Tamu Tidak Diundang

1154 Words
Akal Ellie yang masih sehat, tentu saja terus mengingatkan agar dia meneruskan langkahnya ke ruang penyimpanan. Tapi ide untuk melihat siapa tamu yang sedang bersama Jasper, memukul bagian belakang kepalanya tanpa henti. Ellie menyibak tirai jendela yang ada di sebelah pintu. Di depan pagar, terlihat Jasper sedang berhadapan dengan seorang gadis yang berselimut mantel tebal, berwarna putih. Tingginya hampir menyamai Jasper. Sekilas Ellie seperti melihat boneka model kuno, yang kecantikannya tidak manusiawi. Gadis itu berkulit pucat seperti porselen yang mulus tidak bercacat. Matanya besar berwarna hijau, sedang rambut hitam panjangnya, tergerai bebas, bergelombang menutupi syal berwarna merah di lehernya. Sosoknya sangat kontras dengan Ellie. Kulit Ellie lebih ke arah kuning langsat, rambutnya pirang lurus, dan tinggi Ellie tidak sampai ke dagu Jasper. "Aku tahu dia ada di sini! Biarkan aku melihatnya!" "Miss Gilbert, Mr. Wycliff tidak ada di dalam. Saya harap anda mengerti. Beliau sedang ada di Perancis," kata Jasper. "Berhenti memanggilku Gilbert. Jangan bersikap seolah kau baru saja mengenalku. Kita teman kuliah, Jasper!" "Benar, kita teman dulu. Tapi sekarang saya adalah pegawai Mr. Wycliff, saya harap anda mengerti. Silahkan pulang!" "JASPER! Aku hanya ingin bertemu dengan tunanganku sendiri. Aku sudah berbulan-bulan tidak melihatnya. Dia terus bersembunyi semenjak pulang dari Belgia! Apa yang sebenarnya terjadi?" "Anda salah paham. Mr. Wycliff hanya sedang sibuk, bukan sedang bersembunyi." Ellie kagum mendengar Jasper bisa berbohong dengan mempertahankan wajah dingin, dan nada tenang. "OMONG KOSONG!" Untuk seseorang yang terlihat seperti boneka feminin, teriakan gadis itu ternyata lumayan keras. Ellie tersentak, saat mendengarnya. Dan sentakan itu memaksakan otak Ellie untuk berpikir sehat. Perbuatannya saat ini sungguh tidak bisa dibenarkan. Dia mengintip sesuatu yang bukan urusannya. Nyaris berlari, Ellie menuju ke ruang penyimpanan untuk mengambil tisu. Dia harus bergegas, sebelum Sophie bertanya-tanya kenapa dia membutuhkan waktu lama, jika hanya untuk mengambil tisu *** Ellie meletakkan nampan sarapan di meja bulat kecil yang ada di sebelah meja kerja Raven. Mereka biasa menikmati sarapan di sana. "Apa salju sudah turun?" tanya Raven. Dia ada di depan pintu geser yang terbuka, dengan tangan terulur keluar. Pemandangan itu kembali mengundang iba Ellie. Raven mencoba menangkap salju. Dia tidak bisa menikmati pemandangan bersalju dengan mata lagi. Perbuatan yang terlihat sepele saat dilakukan dalam keadaan normal, tapi mustahil untuk dilakukannya sekarang. "Belum. Tapi suhu sudah benar-benar dingin. Aku rasa kau lebih baik masuk, sebelum terserang flu." Entah karena patuh pada Ellie, atau hanya karena mulai merasa dingin, Raven memundurkan kursi dan menutup pintu. Dia menjalankan kursinya ke meja sarapan. Ellie meraih tangan Raven, menggenggamkan sendok, agar dia tidak perlu meraba mencari di meja. Tanpa kesulitan, Raven menemukan mangkuk, dan mulai menyendok oatmeal ke mulutnya Ellie memandang gerakan Raven dengan mulut terkunci, tapi hatinya menggaungkan puluhan pertanyaan tentang gadis yang sekarang bertengkar dengan Jasper di bawah. Apa kau tahu soal kedatangannya? Apa kau yang menyuruh Jasper mengusirnya? Di mana kau mengenal gadis itu? Kapan kalian bertunangan? Apa kau mencintainya? Kapan kalian akan menikah? Kenapa kau juga bersembunyi darinya? Bukankah dia tunanganmu? Apa kalian tidak dekat? Siapa yang lebih cantik... Ellie menutup mata sejenak, menjernihkan pikiran. Semua pertanyaan itu tidak mungkin dia lontarkan pada Raven. "BUKAN URUSANMU DIA AKAN MENIKAH DENGAN SIAPA!" Ellie membatin dengan kesal. Dia seharusnya tidak peduli dengan kedatangan gadis itu. Dia hanya bekerja di sini. "Ada apa denganmu? Apa kau tak suka dengan menu sarapan ini?" tanya Raven. Raven rupanya bisa merasakan ketegangan di meja, karena nafas Ellie terdengar tidak teratur, dalam usaha melupakan gadis berambut hitam itu. "Tidak... Bukan." "Lalu kenapa kau terdengar aneh?" "Apa aku tidak boleh terdengar aneh?! Dan apa aku harus menjelaskan semua apa yang aku rasakan padamu?! Kau bukan ...." Ellie menahan lidahnya pada saat yang tepat. Kata 'kekasihku' akan terdengar berlebihan. "OK..,, Kau tidak perlu menjelaskan jika tidak ingin. Apa ini yang disebut dengan periode PMS? Sensitif sekali! Kalau begitu aku tidak akan bertanya lagi," keluh Raven, yang memang tidak berniat buruk saat bertanya. Ellie kembali menggigit lidah agar tidak membantah. Anggapan Raven soal PMS masih terdengar lebih baik, dari pada alasan yang sebenarnya ada di hati Ellie *** "Jangan!" Ellie berteriak putus asa, saat melihat Raven memaksa kakinya untuk berdiri. Menarik tubuhnya dengan bantuan tiang latihan berjalan, yang tertanam di lantai. Dia hanya menoleh sebentar untuk membereskan tali elastik yang tadi di pakai untuk latihan, dan Raven sudah berulah. Kini tubuhnya terpuruk di lantai. "Apa kau lupa? Pelan-pelan saja. Aku tahu kau ingin segera berjalan, tapi jika memaksakan diri, otot kakimu akan rusak!" Dengan bersusah payah, Ellie mencoba mengangkat Raven ke kursi roda. Menyeret lebih tepatnya. Setelah bersusah payah, Raven menggapai sandaran kursi, dengan sedikit dorongan Ellie di punggung, Raven berhasil duduk kembali. Ellie meluruskan kaki Raven setelah dia duduk di kursi roda. Dengan rabaan singkat, Ellie sudah bisa merasakan jika ada yang salah dengan otot kaki itu. Dia melirik wajah Raven. Tidak ada ekspresi kesakitan di sana, tapi Ellie melihat otot rahangnya mengeras. Dia bertekat menahan rasa sakit itu, meski mungkin akan mematahkan giginya. "Tahan sebentar." Tangan Ellie bergerak, memulai pijatan cepat untuk mengurangi rasa sakit itu, mengerahkan segenap syaraf perasa di ujung jarinya. "Bagaimana?" "Lebih baik." Raven menjawab sambil menyandarkan kepala, dan menghembuskan nafas panjang. "Aku harap ini terakhir kalinya kau mencoba berdiri tanpa seijinku," kata Ellie. "Kau bertekat akan terus marah padaku hari ini?" Raven mendeteksi nada jengkel di suara Ellie. "Aku akan marah pada siapapun yang memang bersalah!" sergahnya Ellie mengembalikan kaki Raven ke tumpuan, dan berdiri. Tapi gerakannya tertahan, saat Raven menariknya mendekat. Nyaris saja dia jatuh ke pangkuan Raven, tapi tangannya sigap menyambar sandaran kursi. Ellie berusaha menjauh, saat sadar wajahnya kini hanya berjarak lima centi dari wajah Raven. Ellie bisa melihat mata Raven yang kosong, bergerak mengedip pelan, dan aroma tubuhnya perlahan memenuhi hidung Ellie. Entah parfum apa yang dipakainya, Ellie dengan cepat menyukai wangi lembut yang menguar dari tubuh Raven. "Kau gadis yang unik sekali. Dan entah kenapa aku menikmati setiap kali kau marah atau membentakku." Senyum maut Raven terukir sempurna di wajah itu. Jika pada situasi normal, Ellie akan merelakan akal sehatnya menghilang, tapi bayangan gadis berambut hitam tadi pagi..... "Mungkin kau gila! Atau mungkin kau punya kelainan dan cenderung masochist!" "Tidak!... Sebelum kau, aku tidak pernah suka ada wanita yang membentak, memohon, apalagi merengek padaku. Tapi kau berbeda......Kau seperti kucing." "Apa?" "Kau tahu bagaimana kucing. Dia akan mengeong dan mencakar tuannya dengan ganas, tapi tetap menggemaskan." "Aku bukan kucing, dan yang pasti aku bukan peliharaanmu." Ellie menghentakkan tangan Raven, membebaskan diri. "Marlow!" Ellie berteriak memanggil Marlow yang biasanya akan ada di luar ruang latihan. Dia yang akan membawa Raven ke kamar. Raven masih terkekeh geli, saat Marlow mendorongnya keluar. *** "Tunggu, Miss Gilbert! Anda tidak boleh masuk!" Ellie baru saja membuka pintu kamar, ingin mengambil minum di dapur, saat terdengar keributan dari arah tangga. Dan sumber masalah yang membuat Sophie berteriak, terlihat dua detik kemudian. Gadis boneka itu berlari, dengan Sophie di belakangnya mencoba mengejar. Tapi faktor umur menentukan pemenang. Dengan mudah gadis itu mencapai pintu. Dia baru berhenti, karena ada Ellie menghalangi pintu. "Siapa kau?!" tanyanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD