Mata Ellie membuka paksa, saat dia mendengar sesuatu di kegelapan. Dia sudah terlelap nyenyak, tapi ada suara yang menganggunya. Ellie mendengar geraman lirih sesaat tadi.
Ellie mencengkeram selimutnya erat-erat. Dia benci semua yang berbau horor. Dan pikirannya, dengan aktif langsung membayangkan segala hal menyeramkan, saat mendengar geraman itu.
"No.. Please don't!"
Ellie menendang selimutnya dan bangkit. Itu adalah suara Raven, bukan hantu. Dengan tepukan tangan, Ellie menghidupkan lampu.
Terlihat Raven sedang bergerak gelisah di atas ranjangnya. Ellie berjalan pelan menghampiri. Raven masih tertidur, tapi dia sedang mengalami sesuatu yang buruk. Wajahnya pucat pasi penuh keringat. Tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Dia juga masih mengeluarkan geraman yang sempat Ellie kira sebagai suara hantu tadi.
"Raven!" Ellie duduk di ranjang, lalu mengguncang bahunya pelan.
Tapi guncangan itu belum berhasil membangunkan Raven. Dia terus mengigau, berteriak dan menggumamkan permohonan.
"RAVEN!"
Ellie menambah volume saran dan kekuatan guncangan itu.
"Hgaahhh!" Dengan gerungan kencang, Raven membuka mata. Tangannya menyambar lengan Ellie dan mencengkeramnya.
"Kenapa gelap? Kenapa semua gelap!" Raven berteriak panik.
"Raven.. tenanglah. Tarik nafas dalam-dalam. Tenanglah...."
Ellie membujuk dengan sabar, sambil mengusap wajah Raven, dengan satu tangannya yang bebas. Raven mencengkeram lengan kirinya dengan sangat kuat, sampai terasa sakit. Tapi Ellie tidak mempermasalahkan hal itu. Raven hanya sedang mengalami serangan panik.
Ini keadaan biasa yang sering ditemui pada korban kecelakaan besar. Trauma yang menuntun pada mimpi buruk, membuat Raven lupa soal keadaan tubuhnya. Dia kebingungan, karena meski sudah membuka mata, masih tidak bisa melihat.
"Raven... Kau mengalami kecelakaan, dan kau terluka." Ellie berbisik pelan.
Dengan lembut, Ellie mengusap kepala Raven. Memastikan Raven tahu dia ada di sampingnya. Ini perlu agar penderita trauma tidak merasa sendiri.
"Hazel....." Raven bergumam pelan. Cengkeramannnya juga sudah mengendur. Sepertinya ingatannya mulai terbentuk sempurna.
"Ya.. ini aku. Tenanglah... Kau hanya bermimpi buruk. Kau sekarang sudah aman berada di kamarmu sendiri."
"Ya...Benar. Aku di rumah... Di rumah. Dan kau Hazel." Raven menggumamkan hal itu berulang kali.
"Aku akan mengambil air." Ellie beranjak, tapi cengkeraman tangan Raven kembali mengencang.
"Tidak! Di sini saja." Raven mencegah dan pelan-pelan membaringkan tubuhnya kembali, mengatur nafas.
"Aku mengganggumu." Walau tidak ada kata maaf yang terucap, tapi Raven terdengar menyesal karena telah membangunkan Ellie.
"Jangan khawatirkan hal itu. Atur nafas, dan kembalilah tidur." Ellie merapikan selimut menutupi tubuh Raven.
"Di sini saja. Kau di sini saja." Sesaat Ellie mengedipkan mata cepat. Dia sekilas melihat sisi lain Raven yang mungkin belum pernah dilihat oleh siapapun selain dirinya. Raven memohon.
Dia memohon kepada Ellie. Raven yang biasanya terlihat sekeras karang, terlihat rapuh, menyerah pada deraan mimpi buruj dan trauma.
Ini semua membuatnya lebih manusiawi. Raven yang seolah mampu menembus badai sedahsyat apapun, terlihat lebih normal seperti kebanyakan orang. Tanpa bisa mencegahnya, Ellie kembali merasakan simpati dan iba.
Rasa yang sekian hari, semenjak dia sampai di negara ini, mencoba untuk ditahan, perlahan terus menumbuhkan tunas. Merambat menutup seluruh celah rongga kosong di hatinya.
"Tentu... Tentu aku akan di sini. Tenanglah." Ellie mengelus bahu Raven pelan, kemudian merebahkan diri di sampingnya. Kali ini untuk pertama kalinya, dengan mata dan tubuh menghadap ke arah Raven.
Sebelum hari ini, meski mereka pernah tidur dalam satu ranjang selama beberapa hari, Ellie selalu menghadapkan punggung ke Raven. Ini pertama kalinya dia melihat Raven tertidur. Nafasnya melambat, dan wajahnya terlihat rileks.
"Kau sudah mengalami banyak hal... Tidurlah..." Ellie berbisik pelan.
***
"Pagi."
Ellie menyapa Sophie yang sedang menggoreng telur mata sapi.
"Pagi juga. Kau ingin apa untuk sarapan? Aku punya telur dan bacon. Juga roti dan selai kacang." Sophie hanya menolehkan kepala sejenak, melihat Ellie mengambil segelas jus dari kulkas.
"Apa saja boleh, Sophie. Aku membawa ini ke atas."
Ellie mengacungkan botol jus apel.
"Tentu saja. Aku memang membelinya khusus untukmu. Duduklah sebentar. Aku akan selesai sebentar lagi," kata Sophie, sambil tersenyum hangat.
Sejak Ellie menempati kamar Raven, Ellie mendapat tugas baru mengantar sarapan ke atas, sekaligus miliknya. Raven yang meminta.
Sebenarnya kebiasaan ini berawal dari ketidaksengajaan. Sehari setelah Ellie pindah ke kamar Raven, Sophie meminta tolong untuk membawa sarapan Raven ke atas, karena dia sedang tidak enak badan.
Saat itu Ellie sudah sering mengingatkan jika tanggung jawab Sophie di rumah ini terlalu banyak. Dengan senang hati Ellie bersedia membantu sedikit meringankan bebannya. Dan saat Ellie membawa sarapan itu ke atas, Raven seolah mendapat pencerahan, tiba-tiba dia memerintahkan Ellie untuk selalu sarapan bersamanya.
Ellie tentu saja menolak pada awalnya, tapi Raven kembali menjegal dengan mengeluarkan kartu soal tanggung jawab terhadap pasien. Ellie hanya bisa menurut saat itu, tapi kini Ellie sudah terbiasa. Bagaimanapun dia masih bisa makan malam bersama penghuni rumah lain.
Ellie pernah mengusulkan pada Raven agar dia makan bersama yang lain di bawah, tapi Raven menolak tanpa alasan yang jelas. Wajahnya terlihat kesal, jadi Ellie menghentikan pembahasan saat itu juga.
"Di mana Jasper? Apa dia sudah berangkat ke Swiss?" tanya Ellie.
Biasanya Jasper sudah duduk di meja makan, dan menunggu sarapan siap, sambil memeriksa jadwal Raven. Pagi ini hanya ada Marlow yang sedang membaca koran.
Soal perjalanan ke Swiss, Ellie sudah tahu sejak tadi malam. Jasper harus menggantikan Raven menghadiri suatu konferensi bisnis, dia akan pergi selama seminggu. Tapi seharusnya dia baru akan berangkat siang nanti.
"Belum. Dia di luar. Sedang mengusir tamu tidak diundang." Marlow yang menyahut, dia masih tersembunyi di balik koran.
"Jangan menyebutnya seperti itu! Mr. Waycliff mungkin tidak mengharapkan kedatangannya, tapi Willow masih tunangannya," Sophie terdengar gusar.
"HA... Tunangan?! Maksudmu hubungan dipaksakan dengan ancaman nyawa itu? Aku tidak akan menyebut mereka bertunangan!" Marlow melipat koran, dan meletakannya di meja, wajahnya terlihat gusar.
"Well, apapun pendapat kita, tidak akan berguna. Willow tetap tunangan Mr. Wycliff sampai saat ini."
KLONTANG!
"No....Maaf!"
Ellie berdiri panik, saat jus apel yang ada di gelasnya, perlahan menyebar ke seluruh meja makan. Untung saja, meja itu terbuat dari kaca, jadi akan mudah dibersihkan.
"Tenang..Tenang. Aku jarang sekali melihatmu ceroboh, Hazel," kata Marlow, seraya mengambil gelas Ellie yang bergulir ke tepi meja.
"Gelas itu tergelincir dari tanganku begitu saja!" kata Ellie.
"Oh.. tidak! Tisunya habis!" Sophie berseru, sambil menunjuk tempat tisu kosong, hanya tinggal tiang penyangga.
"Aku ambilkan." Marlow berdiri.
"Jangan! Aku saja. Ini salahku karena tidak hati-hati"
Ellie mendahuluinya keluar dari dapur. Ellie terus memegang telapak tangannya yang gemetar. Dengan langkah cepat Ellie melintasi lantai satu, menuju ruang penyimpanan yang terletak di sebelah pintu samping.
Insiden itu terjadi bukan karena kecerobohan. Berita soal tunangan Raven, terlalu mengejutkan. Dia tidak menyangka jika Raven sudah mempunyai tunangan. Tangannya lemas karena itu.
"Itu bukan urusanmu, Ellie. Dia berhak bertunangan dengan siapa saja!"
Akal sehatnya dengan baik hati memberi peringatan. Tapi tubuh dan hatinya punya rencana sendiri. Dengan perlahan, kaki Ellie perlahan berbelok ke arah pintu depan.