengulang perbuatan ini lagi! Jika Jasper mengatakan aku sibuk, itu berarti aku sibuk." Ellie memandang tangannya, yang kini mulai merinding, kemudian menyadari satu hal. Beberapa minggu ini dia terbiasa melihat sisi lain Raven. Dia memang kasar tapi beralasan, tapi dia juga jahil, dan lebih sering terlihat kesepian. Raven yang baru saja berbicara tadi, terlihat seperti Raven yang ditemuinya lima tahun lalu. Dingin, tidak berperasaan, dan lebih menyeramkan dari hantu. Mendadak Ellie merasa simpati pada Willow. Gadis itu kini menunduk dengan bahu terguncang. Well...siapa saja akan menangis, jika lelaki yang seharusnya menjadi tunangamu, tiba-tiba mengusirmu keluar dengan kasar. "Hazel, bisa tolong ambilkan dokumen di meja itu?" Rave tiba-tiba menoleh. Aktingnya sempurna! Raven menoleh pada Ellie di arah yang tepat. Dia sudah terbiasa mencari sumber suara nafas Ellie, jadi bisa menebak posisinya dengan mudah. Ellie yang mengerti jika dia harus berakting agar Raven terlihat normal, mengambil dokumen di meja kecil yang mereka pakai makan. Raven yang meninggalkannya di sana tadi. Dia lalu berjalan memutar ke samping Raven, dan meletakkan dokumen itu di meja. Ellie tidak mengulurkannya pada Raven, karena Willow akan merasa aneh, jika sampai melihat Raven meraba udara. "Aku akan bekerja lagi. Kau pulanglah." Raven kembali mengusir Willow. "Siapa gadis itu?" Ellie langsung membeku. Dia lupa soal pertanyaan itu. Saat ini hampir tengah malam, justru akan sangat aneh jika Willow tidak bertanya soal identitas wanita yang berada satu kamar dengan tunangannya. "Eh!" Ellie terkesiap, saat tangannya yang masih terulur ke meja, disambar oleh Raven. Dengan telak, Ellie jatuh ke pangkuan Raven. "Apa kau masih perlu bertanya? Dia gadis peliharaanku saat ini." Tangan Raven dengan cepat berpindah ke dagu Ellie, menolehkan kepalanya ke arah wajahnya sendiri. Dan ciuman Raven merenggut bibir Ellie, yang masih terbuka karena terkejut. Seolah mengulang kisah lampau, bibir Raven masih terasa manis menggoda. Mata Ellie yang tadi melebar terkejut, perlahan meredup. Dan bibirnya yang kelu, menghangat di bawah sentuhan lidah Raven. Akal sehat Ellie lenyap tak berbekas, saat tangan Raven mulai bergerak, mengelus pipi dan lehernya. Seharusnya ciuman itu hanyalah akting untuk menipu Willow, tapi sepertinya mereka berdua melupakan kehadirannya dalam waktu sekejap. Gadis berkulit porselen itu, kini terlihat semakin pucat, memandang tontonan mesra di hadapannya. "Aku pergi!" Dengan lelehan air mata di pipi, Willow berlari keluar, hampir menabrak Sophie yang berdiri di depan pintu sedari tadi. CKLEK! Kali ini, buih hangat yang menjalari tubuh Ellie, larut karena suara pintu yang ditutup oleh Sophie Ellie melompat bangun dari pangkuan Raven, dengan nafas terengah. "Kau....Kau..!" Dia hanya bisa menunjuk Raven dan mengulang kata itu, Ellie kebingungan memilih ribuan kata u*****n yang berlomba menyerbu lidahnya. "Maaf....." Raven mengucapkan kata itu dengan lirih. Kata itu menghapus amarah Ellie hampir seketika. Perlahan, Raven membalik kursinya ke arah dinding kaca, yang sekarang hanya menampakkan pemandangan gelap. "Aku tahu kau melakukannya hanya untuk mengusir Willow... Tapi...." Ellie mengusap bibirnya pelan. Separuh dirinya ingin menghapus jejak bibir Raven, tapi sisa yang lain, ingin menyimpannya untuk waktu lama. "Maafkan aku" Raven mengulang kata itu. Mengingat sifat Raven, kata itu bebannya puluhan kali lipat dari pada kata maaf yang diucapkan oleh orang kebanyakan. Ellie memandang bagian belakang kepala Raven yang kini menunduk. Itu adalah keadaan paling menyedihkan, yang pernah dilihat Ellie dari Raven. "Jangan....." Ellie mulai merasa tidak waras. Dia tadi ingin meneruskan omelan, mengingatkan Raven untuk tidak mengulang perbuatan seperti itu lagi. Tapi mulutnya yang menikmati ciuman itu, dengan mulus berkhianat dan menyembunyikan sisa kalimatnya. "Jika ingin, kau boleh kembali ke kamarmu yang lama. Aku akan menyuruh Sophie untuk membereskan barangmu besok." Sesaat Ellie ingin langsung setuju dengan tawaran itu. Tapi saat sekali lagi menatap Raven, yang masih membelakanginya, Ellie berubah pikiran. "Tidak, aku akan tetap di sini," kata Ellie, dengan mantap. "Aku tidak akan meninggalkan pasien dalam kondisi buruk," lanjutnya. Mungkin terdengar aneh, karena kemarin Ellie sangat kesal saat Raven memanfaatkan kartu tanggung jawab pada pasien. Tapi melihat keadaan Raven, Ellie tidak mungkin menjauhinya sekarang. Raven jelas sedang frustasi. Tanda yang terlihat jelas adalah, dia mendorong siapa saja yang ada di sekitarnya untuk menjauh. Di saat seperti ini, jika Ellie menerima penawaran itu, maka semangat Raven kemungkinan besar akan terpuruk. Ini akan berpengaruh pada kesembuhannya. "Aku akan tetap di sini." Ellie mengulang tekatnya, untuk menegaskan pada Raven jika dia menolak penawaran itu. "Kemarin dulu, kau sepertinya tidak sabar ingin segera pindah, kini kau menolak? Jangan katakan kau berharap aku akan menciummu lagi. Apa kau menyukainya?" Ellie yang dulu mungkin akan langsung mencaci Raven, tapi tidak sekarang. Ucapan jahat itu, hanya bentuk lain dari usaha Raven untuk membuatnya menjauh. Dia mengatakan hal itu karena usaha pertama untuk membuat Ellie keluar dari kamar telah gagal. "Ha..... Lucu sekali. Aku tidak akan termakan oleh omongan murahan seperti itu!" Ellie tersenyum sinis, tapi kemudian menghapusnya. Percuma, Raven tidak bisa melihatnya. "Terserah kau saja!" Tidak ingin melawan lagi, Raven membebaskan Ellie untuk bertindak sesuka hati. Dia terlalu keras kepala. "Aku akan memberimu keringanan. Kau boleh tidur selarut mungkin malam ini. Hanya malam ini!" PLOK! Ellie mematikan lampu, lalu beranjak ke ranjang. Dari tempatnya berbaring, Ellie bisa melihat sosok Raven yang masih setia menghadap ke luar. Di mata Ellie dia kembali terlihat merana. Jika bisa, Ellie ingin sekali mengintip isi kepala Raven. Dulu dia mengira Raven tipe pria tampan yang dangkal dan menyebalkan. Tapi sepertinya tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD