“Sabila, bangun!” Sayup-sayup terdengar suara seorang sedang memanggilku.
“Euu.” Begitu saja aku menjawab dengan mata terpejam. Berat sekali untuk membuka mata, karena aku masih kantuk.
“Sabila, bangun!” Suara itu kembali terdengar dan kini hidungku mulai gatal dan geli membuat bibir dan hidung tergerak seirama dan Hachi!
“Apa si, Na? Gue masih ngantuk,” ketusku membuka mata dengan paksa. “Aaa …” teriakku melihat Zayyan di depan mata. Lekas dia membekap mulut, tatapan itu membuat kedua mata membelalak.
“Udahan?”
Aku menganggukkan kepala baru kemudian dia melepaskan tangan dari mulutku. Aku lekas menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan pelan. Aku baru tersadar ternyata sudah menikah dengan Zayyan. Yang kusangka mimpi ternyata kenyataan yang pahit-pahit manis. Pahit karena sudah punya buku nikah sedang manis karena bisa menggodanya setiap saat.
“Ada apa sih pagi-pagi bangunin gue? Gue masih ngantuk tau.” Aku kembali memejamkan tapi tangan Zayyan sudah menarik kedua tanganku hingga aku terduduk, sengaja kubuat tubuhku selemas mungkin hingga terjatuh dalam pelukannya.
“Astagfirullah, Sabila.” Zayyan membelalak.
“Gue ngantuk, Iyan. Nggak bisa tidur gara-gara lo bilang khilaf,” jawabku berterus terang karena semalam aku tak bisa tidur. Ucapan Zayyan seakan menancap di telingaku dan aku sangat takut kalau mendadak dia naik ke ranjang dan merampas haknya. Duh, mengerikan sekali.
“Terus sekarang yang ngajak khilaf siapa?”
Aku membuka mata dan tersadar tengah memeluk Zayyan. Segera aku lepaskan dan cengengesan tidak jelas.
“Kalau gue nggak apa-apa. Asal jangan lo aja.”
Zayyan membuang napas pelan. “Cepat mandi! Bunda tungguin kamu di depan.”
“Masih ngantuk.” Aku kembali merebahkan tubuh lagi.
“Bangun atau …”
“Atau apa?” Aku menatapnya sedikit menantang.
“Saya cium.”
Bibirku menyeringai mendengar kata cium. Ternyata dia ingin mengancamku. Tanpa malu-malu, aku segera bangun dan mengecup pipi kirinya. “Udah.”
Zayyan membuang wajahnya, mendadak membisu dan aku dengan nakal mencium pipinya sebelah lagi.
“Jangan coba-coba mengancam gue, Pak Us!” Aku mengusap pelan rahangnya kemudian pergi ke kamar mandi. Sebelum masuk, aku sempat menoleh ke belakang, mengedipkan mata nakal padanya, setelah itu buru-buru masuk menutup rapat pintu kamar mandi agar dia tidak menerobos.
“Berani lo mancing, gue bisa lebih ganas dari lo. Awas aja, gue bikin lo ilfeel dan ninggalin gue.” Aku tersenyum smirk.
Bukan mandi, aku hanya berdiri di wastafel, menghidupkan kran air lalu mencuci wajah dengan sabun di lanjut dengan menggosok gigi, baru setelah itu keluar.
“Cepat banget? Nggak mandi ya?” tanyanya yang tengah duduk di sofa.
“Ngapain mandi. Boros air,” jawabku asal-asalan, berjalan ke arah lemari, mengambil baju kaos dengan hotpants kemudian kembali lagi ke kamar mandi untuk memakai baju. Setelah semua beres aku baru keluar dari kamar mandi, berjalan ke meja rias untuk menancap makeup dan menyemprot minyak wangi.
“Gimana? Udah cantik kan?” Dengan bangganya aku berdiri di depan dia sambil tersenyum lalu berputar.
“Di depan saya boleh kamu berdandan seperti ini. Jika di luar, usahakan untuk menutup tubuhmu,” katanya menatapku dingin.
“Ngatur?”
Zayyan mengangguk pelan sambil menegakkan tubuhnya. “Kamu istri saya!” tekannya langsung pergi.
“Di atas buku nikah,” balasku dengan cepat mengekorinya dari belakang.
“Di depan Allah, penghulu dan saksi,” timpalnya lagi.
“Gue nggak cinta.”
“Nanti,” balasnya dengan cepat membuatku kesal. Mengepal tangan di belakang kepalanya dengan geram.
“Siapa yang akan cinta sama lo. Udik, kampungan, pakaian nggak kekinian,” omelku dari belakang. Zayyan mampu mendengarkan tapi dia memilih diam membuka pintu.
Aku berjalan keluar dari kamar, menuruni anak tangga satu persatu. Perut terasa lapar dan aku segera memilih jalan ke dapur. Saat itu juga dadaku bergetar melihat Bunda Nurma duduk sendirian, menatap kosong. Makanan di dalam piring masih banyak, seperti tak tersentuh.
“Bun, sehat?” tanyaku menarik kursi duduk di sampingnya.
“Kamu sudah bangun, Sabila?” Bunda kembali tersenyum melihatku. Seolah sedang menyembunyikan kesedihan.
“Ada apa? Bilang sama aku, mungkin aku bisa bantu.” Tangannya kugenggam dengan lembut, menyalurkan kehangatan.
“Bunda kepikiran sama Nabila. Dia di mana ya sekarang? Apa dia sudah makan?” tanya Bunda meratapi. Aku paham betul dengan kecemasannya. Tapi memang Nabila nggak ada akhlak, berani sekali membuat ibunya khawatir.
“Gimana Bunda pura-pura sakit?” usulku dengan serius. Sebuah ide yang mungkin klise tapi cukup ampuh jika diperankan dengan baik.
“Maksudnya?” Bunda Nurma mengernyit kening kebingungan.
“Gini Bun, aku telpon Nabila bilang kalau Bunda sakit. Dia pasti panik tu, terus pulang. Nah saat itu juga kita ikat dia di batu nisan.”
“Hush kamu ini!” Bunda menepuk tanganku dan aku malah cekikan.
“Bercanda, Bun … tapi mau ya! Biar aku telpon sekarang ni.”
Bunda Nurma tampak ragu menoleh ke arah Zayyan yang hanya mengangguk pelan.
“Baiklah. Bunda setuju.”
“Gitu dong. Harus banget lihat suami orang dulu,” candaku membuat Zayyan terbatuk-batuk.
“Hati-hati, nikah sama gue, banyak kata-kata absurd,” kekehku mengambil ponsel, mencari nama Nabila lalu segera menghubunginya.
“Halo.”
Aku menekan tombol speaker, menutup mulut dengan jari telunjuk sebagai isyarat agar Zayyan dan Bunda Nurma diam.
“Na, nyokap lo drop,” ujarku dengan nada dilematis.
“Apa?” pekik Nabila. “Yang benar nyokap gue sakit? … ah, lo jangan bohongin gue kalau masalah kesehatan. Durhaka lo sama gue,” cerocos Nabila. Jelas sekali dia panik begitu mendengar ibunya sakit.
“Gue serius, nggak bohong. Bunda sakit karena lo. Untung gue masih hidup gara-gara ide gila lo yang paksa gue nikah sama Iyan.” Aku menoleh ke arah Zayyan yang tak bergeming, sementara Bunda Nurma mencolek tanganku dengan gelengan kepala.
“Hehe, maap. Lagian lo cocok kok sama kak Zayyan. Masuk islam lo nikah sama ustadz,” kekeknya meledekiku yang islam KTP tapi kelakuan durjana.
“Gue emang islam. Islam KTP … ah, ngapain sih bahas itu? Cepat lo pulang sebelum lo nyesal!” tekanku padanya seakan Bunda Nurma sakit parah, padahal masih sehat bugar dan bisa tersenyum. Kalau Salto mungkin bisa juga.
“Bilang sama malaikat maut, jangan datang dulu! Gue pulang sekarang.”
“Gila.” Aku menutup telepon lalu menoleh pada Bunda Nurma.
“Dia mau pulang. Bunda pura-pura sakit aja di kamar. Bila perlu akting mau meninggal, bikin dia menyesal udah kabur di hari nikah,” ujarku memberi solusi.
“Kok gitu sih, Sa. Kasihan loh nanti Nabila.”
“Duh, Bun. Nggak usah baik banget sama tu anak. Mendingan ikut saran aku aja. Kita balik kerjain dia.” Aku tersenyum menaik turun alis.
Bunda Nurma tergeming, menghela napas pelan kemudian menganggukkan kepala. “Ya sudah, Bunda ikut saja.”
“Sesat,” sahut Zayyan, lekas aku menoleh padanya.
“Emang sesat. Tapi suka kan?” godaku mengedip mata nakal sambil menendang kakinya pelan sontak dia terkejut dan menyembur teh ke wajahku.
“AYAN!” teriakku sebal.
“Maaf.” Zayyan menyodorkan tisu.
“Gue marah sama lo. Kita cerai!” hardikku mengambil tisu dengan kasar lalu pergi ke kamar.